NovelToon NovelToon
Kutukan Seraphyne

Kutukan Seraphyne

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Cintapertama / Reinkarnasi / Iblis / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:611
Nilai: 5
Nama Author: Iasna

Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.

Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.

Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13: Lidah Api di Ruang Singgasana

Langkah Alvaren menggema di lorong istana, berat dan terarah. Dentingan sepatu logamnya menyatu dengan keheningan yang hampir mencekik. Setiap penjaga yang ia lewati memberi hormat, tapi ia hanya mengangguk sekilas. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal—Seraphyne.

Sudah berhari-hari ia melihat perempuan itu menahan nyeri dalam diam, menyembuhkan puluhan orang, mengerahkan lebih dari yang bisa diterima tubuh fana, dan pulang dalam keadaan menggigil, pucat, bahkan tak sadar diri. Alvaren tahu ini tak bisa dibiarkan. Dan hanya ada satu orang yang dapat mengubah itu: Sang Raja.

Di ruang singgasana, Raja Eldrin menyambutnya dengan tatapan tinggi dari tahtanya yang menjulang. Ia mengenakan jubah ungu tua, dihiasi emas tipis dan simbol kerajaan. Di sisi kanannya, berdiri Thalean, tenang dan penuh senyum seperti biasa.

“Alvaren,” ujar Raja Eldirn. “Apa yang membawamu ke hadapanku pagi-pagi begini?”

Alvaren berlutut, mengepalkan tangan di dada. “Hamba memohon izin bicara, Raja.”

“Izinkan,” ucap Eldrin, tak menunjukkan emosi.

“Hamba ingin memohon keringanan tugas bagi tabib utama istana... Ephyra. Tenaganya terlalu sering digunakan, dan dalam beberapa hari terakhir ia jatuh sakit karena kelelahan parah. Bahkan dengan bantuan dua asistennya, beban kerjanya terlalu berat. Hamba hanya—”

Eldrin mengangkat tangannya, dan Alvaren terdiam.

“Kau mengajukan permintaan ini... untuk seorang tabib?” Suara Eldrin turun satu oktaf, lebih dingin. “Apa kau menganggap pilihanku keliru?”

“Hamba tidak bermaksud meragukan keputusan Raja.” Alvaren menunduk dalam-dalam. “Namun sebagai panglima, hamba juga berkewajiban menjaga setiap bagian kekuatan kerajaan. Dan saat ini, Ephyra adalah salah satu tiang penting pertahanan dalam bentuk lain.”

“Cukup.”

Suara itu menghentikan napas di ruang singgasana.

“Apakah kau lupa tempatmu, Alvaren?” Eldrin bangkit perlahan. “Kau panglima perang. Tugasmu memimpin pasukan. Bukan mencampuri urusan dalam istana, apalagi mempertanyakan pilihanku.”

Alvaren menegakkan kepala. “Raja, hamba hanya khawatir. Jika dia terus seperti ini—”

“Dia akan mati?” Eldrin menyeringai dingin. “Kalau memang ia tidak sanggup, mungkin aku salah menilainya.”

“Tidak,” suara Alvaren nyaris gemetar. “Dia tidak lemah. Justru karena dia begitu kuat, dia tak tahu kapan harus berhenti.”

Thalean tertawa pelan. “Terkadang, kekhawatiran terlalu besar bisa mengaburkan akal sehat, Panglima.”

Tatapan Alvaren menghujam Thalean sesaat, tapi ia menahan lidahnya.

Eldrin melangkah turun satu anak tangga. “Kau terlalu terikat pada tabib, Alvaren. Jangan biarkan itu melemahkanmu. Ephyra tahu tugasnya. Dia dipilih, sama seperti kau dipilih memegang pedang. Jika dia jatuh, maka kami akan menemukan pengganti.”

Alvaren mengepalkan tinjunya, tapi akhirnya menunduk. “Hamba mohon maaf, Raja.”

“Keluar dari hadapanku,” titah Eldrin.

Dan tanpa kata lain, Alvaren membalikkan badan dan melangkah pergi, meninggalkan ruang singgasana dengan dada sesak. Ia tak tahu apa yang lebih menyakitkan—tatapan dingin sang Raja... atau kenyataan bahwa ia tidak bisa melakukan apa pun untuk melindungi orang yang paling ingin ia lindungi.

Di balik tirai singgasana, Thalean tersenyum kecil, seolah semuanya berjalan seperti yang ia harapkan.

Langkah kaki Alvaren belum benar-benar menjauh ketika suara berat sang Raja kembali memanggil.

"Berhenti di tempatmu, Alvaren."

Alvaren membeku. Suaranya berbeda kali ini—bukan lagi penuh wibawa, melainkan menyimpan bara yang menanti meledak. Dengan pelan, sang panglima berbalik, menatap raja yang kini berdiri sepenuhnya di depan takhta. Matanya tajam, menyelidik, dan penuh prasangka.

"Jawab aku jujur, Panglima. Ada apa sebenarnya antara kau dan tabib Ephyra?"

