"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Black Card
Liana terisak di atas ranjang menghadap ke tembok. Rasa kesal bercampur malu telah membuatnya sangat marah pada Arya. Selamaini, ia telah memakai dan memamerkan barang palsu. Mau ditaruh di mana mukanya?
"Kamu masih marah, Lis? Sudah, lupakan saja masalah perhiasan itu." Arya berkata dengan mudahnya. la merebahkan tubuhnya di samping Lisna usai mandi.
"Ugh, rasanya nyaman sekali setelah seharian bekerja," celetuk Arya.
Lisna menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya."Aku malu, Mas. Dengan percaya diri aku memamerkan perhiasan yang kamu kasih ke aku. Ternyata,semua perhiasan itu tak ada harganya. Semua palsu!" ucapnya.
"Seandainya saja, aku tadi enggak ke toko emas, mungkin sampai kapan pun aku akan selalu percaya kalau emas yang aku pakai asli," tambahnya.
Arya membuang napas panjang. "Lagian ngapain musti dipamer- pamerin, sih?"
Lisna tersentak. Ia bangkit dan duduk menatap Arya dengan mata sembab. "Aku cuma mau agarsemua orang di sini menganggap kamu beneran sukses, Mas. Lagian,kamu kan punya uang banyak. Kenapa harus beli emas palsu?"
Arya mendengkus kesal. "Itu mulu yang dibahas. Kalau gak suka sama perhiasannya, tinggal buang aja!"
Lisna terhenyak. "Mas, kamnu..
"Sudahlah, Lis. Aku tuh capek. Habis pulang kerja, bukannya disambut dengan baik, malah diajak ribut. Tiru, tuh kakakmu yang selalu menyambut kepulangan Raffa dengan baik," kata Arya.
Lisna menggigit bibir bawahnya. "Kamu berubah..."ucapnya lirih, dengan air mata berderai.
Arya berdecak kesal. "Ayolah, Lis. Kita sudah sama- sama dewasa.bKamu juga sedang hamil. Fokus saja sama kehamilanmu, dari pada sibuk mengurus perhiasan. Toh, kamu pakai perhiasan banyak buat apa? Cuma buat nunjukin kalau kamu lebih unggul dari Hanin begitu?"
"Sudahlah, aku capek mau ngopi saja. Dari pada di sini, malah bikin suntuk!" Arya berjalan meninggalkan Lisna yang masih terisak di atas ranjang.
Wanita yang tengah hamil itu mengira bahwa Arya akan meminta maaf dan merayunya, tetapi ternyata tidak. Ia salah mengira. Arya justru memarahinya, bahkan membanding- bandingkannya dengan Hanin.
"Arrgghh! Sialan!" teriak Lisna seraya melempar bantal ke lantai.
Arya meminta Bu Daning membuatkan kopi untuknya. Mertuanya itu sepertinya sengaja berada di depan kamarnya dengan berpura- pura menonton tivi. Padahal, sebenarnya sedang menunggu hal apa yang akan terjadi pada Lisna.
"Kopi?" Bu Daning terkejut.
"Iya. Lisna tidak bisa kalau kusuruh buat kopi. Rasanya gak kayak kopi, Bu. Makanya aku minta Ibu saja yang buatin," jelas Arya seraya duduk di kursi samping Bu Daning.
Bu Daning terkejut dengan sikap Arya yang tak ada sopan-sopannya. Berbeda jauh dengan Raffa yang selalu bertutur kata lemah lembut dan tak pernah kurang ajar apalagi menyuruh-nyuruh seperti Arya.
"Kenapa Ibu masih di sini? Ibubgak mau buatin aku kopi?" tanya Arya seraya menatap Bu Daning dengan alis terangkat.
"Oh, i- iya ... baiklah akan ibu buatkan." Bu Daning beranjak kedapur untuk menyeduh kopi.
Tak berselang lama, Bu Daning kembali sambil membawa secangkir kopi dan meletakkannya di meja di hadapan Arya. "Ini, Nak.Minumlah pelan- pelan. Soalnya masih panas," tukasnya.
"Hem...." Tak ada kata terima kasih. Arya malah dengan tidak sopan mengangkat kalinya ke atas meja.
Bu Daning diam sambil memilin jari- jemarinya. "EmmNak Arya? Ibu mau minta tolong," ucapnya, pelan.
Arya menatap Bu Daning dengan wajah penasaran. "Minta tolong apa, Bu?"
"Itu... ibu butuh uang lima juta. Apa kamu bisa meminjamkan uang sama ibu?" Bu Daning berkata dengan sedikit takut.
Arya berdecak kesal. "Oh, jadi gara- gara Ibu, Lisna mau menjual perhiasannya tadi?" tuduhnya dengan mata memicing.
"Maaf, Nak Arya. Ibu terpaksa ... ibu kira kan itu emas asli. Bisa ibu pinjam. Gak taunya cuma imitasi," celetuk Bu Daning yang kembali membuat Arya kembali kesal.
Arya mendengkus. "Bisa tidak gak usah bahas masalah emas itu lagi? Lagi pula apa Ibu tahu kenapa aku berikan Lisna emas palsu?"
Bu Daning menggeleng, wajahnya begitu polos. la seperti kerbau yang dicucuk hidungnya jika berhadapan dengan Arya maupun Lisna.
"Untuk menghindari hal seperti ini." Arya melengos, kembali menatap televisi tabung didepannya.
"Aku sudah bisa menduga kalau bakalan begini akhirnya. Jika aku berikan Lisna perhiasan asli dengan harga puluhan juta, pasti satu per satu emas itu akan habis dijual oleh Ibu dan Lisna," ucapnya.
