Kakak dan adik yang sudah yatim piatu, terpaksa harus menjual dirinya demi bertahan hidup di kota besar. Mereka rela menjadi wanita simpanan dari pria kaya demi tuntutan gaya hidup di kota besar. Ikuti cerita lengkapnya dalam novel berjudul
Demi Apapun Aku Lakukan, Om
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Tuan Marcos membuka pintu rumah baru itu dan mengajak Wanda melangkah masuk. Rumahnya memang tak terlalu besar, tapi tiga kamar yang tertata rapi itu terasa cukup bagi kebutuhan Wanda. Wanda menatap sekeliling, senyum kecil tersungging di bibirnya. Dalam hati, dia berbisik,
"Lumayan nyaman juga, dan letaknya strategis."
Mata Wanda menyapu jendela besar yang menghadap jalan utama pusat kota. Harga rumah ini pasti mahal, pikirnya. Ketika dia tahu ternyata rumah itu berdampingan dengan kantor Tuan Marcos, ekspresinya berubah sedikit, ada kejutan dalam pandangan matanya.
"Tuan Marcos benar-benar perhatian," gumamnya lirih.
"Rumah ini deket banget sama kantor, enak buat aku berangkat kerja nanti."
Tapi di balik senyum itu, ada kerutan kecil yang muncul di keningnya. Perasaan tak nyaman merayapi hati Wanda, beban halus dari perhatian Tuan Marcos yang terlalu berlebihan. Dia menarik nafas pelan, mencoba menepis rasa itu tapi bayang-bayang perhatian yang terlalu dekat itu membuatnya sesak.
Wanda berdiri terpaku, matanya menatap rumah besar yang berdiri megah di depannya. Hatinya bergejolak, antara bingung dan ragu. Apakah ini benar hanya hadiah tanpa pamrih, atau ada maksud tersembunyi di balik kebaikan Tuan Marcos?
“Haruskah aku menerima semua ini?” pikirnya, napasnya terasa sesak.
Bayangan konsekuensi yang mungkin datang mengintip samar di benaknya. Tiba-tiba, suara tegas Tuan Marcos memotong lamunannya.
"Mulai sekarang, ini akan menjadi rumah tinggal kamu."
Wanda menoleh, melihat pria berkharisma itu menatapnya dengan penuh harap. Dadanya berdebar, tapi rasa canggung lenyap begitu saja. Tanpa pikir panjang, dia merangkul Tuan Marcos erat-erat, seolah ingin menangkap kehangatan itu sebagai peneguhan bahwa dia tidak sendiri lagi. Namun di dalam hati, Wanda tetap berjanji untuk lebih waspada menjalani hubungan ini.
Wanda terdiam sesaat, matanya menatap jauh ke arah jendela, mencoba merangkai kalimat yang tepat.
"Beneran, Om? Kalau begitu aku boleh mengajak adikku tinggal bersama aku, ya?"
Suaranya tiba-tiba bergetar, seolah ada beban yang selama ini disimpan rapat. Sejak kemarin, dia memang belum pernah menyebut soal adiknya. Tuan Marcos mengerutkan keningnya, pandangannya mengintai Wanda penuh tanya. Namun kemudian, senyum lebar mengembang di wajahnya yang khas.
"Kenapa, Wanda? Om keberatan adik kamu ikut tinggal di sini?" Suara itu mengalir santai, tapi entah mengapa pikiran nakal tiba-tiba menyelinap di kepala Wanda.
“Kalau Om pengen ketemuan sama aku, kita bisa ke hotel,” gumamnya dalam hati, menahan geli yang tiba-tiba muncul. Wanita itu memang jago membaca gelagat pria.
"Aku tidak keberatan, kok. Tapi... jangan-jangan ini terlalu cepat?" Marcos menatap Wanda serius, ujung bibirnya sedikit tertarik.
"Nanti, adik kamu bisa salah paham. Apalagi kalau kamu tiba-tiba beli rumah baru tanpa kabar sebelumnya." Wanda mengangguk pelan, meresapi kata-kata itu. Ada benarnya juga, pikirnya, sekaligus kekhawatiran yang perlahan muncul di hatinya.
Wanda menatap om Marcos dengan ragu-ragu, jemarinya mengusap-ngusap tepi meja kayu itu pelan.
"Memang benar, om, tinggal di sini biar deket sama kantor. Tapi kasihan juga adik aku di kontrakan, sendirian," suaranya lirih, ada beban di matanya. Om Marcos mengerutkan dahinya, pikirannya bekerja keras sejenak sebelum akhirnya angkat bicara.
"Kalau begitu, ajak saja adikmu ikut tinggal di sini. Bilang saja kalau perusahaan ngasih fasilitas rumah gratis buat kamu." Nada suaranya tegas tapi hangat, seperti memberi harapan baru. Wanda langsung tersenyum lebar, tanpa sadar kedua tangannya melingkari leher om Marcos erat.
