Winda Hapsari, seorang wanita cantik dan sukses, menjalin hubungan kasih dengan Johan Aditama selama dua tahun.
Sore itu, niatnya untuk memberikan kejutan pada Johan berubah menjadi hancur lebur saat ia memergoki Johan dan Revi berselingkuh di rumah kontrakan teman Johan.
Kejadian tersebut membuka mata Winda akan kepalsuan hubungannya dengan Johan dan Revi yang ternyata selama ini memanfaatkan kebaikannya.
Hancur dan patah hati, Winda bersumpah untuk bangkit dan tidak akan membiarkan pengkhianatan itu menghancurkannya.
Ternyata, takdir berpihak padanya. Ia bertemu dengan seorang laki-laki yang menawarkan pernikahan. Seorang pria yang selama ini tak pernah ia kenal, yang ternyata adalah kakak tiri Johan menawarkan bantuan untuknya membalas dendam.
Pernikahan ini bukan hanya membawa cinta dan kebahagiaan baru dalam hidupnya, tetapi juga menjadi medan pertarungan Winda.
Mampukah Winda meninggalkan luka masa lalunya dan menemukan cinta sejati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
“Dasar anak durhaka” teriak Johan. Melihat semua pengunjung restoran memandang ke arah mereka, membuat nya makin bersemangat.
“Papaku yang merawatmu saat masih kecil, meskipun kau bukan anak kandungnya. Sekarang setelah kau dewasa dan menjadi orang sukses, seperti ini balasanmu pada kami?” tampaknya Johan ingin memanfaatkan kerumunan untuk menjatuhkan mental dan membuat buruk citra Ardan.
Ardan tetap duduk dengan santai, sesekali menatap ke arah Gunawan dan Johan dengan tatapan datarnya. Bersedekap dengan satu paha disilangkan di atas paha lainnya. Menerima jika Winda menyuapinya kentang goreng. Tidak peduli meskipun suara-suara sumbang mulai terdengar.
Jika mereka berpikir bahwa dengan cara murahan seperti itu bisa membuat Ardan goyah dan langsung setuju saja, maka mereka salah. Ardan bukanlah orang yang selemah itu hingga mudah untuk ditindas. Kehidupan yang begitu keras dan sulit telah menempanya menjadi manusia dengan mental setangguh baja.
“Sudah selesai? Atau masih ada yang ingin kalian katakan lagi?” tanya Ardan ketika melihat Johan yang tampaknya telah kelelahan berteriak. Tersenyum miring, tatapannya tajam menusuk.
"Kau bilang apa tadi? Aku, kacang yang lupa kulitnya? Anggap saja benar. Akulah kacang yang kau dan ayahmu buang, lalu tumbuh subur di tempat lain.” Ia menarik napas dalam, suaranya tenang namun berwibawa.
"Lalu, jika aku adalah kacang, lantas apa sebutan yang pantas untuk kalian? Pagar makan tanaman, atau duri dalam daging? Jangan berpura-pura lupa. Seperti apa kehidupan kalian sebelum bertemu mamaku.”
Ardan bangkit dari kursinya, tinggi badannya yang menjulang membuat Johan tampak semakin kecil. Winda memperhatikan dengan tenang, memasukkan sepotong kentang dalam mulut, lalu menggenggam tangan Ardan.
Ardan yang merasakan genggaman tangan istrinya menoleh dan mengangguk. Seolah mengatakan dirinya baik-baik saja. Melepas genggaman Winda lalu berjalan mondar-mandir di belakang Johan dan gunawan. Setiap gerak langkahnya yang pelan namun berat, membuat mereka berdua merasa tegang, hingga keringat dingin mulai membanjiri badan.
“Kalian adalah sampah yang dipungut oleh mamaku dari pinggir jalan. Diberikan makan enak dan status terhormat. Tapi apa yang kau lakukan?” Ardan bicara tepat di belakang telinga Gunawan.
“Kau manusia serakah. Mendapat kebaikan tidak membuatmu puas, malah semakin rakus. Harta mamaku membuatmu silau. Kau merebut semuanya lalu mengusir pemilik rumah tanpa belas kasih. Apa kau layak disebut manusia??!!” Suara Ardan meninggi di akhir kalimat. Kenangan di mana mamanya meninggal dalam pelukannya, membuat emosinya bergolak.
Seketika angin berbalik arah. Suara-suara sumbang yang tadinya menyalahkan Ardan, kini berubah mencemooh Gunawan.
"Sekarang, kondisimu terjepit dan kau bilang maaf? Apa menurutmu kata maaf saja cukup? Aku datang untuk mengambil apa yang pernah kau ambil.”
“Tidak.” Melihat situasi semakin buruk, Gunawan mencoba membujuk. “Itu kesalahan Papa. Pa…”
“Jangan menyebutmu Papa di hadapanku. Kau tidak layak!” Ardan memotong ucapan Gunawan.
“Iya. Tuan Bagaskara. Maafkan kesalahan saya di masa lalu. Saya akan memperbaiki nya.”
“Dengan apa? Apa kau bisa mengembalikan nyawa mamaku? Tidak.” Melempar pertanyaan, tapi diputuskan sendiri. “Kalau begitu buat video klarifikasi, akui semua kejahatanmu di masa lalu, dan katakan pada publik, bahwa perusahaan yang saat ini kau pegang adalah hasil curian!”