Hati Bu Daning teriris mendengar tuduhan Arya. "Ucapannmu kok begitu, sih, Nak? Ibu cuma minjam. Nanti kalau ada uangnya pasti bakalan ibu balikin," katanya, masih berusaha tenang, meski kedua matanya terasa panas.
Arya kembali mendengkus."Memang Ibu sanggup mengembalikan uang yang Ibu pinjam dengan cepat? Gak bakal bisa, Bu! Yang ada puluhan tahun baru bisa bayar!"
Di ruang tamu, yang terpisah oleh dinding, Hanin dapa tmendengar ucapan Arya yang terus menghina ibunya. la mengepalkan kedua tangan, hatinya ikut remuk mendengar setiap kata yang Arya lontarkan. Sangat kurang ajar jika seorang menantu bersikap seperti itu kepada mertuanya.
"Pasti bakalan ibu bayar. Ibu kepepet, Nak. Apa tidak bisa kamu bantu Ibu?" Bu Daning kembali memohon. la tak peduli lagi jika sudah direndahkan menantunya sendiri.
Sementara Hanin yang sudah menitikkan air mata, segera menunjukkan diri. "Bu, Ibu ngapain ngemis- ngemis sama Arya, Bu?"
Bu Daning dan Arya tampak kaget melihat kehadiran Hanin. Namun, Arya hanya tersenyum sinis saat bertatap mata dengan kakak iparnya itu.
"Bukan urusanmu, Nin! Pergilah!" usir Bu Daning.
Hati Hanin mencelos. Seandainya ia yang bersikap seperti Arya tadi, pasti akan berbeda .Bukannya terus berbaik hati, ibunya pasti akan mencelanya sampai keluar kata- kata yang tak pantas.
"Bu, aku gak terima kalau Ibu dihina sama dia. Hatiku sakit, Bu!"cetus Hanin seraya menepuk-nepuk dadanya. "Aku gak bisa terima kalau Ibu direndahkan seperti itu!"
Bu Daning bergeming. la memejamkan mata, seraya merasakan gejolak amarah yangtak terkendali dalam dadanya.
Hanin menarik napas dalam- dalam. "Berapa uang yang Ibu butuhkan?" tanyanya pada akhirnya.
"Lima juta. Memang kamu punya uang segitu. Pasti gak punya, kan?" Bu Daning memang selalu
menganggap Hanin sebelah mata. Padahal, meski pekerjaannya hanya di toko kelontong, ia lebih hemat ketimbang Lisna yang seorang bidan.
"Ibu tunggu di sini. Aku ambilkan uangnya dulu." Hanin beranjak ke kamarnya.
la membuka dompet berisi uang tabungan yang sudah ia kumpulkan selama tiga tahun. Rasanya berat, tapi mau bagaimana lagi? Ibunya pasti sangat membutuhkan uang ini sampai harus mengemis pada Arya.
Hanin keluar kamar, lalu memberikan uang dengan jumlah yang diminta ibunya. "Ini, uang yang Ibu minta. Gunakan uang itu sesuai kebutuhan Ibu. Tidak usah dikembalikan. Aku ikhlas!" Ia meletakkan uang itu di tangan Bu Daning, kemudian kembali kekamarnya dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan.
Sementara Bu Daning menatap segepok uang di tangannya dengan perasaan remuk. Entahlah, egonya masih terlalu tinggi untuk bisa menerima Hanin.
Raffa pulang ke rumah dan segera menemui sang istri di kamar. Namun, ia melihat Hanin sedang murung dengan duduk di tepi ranjang sambil menatap dompet kosong di tangannya.
"Kamu kenapa?"
Hanin menatap Raffa. "Mas, aku bingung dengan hatiku. Tadi, aku memberikan semua tabunganku untuk Ibu."
Raffa bertanya, "kenapa? Bukannya itu uang yang kamu kumpulkan lama sekali?"
Hanin mengangguk. "Ibu sepertinya terlilit utang arisan.Tadi, aku lihat dia mengemis- ngemis sama Arya tapi Arya malah diam saja dan malah enak- enakan nonton tivi. Mana bisa aku diam saja. Hatiku sakit melihatnya, Mas.Jadi, aku berikan saja uang ini," jelasnya.
Raffa mengusap kepala Hanin dengan lembut. "Keputusanmu sudah benar. Aku bangga padamu,Nin."
Raffa lantas mengeluarkan kartu debit dan memberikannya pada Hanin. "Ini untukmu. Pinnya adalah tanggal ulang tahunmu."
"Ini ... apa?" Hanin menatap kartu berwarna hitam di tangan suaminya itu.
"Ini uang nafkah dariku. Kamu bisa mengambilnya sendiri sesuai keinginanmu, jelas Raffa.
"Terimalah, ini sudah menjadi hakmu," ucapnya.
Hanin menerima kartu itu dengan perasaan gamang. Iniadalah kali pertama ia memegang kartu seperi itu.
"Ini kalau mau ambil uang harus ke atm, ya?" tanyanya.
Raffa tersenyum. "Iya. Pakailah uang itu sesukamu."
Hanin tersenyum. "Makasih, Mas. Memang berapa isinya?"
Raffa menggaruk tengkuknya.
"Emm, tidak banyak. Tapi, cukup untukmu," sahutnya.
Hanin tersenyum. "Baiklah, aku menerimanya. Makasih banyak, ya, Mas."
"Sama- sama. Jangan murung lagi. Aku yakin kalau ketulusanmu pada ibumu tidak akan berakhir sia- sia," tutur Raffa yang dibalas anggukan oleh Hanin.
"Aku cuma nggak nyangka kalau Arya bisa kurang ajar begitu sama Ibu." Hanin kembali murung.
"Nanti dia akan dapat balasannya sendiri. Kamu tenangsaja." Raffa mengusap kepala Hanin seraya tersenyum penuh arti.