NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

28

Malam kian dalam. Lampu blencong menggantung di depan layar pakeliran, melemparkan bayangan wayang ke kelir putih yang dibentang dari ujung ke ujung. Gamelan mulai mencapai puncak gending, suara kendang yang ditabuh Jatmiko terdengar mantap, mengalir seperti sungai yang tahu ke mana arah tujuannya. Tapi di balik semarak panggung itu, hati seorang gadis tengah limbung oleh badai yang tak terlihat. Sementara di hadapan kelir Ki Ratmoyo tampak duduk bersila menghadap debog pisang, tubuhnya dibalut jarik batik berwarna coklat kehitaman bermotif Sidomukti yang melingkar rapi. Blangkon gaya Surakarta bertengger di kepalanya, menandai wibawa seorang dalang. Di pinggangnya terselip sebilah (curiga) keris dengan (warangka) sarung cokelat tua mengilat—bukan sekadar simbol, tapi pusaka batin yang mengikatnya dengan dunia para leluhur.

Tangan kirinya memegang cempala yang dipukulkan ke kotak wayang, dan kakinya menendang-nendang keprak. Lalu suluk ia lantunkan dengan merdu.

"Leng-lenging driya mangu-mangu

Mangun kung kanduhan rimang, ooooo

Lir lena tanpa kanin

Yen tan tulusa, eeee

Hamangku sang dyah utama

Narendra muda, ooooo"

Rumaningsih duduk di antara sinden lain, bersanggul rapi, berkain batik bermotif jlamprang, dan memakai kebaya warna biru muda. Di hadapan penonton, ia tetap terlihat seperti bunga malam yang sedang mekar. Tapi dalam dirinya, kelopak itu mulai layu pelan-pelan. Hatinya penuh genangan tak tertuang. Dalam alunan lirih tembang, hatinya terasa remuk tak dapat dinyanyikan.

Ia mencoba melantun, tapi suaranya tak naik. Ia menunduk. Jemarinya gemetar di atas lembaran lirik tembang. Setiap centang pada cengkok seperti menusuk dadanya. Tak ada yang tahu, hanya dirinya sendiri yang mendengar suara hatinya yang remuk.

Lalu Wiji datang. Dari balik kerumunan, Asmarawati melihatnya. Pria itu berdiri tak jauh dari barisan penonton paling depan. Mengenakan jaket hitam dan celana abu-abu, rambutnya agak berantakan seperti biasa. Tapi malam ini, matanya penuh ragu. Entah kenapa Wiji datang. Bukankah dia sudah memutuskan jalan lain? Bukankah kemarin ia sudah mengucapkan keputusan yang mengiris?

Asmarawati tak mampu berpaling. Matanya terpaku, lalu menunduk cepat-cepat. Dadanya sesak. Nafasnya tak beraturan.

Kini ia tahu, hadirnya Wiji tak membuatnya tenang. Justru kehadiran itu membuat luka yang tadi ia balut diam-diam, kembali menganga. Seperti luka lama yang diiris pisau baru.

Ki Ratmoyo masih memainkan wayang dengan semangat. Tidak tahu bahwa putrinya di sebelah pakeliran sudah kehilangan arah.

Tembang harusnya naik, tapi Asmarawati terlambat. Suara sumbang sedikit terdengar.

Beberapa penonton saling berpandangan.

Salah satu sinden menepuk lututnya pelan, “Asmara, kamu kenapa?”

“Asmara, konsentrasi...” bisik yang lain.

Tapi Asmarawati hanya mengangguk kecil. Ia tak bisa menjawab. Matanya mulai basah. Ia pejamkan sebentar, mencoba mengunci air yang mendesak keluar. Tapi gagal. Sebutir menetes pelan di pipinya.

Dan di bawah panggung, Wiji hanya bisa menatap, tanpa bisa mendekat.

Karena ia tahu, ia adalah sebab dari tangis itu. Tangis yang tak bersuara, tapi menyayat lebih dari gending duka.

Dari balik kelir, Asmarawati mencoba mengatur napasnya. Tapi bayangan wajah Wiji tak juga lenyap dari pelupuk. Tembang demi tembang ia lalui seperti meniti jembatan rapuh. Suaranya tetap keluar, tapi tidak lagi bersumber dari rasa. Ia hanya mengulang hafalan, bukan menyanyikan hidup. Suaranya hanya gema, bukan getar jiwa.

Sementara di bawah sana, Wiji masih berdiri. Tak beranjak. Tak bersuara. Seperti seseorang yang datang tanpa diundang, dan tahu dirinya tak lagi dinanti.

Ia menatap panggung dari balik kerumunan. Sekilas, mata mereka sempat bertemu. Hanya sepersekian detik. Tapi dalam waktu sesingkat itu, segalanya menjadi terlalu jelas.

