"Aku tidak mau dijodohkan! Bukankah kalian semua tau kalau aku sudah memiliki kekasih? " "Kami semua tau nak, tapi tidak bisakah kamu menolong papa sekali ini saja, ? " "Tidak! Yang menjadi anak dirumah ini bukan hanya aku saja, masih ada Melodi di rumah ini, kenapa bukan dia saja yang kalian jodohkan! "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alizar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Maudy memanggil Arman dengan suara gemetar, "Arman, kita perlu bicara sekarang juga!" Arman yang terkejut dengan nada Maudy langsung menyetujui untuk bertemu di kafe langganan mereka.
Sesampainya di kafe, Maudy langsung menatap Arman dengan pandangan yang tajam. "Arman, apakah benar kamu berniat menjualku di situs online?" tanya Maudy, suaranya bergetar namun penuh dengan keberanian.
Arman yang kaget mendengar pertanyaan tersebut langsung menarik napas panjang, kebingungan terpancar dari wajahnya. "Maudy, apa yang kamu bicarakan? Tentu saja tidak, itu adalah fitnah belaka!"
Maudy merasa lega sekaligus marah, "Jadi Melody berbohong padaku? Mengapa dia bisa melakukan hal itu?" Air mata mulai menggenang di matanya, rasa sakit hati karena dikhianati adiknya sendiri terasa begitu mendalam.
Arman meraih tangan Maudy, mencoba menenangkannya. "Mungkin ada kesalahpahaman, Maudy. Aku akan bicara dengan Melody, kita harus mengklarifikasi ini semua."
Keduanya lantas menghabiskan waktu berbicara lebih banyak, mencoba mengurai kebimbangan yang sempat menggoyahkan hubungan mereka. Maudy merasa bersyukur karena Arman masih bisa dipercaya, namun hatinya masih terluka karena ulah Melody.
"Sampai kapanpun kau tidak akan bisa membongkar rahasia ku, dan menggagalkan nya, Melody. Untuk kali ini aku harus lebih berhati hati lagi, " Batin Arman
***
Melody duduk termenung di ruang tamu rumahnya, menggenggam ponsel dengan kedua tangan. Pikirannya melayang ke pertemuan tadi siang dengan kakaknya, Maudy, yang menolak percaya bahwa Arman, kekasih Maudy, berencana menjualnya di situs online. Kekecewaan dan frustrasi tergambar jelas di wajahnya.
Lampu ruangan yang redup menambah suasana muram yang kian menyelimuti hatinya. Tiba-tiba, suara roda kursi terdengar mendekat. Arkan, suaminya yang tampan rupawan itu, menghampirinya dengan kursi roda.
"Kenapa kamu terlihat begitu sedih, Melody?" tanya Arkan dengan nada penuh kekhawatiran. Matanya menatap Melody dengan penuh perhatian, mencoba membaca apa yang tersimpan di balik raut wajah murung itu.
Melody menoleh, matanya bertemu dengan pandangan Arkan yang hangat. "Aku... aku merasa tidak berdaya, Arkan," ucap Melody dengan suara bergetar, "Maudy tidak percaya padaku. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana meyakinkannya tentang niat jahat Arman."
Arkan mendekatkan kursi rodanya, mengambil tangan Melody dan memegangnya dengan erat. "Kita akan temukan cara, Mel. Kita akan buktikan kebenarannya," kata Arkan dengan penuh keyakinan. Sorot matanya yang tegas seakan memberi semangat baru bagi Melody untuk tidak menyerah.
Tadi saat diperjalanan pulang Melody yang terus melamun tidak sadar jika tengah diperhatikan oleh supir yang bekerja dengan nya. Supir yang ditugaskan Arkan untuk selalu berada di dekat istrinya itu, dan melaporkan apa saja yang bersangkutan dengan istrinya. Termasuk kejadian hari ini, sang supir sudah memberitahu segalanya pada Arkan.
Dan tidak lama setelah supir itu memberitahu, Arkan pun menelpon Melody dan berpura pura bertanya apakah semuanya berjalan dengan baik? Akhirnya Melody yang merasa tidak sanggup memikirkan nya seorang diri pun memberitahu Arkan semuanya.
Melody menghela napas, mengangguk pelan. "Aku harus menemukan bukti yang tidak bisa dia pungkiri lagi. Aku tidak bisa membiarkan kakakku terjebak dengan orang seperti Arman," ucapnya dengan tekad yang membara.
Dalam keheningan malam, mereka berdua terpaku, saling berpegangan tangan, bersumpah akan menghadapi ini bersama. Meski rintangan tampak begitu besar, kebersamaan dan cinta yang mereka bagi menjadi sumber kekuatan untuk melawan kejahatan yang mengintai dalam diam.
***
Arkan memasuki ruangan dengan Fajar yang setia mendorong kursi roda miliknya, yakin bahwa hari ini adalah hari yang akan mengubah segalanya. Namun, yang dia temukan di dalam ruangan itu adalah Arhan, saudara kembarnya, dengan senyuman yang penuh tipu daya. Arhan, yang selama ini dikenal sebagai saudara yang terpercaya, ternyata memiliki sisi gelap yang tak pernah Arkan sangka.
