menceritakan tentang seorang murid pindahan yang bernama Kim hyun yang pindah ke sekolah barunya yang bernama sekolah SMA CSB (CENTRAL SPORT BUSAN), awalnya kehidupannya lancar namun tampaknya dia tidak terlalu mengetahui tentang sisi gelap sekolah ini beserta kota ini maka dari itu kim Hyun mau tak mau harus mencari tahu tentang sisi gelap sekolah ini dan kota ini agar dirinya bisa menjalani kehidupan yang normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilwa nuryansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
Kota Busan, Musim Semi.
Udara Busan di awal musim semi terasa renyah dan dingin, beradu kontras dengan aura tegang yang menyelimuti "Central Sport Busan (CSB)". Sekolah itu tampak megah—gedung utama yang berkilauan, lapangan sepak bola berstandar internasional, dan dojo serta ring latihan yang tersebar di kompleknya. Ini adalah tempat di mana mimpi atletik Korea Selatan diasah, dan juga tempat di mana hukum rimba berlaku.
Kim Hyun (17), dengan tas ransel usang dan tatapan mata yang terlalu tenang untuk usianya, berdiri di gerbang utama CSB. Ia adalah siswa pindahan.
Sejak kecil, ia diasuh dan dilatih keras oleh ayahnya—seorang mantan tentara elit Korea Utara—dalam seni bela diri militer yang disebut Close Quarters Combat (CQC). Namun, tujuannya di CSB sangat sederhana: mencari kehidupan sekolah yang normal.
"Semoga ini berjalan damai," gumam Hyun, menarik napas panjang.
Ia ditugaskan di Kelas 2-C. Kelas dua di CSB terbagi menjadi A hingga F. Kelas 2-A dikenal sebagai sarangnya para bintang olahraga yang didanai penuh. Kelas 2-B adalah kelas para preman dan petarung jalanan yang hanya bersekolah untuk mendapatkan perlindungan status atlet. Kelas 2-C, tempat Hyun, adalah tempat bagi siswa yang berharap bisa fokus pada studi, meskipun harapan itu tipis.
Saat Hyun melangkah masuk ke koridor 2-C, suasana langsung terasa. Bukan bau buku, melainkan aroma keringat, plester luka, dan sedikit besi. Di pojok, sekelompok siswa berpostur raksasa sedang mengadu kekuatan lengan di atas meja, diselingi tawa keras yang menusuk.
"Hei! Anak baru!"
Seorang siswa dengan rambut dicat oranye terang dan piercing di bibir menghampirinya. Namanya Jae-seong seorang anggota dari klub Kendo yang terkenal sombong.
"Lihat seragamnya yang masih kaku. Bau anak mami," cibir Jae-seong, mendorong bahu Hyun.
Hyun dengan tenang meluruskan kembali bahunya. Wajahnya datar. Ini adalah momen pertamanya, dan ia tahu betul, reaksi sekecil apa pun bisa menentukan dua tahun ke depan.
"Aku Kim Hyun. Senang bertemu denganmu," jawab Hyun, suaranya pelan tapi tegas.
Jae-seong dan teman-temannya sontak tertawa terbahak-bahak. Mereka terbiasa dengan ketakutan, bukan kesopanan. "Wah, dia sopan sekali! Anak manis! Di sini, kata-kata tidak penting. Yang penting adalah siapa yang menendang lebih keras."
Tiba-tiba, dari belakang Jae-seong, muncul seorang siswa yang terlihat canggung, kurus, dan mengenakan kacamata tebal. Ia membawa setumpuk buku yang hampir menutupi wajahnya.
"Jae-seong, bisakah kau minggir sebentar? Aku harus menyimpan buku-buku ini," pinta siswa berkacamata itu dengan suara bergetar. Dia adalah Min-ho, siswa terpintar di kelas, tapi sayangnya juga target bully paling reguler.
Jae-seong menoleh, senyumnya menghilang, digantikan seringai kejam. "Oh, si bodoh Min-ho. Kenapa kau tidak lewat sini saja?"
Dengan gerakan cepat, Jae-seong menarik kakinya, membuat Min-ho tersandung. Buku-buku itu berhamburan, beberapa mengenai sepatu bot mahal milik Jae-seong.