Tak ada jalan kembali. Tak ada kata maaf yang cukup. Tak ada tempat yang bisa ia duduki lagi di dalam hidup Asmarawati.

Wiji menggigit bibirnya. Tangannya mengepal. Hatinya menolak, tapi kakinya mulai melangkah pelan. Ia tahu, tinggal lebih lama hanya akan menambah luka.

Langkahnya pelan—meninggalkan tanah yang dulu ia sebut harapan. Punggungnya menjauh,

melewati barisan penonton yang masih terpaku pada lakon, melewati suara gong yang menggetarkan langit-langit malam,

melewati kerinduan yang belum sempat diucapkan.

Dan Asmarawati hanya bisa menatap punggung itu menghilang.Tanpa bisa bersuara. Tanpa bisa mengejar. Dalam hati, ia berbisik pelan:

"Pergilah, Mas... Bila memang itu yang harus kau pilih. Tapi izinkan aku menyimpan kenanganmu, meski cuma dalam gumam tembang yang tak akan pernah sampai padamu."

Lakon wayang terus berjalan. Dalang suluk tentang kehilangan, tentang cinta yang terhalang tentang ksatria yang memilih jalan sunyi.

Dan di antara gamelan yang terus mengalun,

Asmarawati tahu: ia baru saja kehilangan seseorang yang tidak pernah benar-benar ia miliki. Tetapi sangat ia cintai.

Tabuhan kendang mengalun perlahan.

Gender, saron, dan gong ageng bersahutan.

Satu demi satu tokoh pewayangan muncul di balik kelir, ditata dengan tangan yang sudah puluhan tahun menyatu dengan sabet dan cempurit.

Suara Ki Ratmoyo mengudara—berwibawa, lirih, namun tajam.

"Kang sinangga dharma lan kautaman,

Prabu Rama Wijaya sawadyabalane mbangun tambak ana ing tengahing segara..."

Malam itu, ia membawakan lakon "Rama Tambak", kisah tentang Prabu Rama yang hendak menyeberangi samudra untuk merebut kembali Dewi Sinta dari tangan Rahwana.

Tambak—jembatan batu yang harus dibangun atas dasar cinta, kesetiaan, dan pengorbanan. Suara Ki Ratmoyo menggema:

"Nagara Alengka dudu mung benteng... nanging panggonan kang ndhelikake Shinta… Yen tresna tansah disandera panguwasa, sapa kang wani nglakoni?"

Penonton hening. Irama sindhen lirih mengisi jeda antara sabet dan catur. Namun di antara para sinden, suara Asmarawati tetap samar, kadang hilang ditelan angin malam.

Dalang Ki Ratmoyo mengangkat tokoh Hanoman. Wayang putih itu melompat di kelir, gagah dan lincah. Suara Ki Ratmoyo berubah: nyaring, bernyawa, seperti mewakili seluruh jiwa rakyat kecil yang tak kenal takut.

Gamelan naik, tabuhan cepat, mengiringi gerak Hanoman yang meloncat, mencari jalan menyeberang lautan, menuju negeri Alengka guna untuk menjemput Dewi Shinta, dari sekapan Prabu Rahwana. Suara ki dalang Ratmoyo mengguncang langit-langit kelir.

Asmarawati menggigit bibirnya. Lakon itu menusuk hatinya sendiri. Rama kehilangan Sinta. Seperti dirinya kehilangan Wiji. Tapi siapa yang akan membangun tambak untuk menyeberangi kesalahpahaman? Siapa yang berani menjadi Hanoman, menembus ragu dan restu yang tak datang-datang?

Air matanya nyaris jatuh lagi. Tapi ia tahan.

Ia menembang pelan, meski nadanya sumbang.

Suara sinden lain mencoba menutupi.

Tapi Ki Ratmoyo mulai melirik ke samping kelir. Ada keganjilan yang ia rasakan—tapi belum ia pahami.

Pakeliran berlanjut. Dalang mengangkat tokoh Rama yang duduk termenung menatap laut.

"Ingsun ndeleng segara… nanging sajake ing jero atiku sing kebak ombak." Suasana panggung mendadak lirih. Lakon berubah dari perang menjadi perenungan. Dan malam itu, seolah lakon wayang bukan sekadar cerita.

Melainkan bayang-bayang kehidupan di balik kelir nyata: tentang cinta yang tertunda, tentang tambak yang belum bisa dibangun, tentang jarak yang tumbuh bukan karena tak cinta, tapi karena terlalu banyak suara yang membatasi.

Pertunjukan pun usai. Gamelan pelan-pelan menutup tirai malam, satu per satu suara beringsut pulang bersama penonton yang meninggalkan panggung. Kelir dilipat. Wayang-wayang kembali ke kotaknya. Tapi di dada Asmarawati, segalanya masih belum rapi. Nada-nada yang harusnya selesai justru mengendap jadi sunyi yang lebih nyaring.

