Rania Putri Handono kaget saat matanya terbuka dan berada di ruangan asing dan mewah. Lebih kaget lagi, di sampingnya terbaring dengan laki-laki asing dalam kondisi masing-masing polos tak berbusana.
Tak lama, pintu kamar dibuka paksa dari luar. Mahendra, suami Rania mendekat dan menampar pipi putih hingga meninggalkan bekas kemerahan.
Kejadian yang begitu cepat membuat Rania bingung.
Apakah rumah tanggganya selamat atau hancur?
Simak aja kisah ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangisan Rania
"Apa suster? Kondisi nya memburuk?" tanya Mahendra dengan ekspresi kosong.
Tanpa berkata apa-apa, langsung saja Mahendra melesat keluar ruangan Rania.
"Ingat Rania, jika terjadi apa-apa dengan Chiko putra kamu itu kamu harus ikut tanggung jawab" ancam Riska dan langsung menyusul Mahendra.
"Bu Marmi" panggil Rania dengan tatapan sendu.
Bu Marmi mendekat dan mengelus punggung tangan Rania.
"Sabar dan berdoa lah, semoga Chiko baik-baik saja" kata bu Marmi menguatkan.
Akhirnya luruh juga pertahanan Rania, air mata mengalir tak terbendung.
"Chiko bu, aku merasa berdosa padanya" suara Rania dalam isak tangis.
Bu Marmi mengelus pundak dengan jiwa yang sangat rapuh itu.
Sebenarnya bu Marmi ingin ikut melihat keadaan Chiko, tapi saat ini Rania juga membutuhkannya.
'Kasihan kamu Rania' batin bu Marmi. Bu Marmi tak tahu harus berbuat apa, karena dia hanya sekedar membantu keseharian Rania.
Bahkan saat ditinggal menunggu anaknya di rumah sakit, toko kelontong Rania lama tak buka.
Karena kecapekan Rania pun tertidur.
Sebuah ketukan pintu mengagetkan Bu Marmi.
"Iya, sebentar" bilang bu Marmi.
Dia selimutin badan ringkih itu, untuk kemudian bu Marmi ke depan untuk melihat siapa yang datang.
Saat pintu terbuka, bu Marmi mendongak untuk melihat wajah kedua laki-laki dengan tinggi menjulang di depannya.
"Siapa ya?" tanya bu Marmi karena memang tak mengenal orang itu.
"Maaf bu, apa benar ini kamar nyonya Rania?" tanyanya.
"Benar tuan, ada apa?" telisik bu Marmi karena perkataan orang itu malah membuat bu Marmi curiga.
"Kita berdua utusan dari tuan Beno. Kita mendapat perintah untuk menjaga nyonya Rania. Dan dua orang lagi ditugasin untuk menjaga putra kembar nyonya Rania" ujarnya.
"Hah? Apa maksudnya tuan? Kita nggak perlu dijaga" ulas bu Marmi.
"Saya hanya menjalankan perintah bu, dan kita tak mau disalahkan karena tak menjalankan tugas" katanya.
Bu Marmi hanya bisa mengangguk pasrah, "Terserah kalian aja dech" Bu Marmi hendak masuk kembali.
Tapi belum sampai pintu kamar tertutup, Mahendra menghadangnya.
"Rania mana?" seru Mahendra.
"Jangan ganggu, dia sedang tidur" jawab bu Marmi ketus.
Mahendra hendak menerobos masuk dan mencari Rania.
Tapi belum sampai niatnya terlaksana, tangannya sudah dicekal oleh seseorang dengan kuat.
"Siapa kalian?" gertak Mahendra.
"Tak perlu tahu siapa kami, tapi kalau berurusan dengan nyonya Rania maka itu menjadi urusan kami" kata orang yang barusan ngobrol dengan bu Marmi.
"Minggir kalian!!" seru Mahendra.
"Tidak akan tuan" katanya menolak seruan Mahendra.
"Bu, bilang ke Rania. Kalau tak mau membantuku, siap-siap saja dia tak bisa melihat Chiko selamanya" ancam Mahendra lagi.
Bu Marmi ogah ikut campur urusan mantan keluarga ini.
Mahendra pergi setelah diusir oleh kedua pengawal utusan Beno.
Meski dengan segala macam umpatan keluar dari mulut Mahendra. Bahkan nama hewan di kebun binatang aja kalah lengkap dengan umpatan yang dikatakan Mahendra.
"Siapa bu?" tanya Rania yang sepertinya terganggu dengan rame-rame di depan kamarnya.
"Nggak ada apa-apa ko. Tetangga kamar aja yang buat ramai suasana" terang bu Marmi berbohong.
"Mahendra lagi ya bu? Ada apa lagi dia?" sepertinya Rania sulit untuk dibohongi.
"Iya, biasa lah dia datang untuk mengancam lagi" akhirnya bu Marmi berucap jujur.
"Bu, besok pagi aku minta tolong" kata Rania.
Bu Marmi mendekat, "Tolong apa?"
"Ambilkan sedikit uang yang aku punya untuk nambahin biaya Chiko" kata Rania lirih.
Uang yang tinggal dua puluh lima juta yang sedianya Rania siapkan untuk biaya persalinan ini harus dia relakan untuk menambahi biaya Chiko.