"Lihat apa yang kau lakukan, pecundang!" teriak Jae-seong. Ia mengangkat kakinya, bersiap menendang tumpukan buku itu.
Hyun, yang tadinya hanya berdiri, tiba-tiba bergerak satu langkah. Ia meraih pergelangan tangan Jae-seong dengan cepat dan ringan, mencegah tendangan itu.
"Jangan buang-buang waktu berkelahi di hari pertamaku. Aku ingin hari yang damai," ucap Hyun, suaranya tetap tenang.
Jae-seong terkejut. Kekuatan cengkeraman itu, meskipun lembut, terasa seperti kawat baja. Hyun kemudian melepaskan cengkeraman itu seolah tidak terjadi apa-apa dan membungkuk untuk membantu Min-ho mengumpulkan buku-buku yang berserakan.
Min-ho menatap Hyun dengan mata terbelalak, tercampur antara terkejut dan sedikit harapan.
"Terima kasih," bisik Min-ho.
Jae-seong menyentuh pergelangan tangannya yang terasa kesemutan. Ia menyipitkan mata ke arah Hyun. "Baiklah, Kim Hyun. Hari ini kau beruntung. Tapi di CSB, hutang kekerasan selalu dibayar lunas."
Hyun hanya tersenyum samar, senyum yang tidak mencapai matanya. "Tentu. Sampai nanti."
Untuk saat ini, Kim Hyun mendapatkan satu hari yang ia inginkan: damai. Tapi Jae-seong tidak akan melupakan ini. Dan Min-ho, si anak lugu yang diselamatkan, baru saja mendapatkan 'pelindung' pertamanya—dan masalah besar.
Dua hari berlalu. Anehnya, suasana di Kelas 2-C setelah insiden dengan Jae-seong menjadi sedikit lebih tenang bagi Kim Hyun. Bukan karena mereka takut, tetapi karena ada semacam kekagetan kolektif Di CSB, jarang sekali ada siswa pindahan yang langsung menantang hirarki.
Min-ho , si kacamata yang lugu, menjadi bayangan setia Hyun. Saat jam istirahat, mereka duduk di bangku taman yang jauh dari keramaian lapangan utama.
"Hyun-ah, sungguh, terima kasih banyak," kata Min-ho, menyesap susu pisangnya. "Sejak kau datang, Jae-seong dan gengnya tidak berani macam-macam denganku. Kau memberiku dua hari paling damai selama aku sekolah di sini."
Hyun hanya mengangguk, matanya mengamati siswa-siswa lain yang lalu lalang. Beberapa adalah raksasa berotot dari klub Judo, yang lain bergerak lincah seperti petarung Taekwondo.
"Aku hanya tidak suka kekacauan," jawab Hyun. "Aku datang untuk hidup normal."
Min-ho tertawa pahit. "Normal? Di CSB? Itu lelucon paling lucu, Hyun. Sekolah ini adalah sebuah federasi geng. Ada geng berdasarkan klub bela diri, dan ada geng berdasarkan kelas."
Min-ho kemudian merendahkan suaranya, mulai menjelaskan sistem rimba yang ada.
"Ada enam klub besar petarung: Taekwondo, Kyokushin Karate, Judo, Kendo, Boxing, dan MMA. Tapi kekuatan sebenarnya dipegang oleh para 'Raja Kelas'."
"Di kelas dua, Raja yang diakui adalah "Park Chul-min" dari 2-A, petarung bela diri MMA. Tapi yang paling ditakuti adalah pemimpin 'Geng Dinding Baja' dari 2-B, "Han Gyu-sik"—dia spesialis Kyokushin Karate, tangannya bisa memecahkan batu. Dia bilang dia sedang mengincar posisi \*Underboss\* dari Raja Kelas Tiga."
"Dan di Kelas Tiga," Min-ho mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya serius. "Ada "Tiga Pilar CSB" yang memerintah. Mereka yang menetapkan semua aturan tak tertulis. Pemimpin mereka, "Kang Dae-ho"sang Raja CSB. Dia berlatih "MMA" dan Boxing, kabarnya dia tidak pernah kalah dalam pertarungan jalanan."