Ia duduk memandangi kelir yang kini kosong, seolah Wiji pernah berdiri di baliknya—menyusup sebagai bayangan yang tak sempat menyapa, namun cukup dalam untuk melukai.

Bayangan itu kembali. Tatapan Wiji yang selalu penuh tanya, suara parau yang pernah ia rindukan, dan janji-janji yang tak pernah sempat ditulis di atas batu atau kertas.

"Asmarawati..." Nama itu seakan masih terdengar, dipanggil oleh seseorang yang tak berani muncul.

Ia menarik napas dalam-dalam, namun tak ada yang ikut terangkat kecuali rindu yang menggantung. Dadanya sesak oleh kemungkinan-kemungkinan yang tak jadi kenyataan.

Di kejauhan, suara sepeda motor meraung pelan. Entah itu Wiji, entah bukan. Tapi jantungnya berdegup seperti mengenal suara itu.

Ia ingin berdiri, tapi langkahnya bimbang.

Ia ingin melupakan, tapi hatinya belum sanggup menolak.

Karena cinta yang ditahan diam, kadang lebih menyakitkan daripada perpisahan.

Dan malam itu, meski panggung sudah kosong,

Asmarawati tahu: pertunjukan di dalam hatinya

masih terus berlangsung.

"Asmarawati…" Suara lembut itu memecah lamunannya.

Ia menoleh. Ibunya—Sundari—berdiri tak jauh di belakang, membawa selendang dan tas kecil. Matanya menatap anak gadisnya, bukan sebagai sinden, tapi sebagai putri yang sedang sembunyi dari luka.

"Ayo, pulang. Embun pagi mulai turun," ujar Sundari pelan, tanpa nada mendesak, tapi cukup untuk mengajak Asmarawati kembali ke ruang kenyataan.

Asmarawati hanya mengangguk. Langkahnya pelan menyusuri jalan setapak di samping panggung. Sendal selopnya berderap lembut di atas rumput basah embun. Di belakangnya, ibunya mengikuti dalam diam.

Sepanjang jalan, tak ada kata-kata. Hanya suara binatang pagi buta dan desir angin sawah yang menyelinap masuk ke sela-sela kain jarik mereka. Tapi dalam diam itu, hati Asmarawati tetap gaduh. Bayangan Wiji masih membayang seperti kabut tipis yang enggan sirna.

Sampai di tikungan jalan, ia sempat menoleh ke belakang. Panggung sudah gelap, hanya lampu-lampu kecil yang masih berpendar samar. Tapi entah kenapa, ia merasa seperti ada seseorang yang masih berdiri di balik kelir—mengawasinya, menunggu sesuatu yang tak kunjung diucapkan.

Sundari paham. Ia meraih tangan putrinya, menggenggamnya sebentar. Hangat dan halus, seperti masa kecil yang belum jauh.

Dan suasana pun kembali sunyi, sementara langkah kaki ibu dan anak itu berjalan pulang meninggalkan panggung pementasan.

Sesampainya di rumah, Asmarawati langsung masuk ke kamarnya tanpa banyak bicara.

Sundari hanya memandanginya sejenak dari ambang pintu, lalu meletakkan selendangnya di gantungan bambu dekat jendela.

"Ndang istirahat, Nduk" katanya pelan. Asmarawati hanya mengangguk kecil.

Ia rebah di atas dipan, tanpa sempat mengganti kain atau membersihkan riasan di wajah. Tapi bukan lelah yang membuatnya rebah. Bukan tubuhnya yang letih, melainkan hatinya—yang terlalu penuh oleh perasaan yang tak bisa diucapkan.

Kamar itu hening. Ia memejamkan mata.

Tapi kelopaknya justru jadi layar tempat kenangan memutar ulang: tatapan Wiji dari kejauhan, senyum kecilnya di balik keremangan, suara parau yang selalu ia ingat, dan janji yang tak pernah benar-benar sempat diucapkan.

Ia berbalik ke kiri, ke kanan, menarik bantal lebih erat, tapi tak juga bisa merem. Yang terasa hanyalah detak jantung yang tak beraturan, dan rasa sesak yang diam-diam menyesap di dada.

Di luar, angin malam mulai turun, menggoyang daun jendela perlahan. Asmarawati membuka mata, menatap langit-langit bilik.

"Mas Wiji…" Nama itu tak keluar dari mulutnya, tapi bergema di dalam kepalanya seperti mantra yang tak pernah selesai.

Ia menarik napas panjang. Kemudian menghembuskannya perlahan. Seolah berharap, rasa itu bisa ikut pergi bersama embusan itu.

Tapi pagi buta itu terlalu dingin untuk dilawan. Dan rindu terlalu diam untuk disembuhkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!