Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 14: Penangkapan
“Terima kasih, semoga pernikahan kalian berjalan dengan lancar, ya!” Ucapku dengan ramah, sembari menutup gerbang setelah mengantar dua orang pelanggan terakhir untuk hari ini. Keduanya adalah sepasang kekasih yang mau bikin perjanjian pra-nikah, agar segala kepentingan pribadi mereka dapat lebih terjamin saat menjalani kehidupan berumah tangga nanti.
Aku kemudian masuk lagi ke dalam untuk membersihkan seisi rumah yang sudah tertutup oleh debu. Seperti biasa, aku mulai menyapu dari lantai atas, lalu turun perlahan-lahan ke lantai bawah. Biar nggak boring, tentu saja aku menggunakan earphone wireless agar bisa mendengarkan lagu tanpa menimbulkan keributan yang dapat mengganggu tetangga.
Setelah semuanya selesai, aku memutuskan untuk bersantai di kebun belakang dengan ditemani oleh secangkir kopi dan juga rokok. Pandanganku menatap jauh ke cakrawala yang berwarna jingga, sambil menghembuskan asap rokok ke udara. Suasana sore yang tenang ini merupakan sesuatu yang paling aku butuhkan setelah menghadapi puluhan client yang terus datang tanpa henti. Yah, satu-satunya hal yang kurang saat ini hanyalah Felicia saja. Padahal, dulu kita biasa nyantai di sini sambil ngobrol ngalor-ngidul.
Yah, mau gimana lagi. Aku juga nggak bisa minta seseorang yang udah meninggal buat kembali lagi ke dunia ini. Mending kita bakar sebatang rokok lagi buat nemenin kopi yang udah sisa setengah ini.
“Nael…” Oh, shit. Sepertinya istriku yang sudah lama meninggal bisa balik lagi ke dunia ini dalam bentuk halusinasi. Aku bisa mendengar suaranya yang datang dari arah belakang, meskipun masih mengenakan earphone wireless ini.
“Nael, tolongin aku, dong. TVnya nggak bisa nangkep sinyal lagi, nih.” Ucap Felicia versi halusinasi ini kepadaku.
Aku kemudian mematikan rokokku yang masih tersisa banyak, lalu segera bergegas untuk mengambil obat anti halusinasi yang tersimpan di laci kamar. “Oke, tunggu dulu, ya. Kayaknya aku mau naik bentar buat minum obat dulu.” Balasku sembari berjalan melewati Felicia versi halusinasi yang sedang menonton TV rusak di lantai satu.
Baru saja menaiki beberapa anak tangga, tiba-tiba Felicia menarik tanganku dari belakang. Saat menoleh ke arahnya, mendiang istriku itu terlihat memasang ekspresi cemberut yang biasa digunakan untuk membujukku. Hadeh, halusinasi ini makin lama makin terasa nyata aja, ya.
Tapi, ini semua terjadi gara-gara aku lupa minum obat tadi pagi, sih. Soalnya, sebelum matahari terbit, aku udah harus pergi ke luar kota untuk mengukur tanah milik client bersama Alvie. Kejadian ini memberikan sebuah pelajaran untuk tetap membawa obat anti halusinasi kemanapun aku pergi.
“Hei, bentar dulu, ya. Aku mau ke atas buat ngambil obat doang, kok.” Ucapku dengan nada membujuk, sambil mencoba melepaskan genggaman erat Felicia dari pergelangan tanganku.
“Jangan dulu. Ada orang yang menyusup ke kebun kita.” *Gedebugggg!*
Felicia tiba-tiba menghilang setelah memperingatkan bahwa ada orang yang menyusup dari kebun belakang. Aku juga bisa mendengar suara gaduh—seperti ada orang yang melompat dari tembok belakang—tepat sesaat setelah halusinasiku menghilang. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku langsung bergegas ke kebun untuk memeriksa siapa yang berani masuk tanpa izin ke dalam rumahku.
Begitu membuka pintu belakang, aku langsung disambut oleh seorang wanita berambut pirang yang menodongkan sebuah gunting rumput ke arah leherku. Orang ini tidak lain adalah Indah Deborah, seorang buronan yang saat ini sedang dicari oleh kepolisian.
Pakaiannya tampak kotor, keringatnya bercucuran deras, dan kakinya menderita luka sayatan dengan darah yang masih terlihat segar. Sepertinya, dia benar-benar melompati tembok tinggi di halaman belakang rumahku yang berisi banyak beling kaca sebagai fitur keamanannya.
“Deborah, ya. Nekat sekali kau memanjat tembok yang berisi pecahan kaca itu.” Ucapku dengan nada berat, sambil menatap tajam ke arahnya.
Deborah kemudian semakin menyodorkan gunting rumput itu ke leherku, seakan mencoba untuk memberikan sebuah ancaman yang menakutkan. “Diamlah dan biarkan aku masuk ke dalam.” Balasnya dengan suara serak yang mengancam.
“Gunting rumput itu… Kau pasti ngeberantakin ruang perkakas yang ada di pojokan itu, kan? Aku udah capek-capek merapikannya dari dua hari yang lalu, lho.” Ucapku dengan santai untuk menunjukkan bahwa ancamannya tidak berpengaruh sama sekali. Selain itu, aku emang khawatir sama kondisi ruang perkakas itu, sih. Capek tau buat ngeapihinnya!