"Iya, besok pagi aku ke bank. Tapi kan harus ada surat kuasa" kata bu Marmi.
"Iya besok aku buat bu" tukas Rania dengan mata menerawang.
Rania tak manyadari, kalau bahwasanya semua barang yang ada di kamarnya sekarang punya mata dan telinga.
Karena tak satupun kejadian yang Rania alami hari ini terlepas dari pengawasan Raditya.
Di hotel Raditya mengepalkan erat genggaman tangannya.
"Sialan laki-laki itu, beraninya main ancam dengan seorang wanita" umpat Raditya.
Raditya mengambil ponsel dan memerintahkan Beno untuk melakukan sesuatu kepada Mahendra.
"Lantas apa yang harus aku lakukan bos?" tanya Beno.
"Terserah kamu, beri dia efek jera" tukas Raditya.
"Kenapa gue lagi yang kena???" imbuh Beno di sana.
"Benooooo..." teriak Raditya.
"Siap berangkat bosssss...Oh Siska, kenapa selama jauh darimu nasibku apes melulu" ucap Beno sengaja biar didenger oleh sang bos.
"Asisten sialan" umpat Raditya.
"Iye, gue berangkat. Tapi jangan lupa upah gue di luar jam kerja bos" kata Beno cepat-cepat menutup panggilan Raditya sebelum kena semprot.
Beno bersiul saat sudah berada di basement rumah sakit. Yang dia tuju bukan lah ruang rawat inap, tapi sebuah mobil yang terkenal dengan sebutan mobil sejuta umat itu.
"Sepertinya ini" gumam Beno dengan menelisik plat nomor yang dia cocokkan dengan gambar di ponselnya.
Sebelum kepergok, Beno cepat-cepat meninggalkan tempat itu seolah tak terjadi apa-apa.
Saat keluar dari basement menuju bangsal, kebetulan Beno melihat Mahendra. Beno langsung menyelinap di balik tembok, agar tak ketemu langsung dengan Mahendra.
Tak sengaja Beno malah dengan jelas mendengarkan obrolan Mahendra dengan seorang wanita yang Beno belum ketahui siapa itu.
"Sayang, bagaimana ancamanmu kepada Rania? Apa dia mau membiayai Chiko?" kata wanita yang ternyata Riska.
"Belum tahu. Aku tadi tak ketemu" jawab Mahendra.
"Bagaimana sih? Uang yang kamu simpan kan buat biaya persalinanku. Ingat ini anak kamu juga loh. Biar Rania aja yang bayar biaya Chiko" imbuh Riska.
"Bagaimanapun caranya, kamu harus bisa memaksa Rania sayang" lanjut Riska.
"Pusing gue, sekarang Rania sok ada yang menjaga lagi" gerutu Mahendra.
"Apa maksudnya? Rania punya pengawal?" tukas Riska.
"Heemmmm" jawab Mahendra mengiyakan.
"Uang darimana dia? Bayar pengawal segala, sok banget" tandas Riska semakin sebal.
Mahendra diam. Sebenarnya dia tahu siapa di belakang Rania sekarang, tapi dia sendiri tak bisa berbuat banyak.
"Ayolah kita pulang. Lelah banget hari ini" ajak Mahendra.
Riska pun menggandeng mesra lengan sang suami.
Di balik tembok, Beno mengumpati mereka.
"Dasar pasangan tak tahu malu. Sengaja mau memanfaatkan Rania" gumam Beno ikut geregetan.
Beno pun melenggang menjauh dari tempat itu. Kemana lagi kalau tak mengecek sekalian keberadaan anak buahnya. Mumpung di rumah sakit, pikir Beno.
Sampai di depan kamar, dilihatnya kedua pengawal sedang bercengkerama dengan bu Marmi.
"Loh, kalian kok malah ngobrol bukannya jaga" kata Beno menghampiri.
Kedua pengawal itu langsung berdiri, "Maaf tuan" ucap salah satunya.
"Biarin tuan Beno, kasihan mereka berdiri terus" sela bu Marmi.
"Itu sudah bagian kerjaan mereka bu Marmi" ungkap Beno.
"Mereka juga barusan aja kok duduknya, takut varises" gurau Bu Marmi.
"Oh ya, ngapain tuan Beno malam-malam ke sini?" tanya bu Marmi.
"Sidak mereka" jawab Beno menjelaskan. Padahal tujuan utama dia ke sini karena diberi tugas tambahan oleh sang bos.
.
Sementara itu Mahendra yang sedang mengemudikan mobil merasakan ada sesuatu.
"Riska, kamu merasa nggak sih kalau mobil ini kadang oleng?" tanya Mahendra.
Riska mengangguk.
Mahendra pun menepikan mobilnya ke tepi jalan.
"Kok berhenti?" tanya Riska.
"Bentar, aku cek roda bentar" jawab Mahendra.
Dia pun keluar mobil dan melihat kondisi roda. Ternyata salah satu ban mobil kempes.
Mahendra pun menendang ban mobil yang tak bersalah itu.
"Ada apa?" tanya Riska dengan kepala melongok keluar.
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
to be continued, happy reading
aku dulu ngidam gak gitu amat