Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Pagi pertama setelah malam lamaran itu datang dengan sangat… tidak kerajaan sama sekali.
Di Istana Lang, pagi biasanya dimulai dengan bunyi lonceng, barisan pelayan rapi, laporan ini-itu, dan Kaisar Lang yang sudah duduk tegak bahkan sebelum matahari naik sempurna.
Tapi pagi itu?
Yun Sia bangun kesiangan.
Sangat.
Sampai matahari sudah naik setengah, dan ia masih meringkuk di balik selimut sambil memeluk rusa kayunya.
“Putri Mahkota…” suara pelayan mengetuk pintu dengan ragu, “…sudah waktunya bangun.”
Yun Sia menggeram kecil.“Lima menit lagi.”
Pelayan itu saling pandang di luar pintu.
Biasanya siapa yang berani menyuruh Putri Mahkota bangun?
Masalahnya…
Ini bukan hari biasa.
Ini hari pertama Yun Sia sebagai: Putri Mahkota. Dan calon permaisuri Kekaisaran Wang.
Akhirnya pintu dibuka perlahan.
Permaisuri Lang sendiri yang masuk.
Ia berjalan ke ranjang, menarik selimut sedikit.
“Anakku… kalau kamu tidur lagi, Kaisar Tua Wang bisa mengira kita menyita calon menantunya.”
Yun Sia langsung duduk.
“Apa?!”
Rambutnya acak-acakan, matanya masih setengah tertutup.
“Ibu…”
Permaisuri tertawa kecil.
“Bangun. calon mertua mu sedang sarapan dengan ayahmu.”
Yun Sia terdiam.“Semua makan bareng?”
“Semua.”
Yun Sia jatuh rebah lagi ke kasur. “Aku mau mati saja.”
----
Aula makan pagi itu seperti arena pelaminan rasa campur aduk.
Di satu sisi meja panjang Kaisar Lang, permaisuri Lang, putri Wang Jia, pangeran Wang Lee. Ibu Suri Agung Wang, Kaisar Tua Wang dan di sisi lain kaisar Wang Tian, Mochen, Liyan (yang sudah menumpuk lauk seperti mau pergi perang).
Dan di ujung tengah…Kursi kosong, kursi Yun Sia.
Putri Wang Jia memperhatikan, “Kenapa dia belum muncul?”
A-yang mengangkat alis.“Biasanya dia bangun lebih cepat.”
Kaisar Tua Wang Dan menyeringai.“Berarti pengaruhku kuat. Calon menantu mulai berani bangun siang.”
Belum selesai kalimat itu, suara langkah terburu-buru terdengar.
“MAAF!”Yun Sia muncul.
Dengan rambut masih setengah dikepang. Pipinya merah. Bajunya dipasang terburu.
Ia langsung membungkuk kecil.“Aku ketiduran… aku tidak bermaksud—”
Ibu Suri Agung Wang berdiri, langsung mendatangi Yun sia lalu memegang bahunya.
“Tidak apa.”
Lalu memeluk.“Kamu terlihat seperti anak yang habis perang dengan selimut.”
Putri Wang Jia menahan tawa.
Pangeran Wang Lee yang dari tadi diam akhirnya bersuara.
“Kakak… ini pertama kalinya aku lihat wanita berani datang terlambat ke dua kaisar sekaligus dan tidak dihukum.”
Yun Sia menjawab jujur.“Aku juga kaget.”
A-yang menepuk kursi kosong di sampingnya.“Duduk.”
Yun Sia duduk lalu berbisik. “Kamu kenapa tidak bangunin aku?”
A-yang membalas datar.“Aku takut dibunuh Ibumu.”
Yun Sia terdiam… lalu mengangguk.“Masuk akal.”
Sarapan itu…
Aneh.
Aneh sekali.
Ibu Suri Agung Wang terus menaruh makanan di piring Yun Sia.
“Ini dicoba.”
“Ini juga.”
“Ini enak.”
Yun Sia melirik A-yang minta tolong.
A-yang hanya tersenyum kecil. Tidak menolong.
Akhirnya Yun Sia menumpuk piring seperti gunung kecil.
Putri Wang Jia ikut bantu.“Kalau kamu tidak kuat, aku akan memakan.”
Mochen memperhatikan dari jauh.“Liyan,” katanya pelan.
“Ya?”
“Dulu aku kira kaisar hanya menaklukkan negara.”
Liyan mengangguk serius. “Sekarang kita tahu… yang paling sulit itu menaklukkan mertua.”
Setelah sarapan, rombongan Wang dan Lang berjalan di taman tengah istana.
Kaisar Tua Wang Dan berbincang ringan dengan Kaisar Lang.
Ibu Suri Agung Wang berjalan di antara Permaisuri Lang dan Yun Sia.
A-yang tertinggal sedikit di belakang.
Dengan Mochen dan Liyan.
“Anda tidak dipanggil?” tanya Liyan.
