“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 02
“Dia_ kemana dia?!”
Bugh!
Kaki pincangnya tidak bisa menahan keseimbangan, berakhir terjengkang.
"Kemana perginya dia?" kedua pria lainnya tidak kalah terkejut.
"CEPAT CARI! JANGAN SAMPAI SI SUNDAL ITU MENGADU PADA WARGA!!!" Pria kejam yang tadi berlaku sangat kasar, berteriak nyaring, ia bergegas mengeluarkan parang yang terikat pada pinggang.
Ketiga sosok itu mengamati tempat dimana tadi sang korban mereka ikat. Hanya ada tali tambang, sandal jepit, bra yang tali depannya putus, celana dalam robek, baju terusan tak berbentuk lagi.
“Hujan Bedebah!” pemuda berwajah codet terlihat murka, mulutnya terus mengumpat, berjalan sembari memicing dan melotot kan mata, mencari jejak Sawitri.
Namun, seberapa jauh mereka melangkah, secuil pun tak ditemui jejak apalagi sosok wanita yang tadi mereka tinggalkan dalam keadaan pingsan.
“Jahannam! Kemana perginya Lonte itu?!” Ia mengelap keringat di pelipis, kaki nya terasa berdenyut dikarenakan terlalu lama berjalan tak tentu arah.
Hari sudah mulai gelap, langit pun tampak menghitam, ketiga manusia tanpa perasaan itu masih tetap berjalan bersisian mencari Sawitri. Namun, akibat hujan deras tadi, mereka kehilangan jejak, tak ada telapak kaki, ataupun tetesan darah.
Sawitri seolah menghilang bak ditelan bumi.
Sampai dimana para pria layaknya preman itu tiba di pinggir sungai.
“Apa mungkin dia menyeberangi sungai besar itu dan memasuki hutan terlarang?”
“Bodohnya kau! Mana mungkin dia bisa berenang, sedangkan untuk bangun saja tak mampu. Tak nya kau lihat tadi, tubuhnya habis babak belur kita buat, bisa jadi pun kewanitaannya robek!” ketus pria sangar rambut gondrong.
Si pincang menghela napas kasar, dia nyaris putus asa, lelah, lapar, kesal, nafsu tak tersalurkan, semua rasa itu menjadi satu.
Tiba-tiba suasana menjadi senyap, sunyi, udara segar tadi berubah pengap, hampa. Binatang hutan seketika berhenti berbunyi, burung-burung walet tidak lagi berterbangan di atas permukaan air sungai yang berwarna keruh.
Sepersekian detik kemudian, hewan Gareng berbunyi saling bersahutan.
“Ada Gareng! Sebaiknya kita pergi dari sini!” si pria codet berbalik badan, tengkuknya merinding, ia dapat merasakan aura mistis yang pekat.
Kedua temannya mengikuti dari belakang, mereka melangkah tergesa-gesa.
Para warga mempercayai bila ada Gareng berbunyi, berarti ditempat yang sama ada pula sosok ghaib.
Suara motor yang tidak ber plat itu terdengar bising, sang pengendara memutar habis gas tangan.
Bertepatan dengan itu, dibalik pohon keramat, muncul sosok berjubah putih, rambut panjang menutupi wajah, terlihat membuka kepalan tangannya berkuku runcing, memanggil hewan peliharaan, Gareng hijau.
Seketika suasana kembali hangat, burung hantu berbunyi, dan jangkrik mengerik.
.
.
“Bagaimana Pak? Apa Witri sudah ketemu?” tanya Mina, wajahnya terlihat cemas, sembab.
Pak Kasman menggeleng lemah, meluruhkan bokong pada undakan tangga teras, perutnya terasa perih, pakaian basah, tapi tidak dirasa.
“Lantas kita harus apa, Pak?” bu Mina kembali histeris, dia turun dari pembatas rumah, duduk tepat di belakang sang suami. Tangan tua nya mengguncang bahu pak Kasman.
“Ayo kita ke rumah Juragan Bahri, Pak! Siapa tahu Witri ada di sana bersama suaminya,” ajaknya.
“Tak mungkin, Buk. Kita tahu betul bila pernikahan Sawitri dan nak Hardi, tersembunyi dan hanya secara siri.” Pak Kasman meraup wajahnya seraya menghembuskan napas letih.
“Beberapa kali kita dapati saat Nak Hardi mewanti-wanti Sawitri, agar jangan sampai membeberkan pernikahan mereka, tak boleh juga berkunjung ke hunian mertuanya. Semua itu telah membuktikan kalau menantu kita belum siap jujur dihadapan orang tuanya,” sambungnya terdapat nada sesal.
