Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan
Tak banyak yang tahu, tapi hubungan antara Maxime Théo Leclair d’Aragon dan Theodore Elbrecht Duverne bukanlah hubungan biasa antara Kaisar dan Wali Kota.
Mereka adalah dua kutub yang sejak lama saling menolak.
Sejak masa pendidikan di Akademi Tinggi Kerajaan, Maxime dan Theo telah menjadi saingan abadi. Maxime—dingin, jenius, dan tak terkalahkan—selalu berada di puncak segalanya: akademik, strategi militer, bahkan dukungan dari kalangan bangsawan.
Sementara Theo, meski tak kalah cerdas dan berbakat, selalu berada satu langkah di belakang Maxime. Ia terlahir dari keluarga terpandang di Belvoir, penuh ambisi dan kebanggaan. Namun setiap kali ia mencoba bersinar, bayangan Maxime selalu lebih terang… dan lebih mengancam.
Bagi Theo, itu bukan sekadar kekalahan. Itu adalah luka batin yang mengendap perlahan, membentuk simpul dendam yang tak pernah benar-benar ia urai.
Namun bukan Maxime namanya jika mudah memedulikan kebencian orang lain. Ia tahu Theo membencinya—dan justru itulah yang membuat Maxime terus menjaga jarak, terus berdiri di atas, tak pernah memberi ruang pada rival lamanya untuk menyusul.
Hingga Vivienne.
Wanita yang dulu kecil dan penuh tawa, yang tumbuh di tanah Belvoir dan mengenal Theo sebagai sahabat masa kecil. Wanita yang—di luar dugaan semua orang—akhirnya menjadi istri dari sang Kaisar dingin.
Dan itulah titik balik dari segala kebencian yang tersisa.
Theo tahu, Maxime tak menikahi Vivienne karena cinta. Ia tahu wanita itu hanya bagian dari taktik politik keluarga Aurenhart—dan ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Maxime, perlahan tapi pasti, memadamkan cahaya dalam diri wanita yang dulu begitu ceria.
Itu bukan hanya pengkhianatan. Itu adalah penghinaan.
Sejak saat itu, rasa hormat Theo kepada Maxime tak pernah benar-benar kembali. Apa pun gelar dan kuasa pria itu, di mata Theo, Maxime hanyalah pria yang menghancurkan wanita yang ia cintai… dan tak pernah benar-benar menyesalinya.
Namun Theo bukan pria ceroboh.
Sebagai Wali Kota Belvoir, ia tetap menjalankan tugasnya dengan sempurna. Ia bicara dengan bahasa yang sopan, memberi hormat sesuai protokol, dan tak pernah membuat kekacauan politik. Tapi semua orang yang cukup jeli tahu: di balik senyum sopan Theo, ada duri yang tersembunyi.
Hubungan mereka tak pernah lebih dari formalitas.
Di depan rakyat, mereka adalah Kaisar dan Wali Kota—duet penguasa yang tampak solid.
Tapi di balik layar? Mereka adalah dua musuh lama yang hanya terikat oleh satu kesamaan: Vivienne.
Dan mungkin… perang yang sebenarnya belum benar-benar dimulai.
——
Sementara itu, Vanessa melangkah menyusuri paviliun istana yang sepi. Sepatu ringannya menimbulkan gema halus di lantai marmer yang basah oleh kelembapan. Hujan baru saja turun—tiba-tiba, tanpa peringatan. Jejak rinainya masih tertinggal di kaca-kaca jendela yang membingkai lorong panjang tempat ia berjalan.
Pandangan Vanessa mengarah ke luar. Langit tampak kelabu, menggantung rendah seakan menyimpan sesuatu. Butiran air masih menetes malas dari tepian atap, mengalir dalam irama pelan yang justru membuat pikirannya semakin tak tenang.
Ia baru saja meninggalkan ruang peristirahatan tempat Lady Elowen menyuguhkan teh dan percakapan ringan. Namun ada satu hal dari perbincangan tadi yang masih terus terngiang di kepalanya—tentang Theo.
Dapat Vanessa simpulkan bahwa hubungan antara Theo dan Vivienne bukan sekadar kenalan biasa. Mereka tumbuh bersama. Persahabatan masa kecil yang bertahun-tahun lamanya, yang tentu saja menyisakan jejak kedekatan yang dalam.
Vanessa menggigit bibirnya pelan. Entah mengapa, kenyataan itu mengusik hatinya.
Vivienne… tak pernah menyebutkan nama Theo.
Padahal, dari semua potongan cerita yang pernah ia dengar langsung dari arwah Vivienne—tentang kesepian, tentang Maxime, tentang rasa sakit karena pernikahan tanpa cinta—tidak sekalipun nama pria itu disebut. Tidak sekali pun.
Mungkin itu salahnya juga. Ia terlalu gegabah. Ia terlalu yakin bahwa dirinya bisa menyusup ke dalam dunia novel ini hanya dengan mengandalkan potongan kenangan dan intuisi. Ia belum sempat membaca buku itu hingga tuntas sebelum kecelakaan menjemputnya. Dan kini, ia hidup dalam cerita yang tidak sepenuhnya ia kenal.