Alvaren tak segera menjawab. Tapi diamnya justru memantik bara dalam dada sang raja.

"Jangan membuatku mengulanginya!" hardik Eldrin, suaranya menggema ke setiap sudut dinding batu.

Alvaren mengepalkan tangannya. “Hamba menghormati Ephyra, seperti hamba menghormati siapa pun yang mengabdikan hidup untuk kerajaan ini. Tidak lebih.”

Eldrin mengerutkan kening, lalu melangkah maju. “Tapi kau berbicara seolah nyawanya lebih penting dari pasukanmu sendiri. Kau berbicara seolah kau pernah kehilangannya sekali dan tak sanggup kehilangannya lagi.”

Dada Alvaren berguncang. Kata-kata itu... bukan sekadar tuduhan. Itu seperti lemparan dari masa lalu. Dan anehnya, bagian dari dirinya merasa... pernah mendengarnya sebelumnya.

Thalean masih berdiri di tempatnya, menatap semua ini dengan pandangan datar. Tapi ada kilatan puas yang muncul di sudut matanya.

“Aku tak butuh pasukan yang hatinya digerogoti rasa iba. Aku butuh panglima yang mampu memenggal leher lawan tanpa ragu,” lanjut Eldrin. “Jika perasaanmu menghalangimu bertindak sebagai pedang kerajaan ini, maka mungkin sudah waktunya kau istirahat dari jabatanmu.”

“Raja!” seru Alvaren, tak mampu menahan diri. “Ini bukan tentang perasaan. Ini tentang strategi. Ephyra adalah bagian dari kekuatan pertahanan kita! Jika dia tumbang, kerajaan akan kehilangan lebih dari yang raja kira!”

“Terlalu lancang kau bicara!”

Raja menghunus pedangnya dari sisinya. Suara baja terhunus bergema, tajam, memotong udara seperti pisau kepercayaan yang terbelah dua.

Alvaren tak bergerak. Ia tak takut. Tapi hatinya membatu.

“Apakah kau... ingin mencabut gelar panglimaku karena aku peduli pada rakyatmu?” tanyanya lirih, nyaris seperti luka yang dibisikkan.

“Kau mulai mengaburkan batas antara kesetiaan dan cinta, Alvaren,” jawab Eldrin dingin. “Dan itu adalah awal dari kehancuran para pemimpin besar.”

Keheningan menelan ruang.

Thalean melangkah maju dengan angkuh, seolah mengukuhkan kekuasaan yang tak terlihat tapi nyata. “Mungkin sudah saatnya Raja mencari panglima baru... yang bisa memisahkan medan perang dan perasaan pribadi.”

Alvaren menatapnya tajam, penuh amarah, diam-diam bersumpah dalam hati:

"Jika tak ada satu pun yang akan melindungi Ephyra, maka akulah yang akan melindunginya... bahkan jika aku harus melawan seluruh kerajaan."

"Sebelum itu, aku ingin memastikan sesuatu. Pengawal, panggil Ephyra kemari!" perintah Eldrin yang membuat Alvaren langsung menatapnya.

"Raja!"

Tapi dia tahu jika raja tidak akan mendengarkannya selama ada Thalean di sisinya. Raja tak lebih hanya dijadikan boneka kekuasaan oleh Thalean.

Tak lama kemudian Seraphyne datang. Masih dengan jubah putih dan penutup mata putihnya. Dia memberi hormat pada Eldrin dan melirik tajam Thalean di samping raja.

"Apa yang membuat raja memanggil hamba kemari?" tanyanya setelah memberi hormat pada Eldrin.

"Panglima perang istana tidak bisa memisahkan medan perang dan perasaan pribadinya. Aku ingin menggantinya dengan panglima baru, bagaimana menurutmu?"

Seraphyne menatap Alvaren yang juga menatapnya. Hanya beberapa detik sampai akhirnya dia kembali menatap Eldrin. "Keputusan yang bijak, Raja. Mungkin memang sudah saatnya bagi panglima perang untuk istirahat."

Eldrin tertawa tak percaya, Alvaren menatap Seraphyne dengan penuh kekecewaan, sedangkan Thalean tersenyum sinis.

"Ephyra.." lirih Alvaren.

"Tapi sebelum itu, raja sendiri harus memastikan panglima perang yang akan menggantikan posisi Alvaren bisa menjaga istana. Pastikan sendiri saat terjadi badai di istana, apakah panglima itu tetap bertahan atau pergi meninggalkan raja."

"Karena yang raja anggap harus digantikan belum tentu buruk, dan apa yang raja anggap pantas untuk dipertahankan belum tentu baik. Cobalah menilai dengan mata, bukan dengan telinga. Hanya itu yang bisa hamba katakan sebagai tabib utama istana."

Tatapan itu berubah. Eldrin menghela napasnya, Alvaren mulai mengangkat sudut bibirnya, sedangkan Thalean menatap Seraphyne tajam dengan kedua tangan terkepal.

Dengan mempertemukan mereka, Seraphyne menganggap itu sebagai awal perang yang dikobarkan Thalean. Dia tidak akan diam, dia akan melawan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!