Bu Mina tergugu, ingin bertindak lebih tapi terhalang status tersembunyi sang putri.
Ya, tiga bulan yang lalu, Sawitri dinikahi oleh Hardi. Namun pernikahan itu hanya dihadiri Hardi seorang diri, dan kedua orang tua Sawitri serta pak penghulu, ada juga seorang saksi bayaran dari pihak Hardi.
Sebenarnya kedua orang tua Sawitri tidak setuju, mereka sadar diri akan kesenjangan ekonomi. Keluarga sang menantu bukan orang sembarangan, melainkan sosok ditakuti, pemilik perkebunan kopi terbesar di wilayah transmigrasi.
Sementara keluarga Sawitri, hanya pekerja serabutan, tak jarang pula menjadi pemetik buah kopi di perkebunan milik juragan Bahri.
Namun, putri mereka sudah terlanjur jatuh cinta kepada Hardi, pemuda baik budi, begitu menyayangi, dan berkelakuan baik, bertutur kata sopan. Sehingga tidak ada cara lain, selain merestui hubungan mereka, daripada berbuat zinah.
"Witri kau dimana Nak? Apa tak kasihan lihat Mamak dan Bapak yang mencemaskan mu ini," lirih bu Mina.
***
Malam semakin larut, kedua orang tua Sawitri duduk di lantai ruang tamu, hanya ditemani lampu teplok yang kacanya menghitam sebagian dikarenakan nyala api terlalu besar.
Tidak ada yang bersuara hanya terdengar suara sesenggukan tangis Bu Mina. Pintu rumah masih dibuka, mereka menunggu kepulangan putri semata wayang.
“Kalau sampai besok pagi Witri belum pulang juga, kita harus ke rumah juragan Bahri, Pak! Ibuk tak peduli lagi pada permintaan Hardi, bila nanti pun kita kehilangan mata pencaharian, tak mengapa asal Sawitri pulang,” lirih bu Mina, suaranya terdengar serak.
“Semoga saja Sawitri bersama dengan suaminya, Buk. Sebelumnya juga dia pernah pergi dua hari dibawa oleh Hardi ke kota, siapa tahu sekarang pun sama seperti itu,” katanya penuh harap, matanya tidak berkedip menatap suasana gelap diluar sana.
.
.
Pagi hari, kabut tebal masih menyelimuti, embun membasahi dedaunan. Pada undakan tangga rumah panggung sederhana, seorang pria bertubuh gagah tengah mengetuk pintu, wajahnya dipenuhi binar bahagia, merasa senang bisa bertemu kembali dengan sang pujaan hati.
Tok
Tok
“Ibuk, Pak, Sayang!” ia terlihat tak sabaran, sebelah tangannya menjinjing plastik kresek.
Daun pintu yang terlihat keropos dimakan rayap itu dibuka setengah, terlihat sosok wanita paruh baya berwajah kuyuh, kantung mata menghitam, rambut putihnya keluar dari gelungan.
“Ibuk, kenapa?”
“Mana Sawitri, Hardi?!” pertanyaan dibalas tanya, seraya kepalanya bergerak ke kanan-kiri mencari sang putri.
“Maksudnya apa, Buk? Saya kemari ingin bertemu Witri. Ini saya bawakan buah anggur kesukaannya,” rautnya kebingungan hingga keningnya mengernyit dalam.
“Bapak!” Bu Mina berpegangan pada kusen pintu, ia tak sanggup menahan bobot tubuh.
“Apa Buk? Witri pulang kah?” langkahnya tergesa-gesa, sampai kain lap yang tersampir di pundaknya terjatuh, ia sedang menanak nasi di dapur terpisah dari bangunan rumah.
“Nak Hardi, mana putri Bapak?” netra tuanya bergerak liar, mencari sosok yang begitu ia kasihi.
Antara bingung, sedih, Hardi menatap tidak percaya pada kedua mertuanya. “Sebetulnya ini ada apa? Tolong jelaskan!”
Melihat wajah nelangsa sang menantu, pak Kasman menguatkan hati, ia bertutur lirih menceritakan tentang niat Sawitri yang ingin mengabarkan kehamilannya kepada suaminya.
“Ayo kita temui Ayah! Hanya dia yang bisa membantu mencari istriku.” Hardi menghapus kasar air matanya, buah tangan yang ia bawa tadi telah jatuh di tanah.
“Apa kau telah siap menanggung resiko atas terbongkarnya pernikahan siri mu ...?”
.
.
Bersambung.
ilate di ketok
🥺
wehhh emg ya klo punya pesugihan jelas pasti punya ya kann
wow lawannya juga gk main main menguasai ilmu hitam ... kira kira ketahuan gk ya....