Vanessa menarik napas panjang, lalu menghela perlahan. Jemarinya menyentuh permukaan jendela dingin di sampingnya, menelusuri embun yang mengaburkan pandangan.
“Apa lagi yang belum aku tahu… Vivienne?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Saat itulah, dari ujung lorong yang redup, sebuah siluet muncul perlahan. Langkah tegas dan tegak itu tak salah lagi—Maxime. Pria itu tampak melihat ke arahnya, lalu terus melangkah hingga jaraknya cukup dekat untuk bicara.
“Kau mau ke mana?” tanyanya dengan nada datar, namun mata birunya meneliti wajah Vanessa tanpa berkedip.
Vanessa berbalik, menyilangkan tangan di depan dada. “Tentu saja ke kamar. Memangnya menurutmu aku mau ke mana lagi?” balasnya, sedikit meninggikan suara tanpa sadar.
Maxime mengangkat alis tipis. “Kamar kita bukan ke arah situ,” sahutnya tenang. “Tapi di ujung sana.”
Vanessa mengerutkan kening. “Kamar kita?” ulangnya, dengan penekanan curiga. “Kupikir kita tidak… sekamar.”
Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibir Maxime—bukan senyum mengejek, tapi lebih seperti senyum getir. “Menurutmu apa yang akan terjadi jika semua orang di istana tahu bahwa Kaisar dan Permaisurinya tidur terpisah?” Nada suaranya merendah, namun ada ketegangan tersembunyi di dalamnya. “Terutama… wali kota itu.”
Nada penuh penekanan di kata itu membuat Vanessa langsung tahu siapa yang dimaksud—Theo.
Ia mendengus pelan. “Bukankah seluruh rakyat di Kerajaan Aragon, bahkan sampai ke dusun terpencil sekalipun, sudah tahu bagaimana hubungan kita sebenarnya? Apa yang perlu kau khawatirkan?”
Maxime menoleh padanya, tapi belum sempat membalas, Vanessa melanjutkan—tajam, menusuk.
“Lagipula, aku tidak tertarik sekamar denganmu. Kau bisa saja mencekikku diam-diam hanya agar bisa menikahi pelayanmu yang tercinta itu.”
Suasana mendadak membeku. Udara seolah kehilangan suhu. Perkataan Vanessa tadi—meski ia sendiri tak mengatakannya dengan emosi penuh—menusuk lebih dalam daripada yang ia sadari.
Maxime menatapnya, lama. Diam. Sorot matanya suram, nyaris sayu. Ketika ia bicara, suaranya terdengar berat, nyaris seperti gumaman seseorang yang tengah memikul beban terlalu lama.
“Jika aku memang berniat membunuhmu hanya karena kita sekamar…” Ia menghela napas, menundukkan kepala. “…mungkin aku sudah melakukannya di penginapan kemarin.”
Vanessa terdiam.
Ia tidak menyangka jawaban itu—tidak menyangka nada yang terdengar lebih mirip penyesalan daripada pembelaan. Saat ia mengangkat kepalanya, tatapannya jatuh pada sosok Maxime yang kini menatap lantai, seolah mencari jawaban dari luka yang tak pernah ia akui.
Vanessa menghela napasnya.
“Kau tahu, Maxime,” ucap Vanessa lirih namun tajam. “Aku tak pernah benar-benar peduli akan hubunganmu dengan wanita itu. Tidak lagi. Kalau dulu aku tampak terus mencampuri… mungkin karena aku masih berharap. Tapi sekarang, tidak.”
Ia menyunggingkan senyuman tipis—bukan manis, tapi menyakitkan. Seperti seseorang yang sudah terlalu lama menahan luka yang tak terlihat. “Mulai sekarang, kau bebas. Aku tak akan mengganggumu lagi. Aku akan mencari alasan terbaik… kenapa kita harus bercerai. Dan jika kau ingin mempercepat prosesnya, lakukan saja. Aku takkan menghalangi.”
Setelah mengatakan itu, Vanessa berbalik, langkahnya tampak mantap, tapi raganya—raga Vivienne—bergetar halus seiring setiap langkah yang diambil. Seolah tubuh itu menyimpan luka yang lebih dalam daripada yang bisa diungkapkan kata-kata. Ada sesak yang menyeruak tiba-tiba di dadanya, seperti rasa kehilangan yang bukan berasal dari dirinya… tapi dari wanita yang tubuhnya kini ia huni.
Dan Vanessa merasakannya. Ia merasakan betapa rapuhnya Vivienne saat itu. Betapa hancurnya hati yang dulu pernah berharap pada Maxime.
Kata-kata yang baru saja ia ucapkan mungkin terdengar tegas, namun di dalam dirinya—di antara batas antara masa kini dan masa lalu—ada kehancuran perlahan yang menelan napasnya. Ia bahkan tak tahu bagaimana masih bisa berdiri tegak.