“Diamlah dan biarkan aku masuk ke dalam, atau lehermu bakal ku buat berantakan juga!” Aku perlahan melangkah mundur setelah Deborah membentak dengan aura membunuh yang terasa sangat kuat. Dia juga ikut masuk ke dalam rumah, sambil tetap mengarahkan gunting rumput itu ke leherku. Hadeh, jalang ini sepertinya udah kehilangan akal sehat, ya.
“Bagus! Sekarang, taruh handphonemu di atas meja TV itu.” Sesuai permintaannya, aku kemudian mengeluarkan handphone dari saku celana, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum meletakkannya di atas meja TV.
Setelah aku kembali berdiri tegak di hadapannya, Deborah tiba-tiba jatuh dan bersimpuh di lantai dengan wajah yang terlihat penuh kelegaan.
...***...
Suasana rumah yang tadinya dipenuhi ketengangan akhirnya menjadi tenang kembali. Aku memberikan Deborah sebotol antiseptik dan juga kain kasa, lalu menyuruhnya untuk mengobati lukanya sendiri. Setelah itu, aku pergi mengambil kain pel di dekat dapur untuk membersihkan darahnya yang berceceran di lantai. Bikin repot aja emang.
“Makasih banyak, Nael.” Ucap Deborah dengan nada lirih, sambil terlihat membalut lukanya menggunakan kain kasa.
Aku tidak merespon ucapannya itu dan membiarkan suasana rumah tetap sunyi untuk sementara waktu. Beberapa saat kemudian, aku melontarkan sebuah pertanyaan yang sudah melayang di benakku sejak awal kejadian ini. “Kenapa kau datang ke rumahku? Bukannya di luar sana ada banyak tempat yang bisa kau pilih untuk bersembunyi?”
Wajah Deborah perlahan berubah menjadi semakin murung setelah mendengar pertanyaan itu. “Itu karena aku terdesak.” Jawabnya dengan suara pelan yang terdengar sedikit tidak jelas. “Saat perjalanan menuju Bandara bersama beberapa temanku, tiba-tiba ada sebuah mobil polisi yang mengejar mobil kami dari arah belakang. Kami kemudian turun di sebuah gang sempit dan memutuskan untuk berpencar ke arah yang berbeda-beda. Hingga akhirnya, sampailah aku di sini untuk mencari perlindungan di rumahmu.”
“Wah, siapa sangka ternyata kau punya persekongkolan di luar sana.” Celetukku untuk menanggapi penjelasannya itu, sembari menyilangkan tangan di depan dada.
“Aku mohon izinkan aku tidur di sini untuk satu malam aja, Nael. Aku janji bakal pergi dari rumahmu besok pagi, bahkan sebelum matahari terbit.” Pintanya dengan nada dan juga tatapan mata yang memelas.
“Nggak ah. Mendiang istriku bakal marah besar kalau aku membiarkanmu nginep di rumah kami berdua.” BRAKKK! Tepat setelah aku menolak permintaannya, tiba-tiba ada seseorang yang mendobrak pintu kantorku dengan sangat kasar. Well, aku udah tahu siapa yang melakukan hal tersebut.
“Ini Kepolisian Daerah Andawana! Angkat tanganmu dan menyerah sekarang juga!” Yap, sesuai dugaan, Eka muncul dengan gagahnya sembari menodongkan pistol ke arah Deborah. Dia juga terlihat membawa dua orang polisi muda yang juga ikut mengangkat pistol masing-masing.
“Yah, selain itu, orang-orang di Kepolisian juga nggak bakal senang kalau aku melindungi buronan seperti kau.” Celetukku sembari menyunggingkan senyuman puas.
Deborah kemudian menoleh ke arahku dengan mata yang melotot, seolah baru menyadari bahwa aku sempat memanggil pihak kepolisian di sela-sela ketegangan tadi. “Kau… jangan-jangan…” Gerutunya dengan suara serak yang gemetaran.
“Benar sekali! Aku sempat menghubungi Eka sebelum menaruh handphone di meja TV tadi.” Ungkapku dengan nada congkak, sembari memandang Deborah dengan tatapan mata yang merendahkan.
“Nael, aku sempat bingung kenapa kau tiba-tiba ngirim lokasi rumahmu di WhatsApp. Tapi, sesaat kemudian, aku langsung sadar bahwa ini pasti ada hubungannya dengan Indah Deborah. Makanya aku langsung datang ke sini untuk memastikan dugaanku itu.” Ujar Eka menambahkan dengan senyuman dingin yang terlihat puas.
“Maaf soal itu, ya. Soalnya tadi leherku ditodongin gunting rumput sama si jalang ini.” Ucapku kepada Eka, sembari menunjuk ke arah Deborah.
Ekspresi wajah Deborah langsung terlihat semakin panik saat mendengar pengakuanku itu. Dia sepertinya tahu kalau pengakuan kecilku itu bisa semakin memberatkan hukumannya di persidangan nanti. Di sisi lain, Eka yang masih berada di dekat pintu masuk, segera mengeluarkan borgol untuk menangkap buronannya itu.
“Baiklah, kalau begitu,” Eka kemudian memberikan borgolnya kepada salah satu polisi muda yang masih bersiaga di belakangnya.
“Tangkap dia, anak-anak!”