Hyun mendengarkan semua itu tanpa ekspresi. Kekuatan, geng, sistem rimba. Semuanya persis seperti yang ia harapkan, dan persis seperti yang ia benci. Ini bukanlah "kehidupan normal."
"Jadi, intinya, yang kuat memerintah," simpul Hyun.
"Ya. Dan karena kau menantang Jae-seong, yang merupakan bagian dari Geng Kendo, cepat atau lambat, kau akan ditarik ke dalam pertarungan besar. Kau harus memilih pihak, Hyun," saran Min-ho cemas.
Hyun berdiri, menatap langit Busan yang cerah. "Aku tidak akan memilih pihak, Min-ho. Aku akan mengubah pihak Aku akan mengalahkan para pembuli itu dan mengubah peraturan konyol ini."
Min-ho hampir tersedak susu pisangnya. "Hyun! Jangan gila! Kau akan dihancurkan! Mereka punya ratusan anggota!"
Hyun tersenyum, kali ini senyumnya terlihat lebih lepas dan sedikit nakal. Ini adalah sisi komedi dari dirinya yang tertekan. "Tenang saja. Ayahku mengajariku satu hal: Jika kau ingin mengubah aturan, kau harus menendang pantat pembuat aturan itu."
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar teriakan. Itu datang dari gudang tua di belakang lapangan tenis.
“Pecundang! Kau berani mengadukan kami?!”
Suara itu terdengar asing, bukan suara Jae-seong. Hyun dan Min-ho berpandangan. Min-ho menjadi pucat.
"Itu... itu gudang tempat Geng 2-B sering 'menegakkan aturan'," bisik Min-ho.
Hyun tidak menunggu. Rasa damai yang ia nikmati selama dua hari lenyap seketika. Sistem rimba itu menuntut korban.
"Ayo pergi," kata Hyun.
Mereka berdua berlari menuju sumber suara. Ketika mereka tiba di depan pintu gudang yang sedikit terbuka, pemandangan di dalamnya membuat mata Hyun menyipit, dan darah dinginnya mulai mendidih.
Di tengah lantai gudang yang berdebu, Min-ho yang berlari di samping Hyun tiba-tiba berhenti dan tersentak, wajahnya dipenuhi horor.
Seorang anak laki-laki kurus yang mereka kenal sedang \*\*dipukuli habis-habisan\*\*. Anak itu terhuyung, berdarah dari hidungnya, dan berlutut memohon ampun. Di hadapannya berdiri tiga preman bertubuh besar dari Kelas 2-B, dan di tengah mereka adalah sosok yang Min-ho sebutkan: Han Gyu-sik.
Tapi itu bukan Han Gyu-sik.
Pria yang memimpin pemukulan itu berotot seperti bodybuilder, dengan rambut pirang dan tato naga kecil di lehernya. Pukulan-pukulannya bertenaga dan tanpa ampun. Dia adalah Jin Woo-jin.
"Ini untuk memberitahu si cengeng Min-ho apa yang terjadi jika ia punya pelindung baru," teriak Jin Woo-jin sambil melayangkan tendangan Kyokushin yang keras ke perut anak malang itu.
Anak yang dipukuli itu adalah Dong-hoon teman sekelas Min-ho dan Hyun.
Min-ho tersentak melihat pemukulan brutal temannya. "Dong-hoon-ah!"
Saat Jin Woo-jin berbalik, bersiap memberikan pukulan terakhir yang bisa membuatnya pingsan, Kim Hyun melangkah masuk ke dalam gudang, hawa tenang yang ia miliki benar-benar menghilang, digantikan oleh aura berbahaya.
"Aku mencari kehidupan normal, tapi sepertinya kekerasan ini adalah satu-satunya bahasa yang kalian mengerti," kata Hyun, suaranya sedingin es.
Jin Woo-jin, yang terkuat nomor tiga di Kelas 2-B, menatap anak pindahan itu dengan tatapan meremehkan. "Kau? Kau si anak manis yang menyelamatkan si kacamata? Kau datang di saat yang tepat untuk dibulatkan bersama!"
Bersambung...