"Nah, itu dia! Om Marcos memang paling ngerti!" gumamnya penuh syukur, matanya berkilau bahagia. Rumah lengkap dengan perabotan itu bukan cuma sekadar tempat tinggal, tapi hadiah terbesar yang pernah dia dapatkan.
Wanda tersenyum penuh percaya diri, lalu menggandeng pria itu menuju salah satu kamar dengan langkah mantap. Saat pintu tertutup, tubuh Marcos terdesak dan terjatuh telentang di atas tempat tidur. Wanda menatapnya dengan harap, siap memberikan perhatian yang selama ini ia pikir sebagai balas budi atas kebaikan Marcos memberinya tempat tinggal, impian yang akhirnya terwujud. Namun, suara Marcos memotong harapan itu.
"Wanda, aku sedang tidak ingin. Aku harus pulang. Putriku pasti menunggu," ucapnya sambil berusaha duduk dan menangkis gerakan Wanda.
Matanya menunjukkan kelelahan sekaligus ketegasan. Wanda menggigit bibir, kecewa terselip di balik senyum palsunya.
"Lain kali saja, ya," katanya pelan, mencoba meredam kegundahan. Di sela detik yang hening, Marcos mengeluarkan ponselnya dan menunjukan layar berisi panggilan masuk.
"Putriku sudah menelpon beberapa kali. Jarang dia mengganggu, pasti ada sesuatu penting." Wanda menelan ludah, napasnya tercekat sebelum akhirnya menarik napas dalam-dalam, menyembunyikan perasaannya yang campur aduk.
"Wanda menatap Tuan Marcos dengan bibir yang cemberut, rasa iri menggebu di dadanya.
"Pasti om Marcos sangat menyayangi putrinya, ya, Om," katanya pelan, suaranya nyaris seperti mengeluh.
"Aku jadi cemburu, perhatiannya sama putrinya itu... Seandainya aku jadi putrinya, pasti tiap hari dapat perhatian khusus dari Om Marcos."
Matanya sedikit menatap rendah, seolah berharap ucapan itu bisa jadi kenyataan. Tuan Marcos hanya terkekeh ringan melihat sikap manja Wanda yang tiba-tiba keluar begitu saja. Padahal selama ini wanita itu selalu berusaha tampil kuat dan tidak manja, jauh dari kesan seperti anak kecil.
"Aku pulang dulu, ya! Besok pagi jangan lupa masuk kerja tepat waktu. Aku nggak suka karyawan yang malas-malasan," ucapnya dengan nada tegas, lalu bersiap pergi.
Tiba-tiba Wanda meraih tangan pria matang itu, lalu mencium punggung tangannya dengan lembut, seolah pria itu suaminya sendiri. Mata Tuan Marcos menyipit menahan senyum, tapi akhirnya wajahnya merekah dengan senyuman lebar.
"Jangan kangen, ya! Kangen itu bikin malas makan," goda Tuan Marcos sambil membalas cubitan Wanda di perutnya yang rata.
"Om," panggil Wanda, suaranya mengandung harap, menunggu reaksi pria di hadapannya.
Tuan Marcos mengangkat alis, matanya menyipit seolah mencoba menangkap sesuatu.
"Ada apa lagi, Hem?" suaranya berat tapi penuh perhatian. Wanda menunduk, bibirnya bergetar pelan sebelum akhirnya berkata,
"Untung saja Om Marcos ingat makan. Aku bahkan nggak sadar perutku sudah keroncongan."
Matanya terus menatap wajah om Marcos, mencari jawaban. Hari yang padat dan kejadian tak terduga tadi membuat perutnya menjerit dalam diam. Om Marcos menghela napas panjang, wajahnya menipis, seolah baru menyadari dirinya juga belum makan sejak di kantor. Ada sorot menyesal di matanya, seakan merasa bersalah karena tidak mengingatkan Wanda lebih dulu.
"Tapi aku harus pulang," ucapnya pelan dengan nada bijak, mencoba mengusir kekhawatiran yang terasa tebal di antara mereka.
Wanda mengangguk cepat begitu dengar tawarannya. "Oke, terima kasih, Om," jawabannya suaranya sedikit tercekat.
Perutnya sudah keroncongan sejak siang, rasanya tak mungkin dia bisa menolak. Matanya menatap rendah ke meja, mencoba menekan rasa tak enak yang menggelayuti hati. Namun, kehangatan dari perhatiannya seolah merembes perlahan ke seluruh tubuhnya yang letih.
"Kalau aku sendiri, makan di rumah saja," tambahnya pelan, berharap dia paham maksudnya tanpa harus berkata lebih banyak. Di balik kesederhanaan kata itu, ada rasa lega kecil yang mulai tumbuh.
kau ini punya kekuatan super, yaaakk?!
keren, buku baru teroooss!!🤣💪