“Kau jangan keterlaluan!” Johan berteriak murka. Tidak mungkin papanya melakukan hal itu. Itu sama saja dengan memasang perangkap di kaki sendiri. Walaupun akhirnya mereka bisa bangkit, tetap saja tak kan ada yang mempercayai mereka. Investor, mau pun konsumen pasti akan menjauh.
“Aku sudah menawarkan kemudahan pada kalian. Jual perusahaan itu padaku, atau buat video klarifikasi. Kalian menolak. Kalau begitu, biarkan perusahaan itu hancur. Aku yang akan bertepuk tangan paling keras!”
Setelah berkata demikian, Ardan kembali berjalan ke tempat Winda dan membantu wanita itu berdiri. “Kau sudah selesai makan, Sayang? Ayo kita pergi!”
“Denis, urus semuanya. Makanan yang masih tersisa, jika mereka mau, katakan pada pelayan untuk membungkusnya agar bisa mereka bawa pulang.!”
Winda tersenyum dan mengangguk. Mengusap mulutnya dengan tisu lalu membiarkan tangan Ardan menggenggam jemarinya dan membawanya melangkah pergi, sementara Denis mengangguk dan menundukkan kepala hormat.
Johan terpaku, tak mampu berkata apa pun. Ardan bukan lagi kakak tiri yang dulu pernah sangat menyayanginya, dan selalu bersedia mengalah padanya. Ardan telah menjelma menjadi sosok yang kuat, tangguh, dan tak kenal ampun.
Gunawan terhuyung dengan wajah pucat pasi hingga Johan harus membantunya untuk duduk. Tak sanggup menyaksikan kehancuran yang tampak nyata di depan mata. Haruskah ia merelakan perusahaan yang ia ambil dengan cara curang jatuh ke tangan Ardan, anak yang dulunya ia anggap remeh?
“Semua makanan ini sudah dibayar. Anda boleh mengambilnya jika mau.”
Muka Gunawan dan Johan sama-sama merah padam. Mereka memang telah menahan lapar sejak tadi. Tapi haruskah mereka membiarkan harga diri mereka diinjak?”
Tangan Johan terkepal di atas meja. Rahangnya mengeras. “Kau akan menyesal melakukan ini pada Kami, Ardan!”
*
*
*
Winda menggenggam tangan Ardan. Melirik wajah pria itu yang masih nampak tegang. Dari semua pembicaraan mereka, wanita itu bisa mengambil kesimpulan tentang apa yang terjadi di masa lalu.
Untuk meredakan suasana Winda mengambil inisiatif. Wanita itu merebahkan kepalanya di lengan kekar Ardan. Tangan kirinya diletakkan di dada bidang pria itu. “Suamiku yang paling hebat. Dia telah bekerja sangat keras selama ini. Aku merasa jadi wanita paling beruntung di dunia.”
Ardan merasa dadanya berdesir. Ia meraih tangan Winda yang menempel di dadanya. Dan menyentaknya hingga wajah Winda mendongak. Tatapan keduanya saling terpaku. “Apa kau sedang belajar menggodaku?”
Winda mengerjab tak mengerti. Di bagian mana dia bisa disebut menggoda? Tapi … “Dan,,, apa kau tergoda?” Mengerling nakal. Kalau dengan bersikap seperti itu bisa mengalihkan pikiran Ardan dari luka di masa lalu, akan ia lakukan.
Ardan meraih dagu Winda mendekatkan wajah hingga nyaris tak berjarak. Dan akhirnya…
Cup
Satu kecupan mendarat di bibir merah Winda. Abaikan pak Sopir yang ada di depan.
Padahal dia sudah susah payah menahan diri selama ini. Bisa saja ia langsung memakan istrinya setelah hari di mana mereka sah. Tapi ia tak mau winda melakukannya karena terpaksa. Ia baru akan melakukannya jika Winda juga sudah memiliki perasaan untuknya.
Blushh…
Wajah Winda merah seketika. Ini adalah ciuman pertamanya. Karena meskipun sudah dua tahun berpacaran dengan johan, tapi ia tak mengizinkan kontak fisik. Jika pun ada, itu hanya bergandengan tangan.
“Jangan menggodaku lagi.” Ardan tahu istrinya malu. Ia membawa wanita itu ke dalam pelukan agar Winda tak harus bingung ke mana harus menyembunyikan wajah.
Dalam tersipunya, Winda masih tak mengerti. Di bagian mana dia menggoda. Hingga tiba-tiba matanya terbelalak saat mengingat tangannya yang bergerak refleks di dada Ardan. Sesuatu yang keras membuatnya penasaran. Tangannya terus bergerak, kadang memutar, meraba, dan semakin liar lalu tanpa sadar turun sampai ke perut, sampai tangan Ardan menghentikannya.
Winda memejamkan mata. Sungguh, malunya setengah mati. "Ishh, ngapain juga malu. Halal kan?"
duh.. kan jadi gatel jariku/CoolGuy/
Ardan yang nyidam
Winda yang mengalami morning sick
lucu banget.....
lanjut ka....