A-yang menggeleng.
“Mereka ingin bicara soal hal ‘wanita’.”
Mochen berkata pendek.
“Anda lebih baik tidak mendengar.”
A-yang mengangguk.“Aku setuju.”
Di sisi lain taman…
Topik “wanita” itu ternyata jauh dari hal yang Ayang bayangkan.
Ibu Suri Agung Wang menggandeng Yun Sia sambil berjalan.
“Nanti setelah menikah…”
Yun Sia tegang.
“Aku ingin tahu… makanan favoritmu apa.”
Yun Sia berkedip.“Makanan?”
“Ya.”
Permaisuri Lang tersenyum.“Nanti kamu jadi permaisuri, bukan calon jenderal.”
Ibu Suri Agung mengangguk.
“Kalau kamu mau makan sambal di istana Wang, aku akan cari cabainya dari ujung dunia.”
Yun Sia nyaris menangis.
“Bu…”
Putri Wang Jia langsung cemberut.“Aku ini anak kandung loh.”
“Dan kamu tetap keras kepala,” jawab Ibu Suri Agung sambil tersenyum.
Siang hari…
Sebuah keributan kecil meledak.
Bukan politik.
Bukan kerajaan.
Tapi…
Ayam.
Benar.
Ayam.
Yun Sia menemukan ayam di dapur istana Lang.
Dan langsung heboh.
“Ayang!”
A-yang yang kebetulan lewat dihentikan.
“Ada apa?”
Yun Sia menunjuk seekor ayam kecil.
“Aku mau BUMI ikut.”
A-yang tersenyum.
“Kita sudah bahas ini.”
“Kamu benar-benar mau bawa ayam ke Wang?”
“Ya.”
A-yang melirik Mochen.
“Masukkan ayam ke daftar barang istana.”
Mochen diam.
Satu detik.
Dua detik.
Lalu mengangguk.
“Baik. Ayam.”
Liyan hampir jatuh.
Putri Wang Jia mendengar dari kejauhan langsung bertepuk tangan.
“AKU AKAN AJARI AYAM ITU MAKAN DI PIRING EMAS!”
Kaisar Tua Wang Dan hanya tertawa keras.
“Baiklah. Kekaisaran Wang akan jadi kekaisaran pertama yang punya ayam kerajaan.”
Sore hari…
Yun Sia akhirnya duduk berdua dengan A-yang di paviliun kecil.
Tidak ada pejabat. Tidak ada protokol.
Hanya dua orang.
Dan angin sore.
“Kamu yakin?” tanya Yun Sia tiba-tiba.
“Yakin soal apa?”
“Soal aku.”
A-yang menoleh.
“Kamu masih bisa berubah pikiran.”
“Aku tidak.”
“Tapi kalau kamu takut…”
“Aku bukan takut kamu,” jawab Yun Sia. “Aku takut… dunia kamu.”
A-yang menatap jauh.
“Kalau duniamu terlalu kejam…”
Ia menoleh.
“Akan aku buatkan dunia kecil sendiri. Cuma untuk kita.”
Yun Sia menghela napas.
“Masa depan kamu itu berat.”
“Aku tidak keberatan kalau beratnya bareng kamu.”
Yun Sia tertawa kecil.
“Kamu ini…”
Romantis.
Tapi tidak berlebihan.
Hangat.
Seperti rumah.
Malam hari…
Kedua keluarga makan malam lagi.
Kali ini lebih santai.
Kaisar Tua Wang Dan mendadak berkata,“Pernikahan kita buat semewah mungkin.”
Semua menoleh.
A-yang terkejut.“Mewah… sejauh apa?”
“Yang penting ada dua orang senang.” Ibu Suri Agung Wang mengangguk.
Kaisar Lang menghela napas.“Kalau begitu… aku serahkan putriku.”
Yun Sia menoleh.
Ayahnya menatapnya.
Penuh arti.
“Bukan sebagai putri mahkota… tapi sebagai anak.”
Yun Sia berdiri.
Memeluk ayahnya.
“Aku akan pulang.”
Permaisuri ikut memeluk.
“Kapan pun.”
Malam terakhir di Istana Lang…
A-yang berdiri di balkon.
Yun Sia datang membawa selimut.
“Kamu melamun lagi.”
A-yang tersenyum.
“Aku sedang berpikir… bagaimana hidupku berubah hanya karena satu gadis muncul dari hutan.”
Yun Sia duduk di samping.
“Aku juga berpikir… bagaimana seorang kaisar bisa jatuh cinta karena satu gadis bau tanah.”
A-yang tertawa.
Mereka diam.
Hening.
Tapi nyaman.
Yun Sia menyandarkan kepala ke bahunya.
A-yang membiarkan.
Malam itu…
Tak ada janji berlebihan.
Tak ada sumpah panjang.
Hanya satu kepercayaan kecil:
“Kita jalani.”
Dan itu…
Sudah cukup.
Bersambung.