Namun sebelum ia sempat menjauh lebih dari dua langkah, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya—kuat, panas, penuh emosi.
Tubuhnya diputar paksa. Udara sempat lolos dari bibirnya karena terkejut, tapi sebelum sempat ia mengucapkan satu kata pun, Maxime telah menarik tubuhnya dan mendekapnya erat.
Kemudian, bibir mereka bertemu.
Bukan sekadar ciuman.
Bukan sebuah sentuhan biasa.
Melainkan ledakan dari segala sesuatu yang selama ini terkubur—kemarahan, kerinduan, luka, dan rasa yang tak pernah sempat mereka beri nama.
Maxime mencium Vanessa seperti seseorang yang baru saja kehilangan segalanya dan tak ingin kehilangan lagi. Tangannya menahan tengkuknya, menekannya lembut namun pasti, seolah takut wanita itu akan menghilang. Satu tangan lainnya melingkari pinggangnya, menahan tubuh Vanessa agar tetap dalam dekapannya.
Vanessa membeku. Matanya membelalak, dadanya naik turun cepat, otaknya menolak, tapi hatinya berteriak sebaliknya.
Karena di balik ciuman itu, ia merasakan sesuatu yang tak bisa ia dustai.
Rasa sakit.
Rasa ingin dimengerti.
Rasa… mencintai.
Dan perlahan, seluruh pertahanan Vanessa mulai runtuh. Matanya tertutup pelan, dan ia tidak lagi melawan. Jari-jarinya yang tadinya mengepal di dada Maxime kini mencengkeram pakaian pria itu—menariknya lebih dekat, seolah tubuh mereka belum cukup rapat.
Ciuman itu menjadi lebih lembut, lebih dalam… lebih jujur.
Mereka saling bernapas dalam keheningan, hingga Maxime perlahan melepaskannya, namun wajahnya tetap dekat. Hidung mereka bersentuhan. Nafas Maxime berembus di wajahnya, panas, gugup, dan begitu nyata.
Tatapannya menelusuri wajah wanita yang nyaris ia hancurkan dengan keegoisannya sendiri—wanita yang selama ini ia biarkan berdiri sendirian dalam badai, tanpa perlindungan, tanpa kehangatan.
“Aku… tidak ingin bebas darimu. Aku tidak mau bercerai,” bisiknya. Suaranya serak dan nyaris pecah. “Maafkan aku… Bisakah kita memperbaiki semua ini dan memulai dari awal lagi?”
Vanessa menatap Maxime—wajah pria itu begitu dekat, begitu nyata, dan untuk pertama kalinya… penuh kejujuran. Tak ada arogansi. Tak ada wajah yang begitu dingin. Hanya rasa bersalah dan ketakutan.
Ketakutan akan kehilangan.
Namun luka di dalam separuh jiwa Vivienne—begitu dalam. Terlalu dalam. Matanya berkaca-kaca, namun ia menahan air mata itu dengan seluruh sisa harga dirinya. Ia menarik napas, hendak menjawab, tapi sebelum sempat satu kata pun lolos dari bibirnya—
Maxime menariknya dalam satu gerakan cepat, dan menutup jarak di antara mereka dengan bibirnya lagi.
Tapi di kejauhan—dalam bayang redup pilar marmer dan cahaya lilin yang berpendar lembut di sepanjang lorong istana—seseorang berdiri membatu.
Theo.
Tubuhnya setengah tersembunyi di balik pilar, namun dari tempatnya berdiri, ia melihat segalanya dengan jelas. Bagaimana Maxime mencengkeram pergelangan tangan Vivienne. Bagaimana tatapan pria itu seakan menumpahkan seluruh penyesalan dan keinginan untuk memulai dari awal. Dan akhirnya… bagaimana bibir Maxime menutup mulut wanita yang selama ini diam-diam ia jaga di kejauhan.
Dunia seolah membisu. Tapi di dada Theo, badai telah pecah.
Tangan kirinya mengepal erat, sampai buku-bukunya memutih. Sorot matanya menggelap, dipenuhi emosi yang bercampur antara marah, kecewa, dan sakit yang tak bisa ia ucapkan. Bukan hanya karena ciuman itu—tapi karena kenyataan bahwa sekali lagi… ia hanya menjadi penonton dalam cerita yang tak pernah berpihak padanya.
Karena meski ia lebih dulu mengenal Vivienne.
Meski ia lebih dulu menyayanginya.
Tetap saja Maxime yang memeluknya. Maxime yang mencium wanita itu. Dan Maxime—yang dulu menyakitinya—yang sekarang mencoba mengklaim hatinya kembali.
Theo menarik napas tajam, lalu melangkah pergi. Tak mengucapkan apa-apa. Tak menoleh. Tapi di belakangnya, bayangan yang ia tinggalkan dipenuhi kesedihan yang nyaris tak tertanggungkan.
double up thor
ya udah cerai aja vanesa