"Arkan, apa kabar? Lama tidak bertemu," ucap Arhan dengan nada yang terdengar manis namun penuh kepalsuan. Senyumnya tidak menyentuh matanya yang dingin dan hitam, seolah-olah memandang mangsa yang siap dia koyak.
Arkan, yang mulanya memasang raut biasa berubah menjadi datar, kini ia merasakan kekecewaan yang mendalam. "Aku baik-baik saja, Arhan. Namun, sepertinya kamu punya sesuatu yang ingin kau beritahu padaku," katanya dengan nada berhati-hati, mencoba tidak terprovokasi oleh kebusukan yang terpancar dari saudaranya itu.
Arhan tertawa kecil, sebuah tawa yang mengejek dan menyakitkan. "Oh, Arkan. Kamu selalu begitu naif. Apakah kamu benar-benar berpikir bahwa aku akan terus-terusan mendukungmu? Aku punya rencana lain, dan kamu tidak lebih dari batu sandungan di jalanku."
Mata Arkan memerah, emosi bercampur aduk antara kemarahan dan kesedihan. "Jadi ini yang selama ini kamu sembunyikan? Wajahmu yang sebenarnya?" Tangan Arkan terkepal, merasakan pengkhianatan yang mendalam.
Arhan hanya mengangkat bahu, seolah-olah pengkhianatan yang dia lakukan bukanlah hal besar. "Aku harus melakukan apa yang terbaik untukku, Arkan. Dan jika itu berarti aku harus menyingkirkanmu, maka itu yang akan kulakukan."
Dengan hati yang hancur namun tekad yang kuat, Arkan menghadapi Arhan. "Kamu mungkin saudaraku, Arhan, tapi mulai saat ini, kita adalah musuh. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan apa yang telah kucoba bangun dengan susah payah."
Arhan hanya tersenyum sinis, senyum yang semakin menegaskan kebusukan hatinya. "Kita akan lihat, Arkan. Kita akan lihat siapa yang akan tertawa terakhir."
"Dan perlu kau ingat, Arkan. Aku akan rebut semua yang kau miliki saat ini." Arhan berdiri dari duduknya, ia berjalan mengitari arkan yang setia duduk dikursi roda miliknya.
"Seharusnya beberapa tahun yang lalu aku langsung membunuh mu saja, tapi ternyata aku salah, dari tragedi kecelakaan itu kau masih hidup. Ya, minusnya kau hanya lumpuh dan menghabiskan waktu sepanjang hari dengan kursi roda busukmu ini. Kita lihat kedepan nya, apa yang bisa dilakukan oleh seorang pria lumpuh Arkan Putra Sanjaya, seperti mu ini hm.? " Setelah berkata seperti itu, Arhan pergi dari sana dengan tawa riang serta langkah yang lebar
Meninggalkan Arkan disana dengan rahang yang mengeras. "Mau sampai kapan kau seperti ini? " Suara fajar terdengar setelah sedari awal tiba ia hanya diam saja.
"Sebentar lagi, bukankah semua buktinya sudah terkumpul, aku akan membongkar kebusukannya tepat dihari ulang tahun papa dan mama nanti. " Jawab Arkan dengan sorot mata yang lurus kedepan.
"Memangnya semua bukti sudah benar benar terkumpul? " Ucap Fajar sedikit ragu
"Kau tenang saja, beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan Hendra. Dan sudah memberikan semua yang aku butuhkan. " Jawabnya membuat Fajar terdiam
Flashback on
Arkan duduk di kursi roda yang sudah menjadi temannya selama lima tahun terakhir. Di hadapannya terhampar berkas-berkas tebal yang menumpuk di meja besar. Cahaya lampu meja menerangi wajahnya yang serius, matanya tajam menelusuri setiap dokumen yang dipegangnya.
Di samping Arkan, ada Hendra, sahabatnya yang juga seorang detektif swasta. Hendra menyodorkan satu berkas lagi kepada Arkan. "Ini bukti terbaru yang kita dapatkan dari penyelidikan kemarin," ujar Hendra dengan nada rendah. Arkan mengangguk, mengambil berkas tersebut dan mulai membacanya dengan seksama.
Lembar demi lembar, Arkan dan Hendra mengumpulkan bukti kejahatan yang telah Arhan lakukan. Dari foto-foto kecelakaan yang memperlihatkan kejanggalan pada rem mobil Arkan, hingga rekaman video yang menangkap Arhan sedang bertransaksi menggunakan barang haram. Semua bukti itu mereka susun rapi, memastikan tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh Arhan untuk lolos dari jerat hukum.
Arkan merasa sebuah beban berat mulai terangkat dari bahunya. Setelah bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang Arhan, kini dia bisa melihat cahaya keadilan di depan mata. Walaupun membutuhkan waktu yang lama, dan membuat nya harus terus menerus bersandiwara, semangatnya untuk membawa Arhan ke pengadilan tidak pernah pudar.
"Sudah waktunya kita serahkan semua ini ke pihak berwajib," kata Hendra, menutup pembicaraan mereka malam itu. Arkan hanya mengangguk, matanya masih tertuju pada berkas-berkas di meja. Hatinya berdebar, menantikan keadilan yang akan segera tiba.
Flashback off