NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:423
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.

Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.

Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.

Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

Kecemasan Naya mencapai puncaknya setelah ia mendengar laporan singkat dari Andika mengenai interogasi Bram terhadap Aris. Malam itu, Jakarta terasa begitu menyesakkan. Naya merasa seolah sangkar emasnya kini telah dialiri listrik—satu langkah salah, maka segalanya akan hangus.

Naya mengirim pesan melalui ponsel rahasianya. Hanya satu titik lokasi: Taman Kenangan. Taman kecil yang kini sudah terbengkalai, tempat di mana mereka dulu sering menghabiskan waktu sebelum tragedi dua tahun lalu itu terjadi.

Malam itu, Naya menyelinap keluar dengan bantuan Bi Sumi yang berpura-pura mengunci pintu belakang. Dengan hoodie gelap menutupi wajahnya, Naya tiba di taman yang gelap dan lembap. Di sana, di bawah lampu jalan yang berkedip redup, Rian sudah menunggu.

Begitu melihat sosok Rian, Naya langsung menghambur ke pelukannya. Ia menangis tanpa suara, bahunya terguncang hebat. "Rian... Bram mulai bergerak. Dia menginterogasi Aris. Dia punya fotomu yang dulu. Kita harus pergi, Rian. Mari kita tinggalkan Jakarta malam ini juga. Aku tidak peduli dengan harta Ayah, aku hanya ingin kamu selamat."

Rian mendekap Naya erat, namun tubuhnya terasa sekokoh batu karang. Ia membiarkan Naya melepaskan seluruh ketakutannya sejenak, sebelum akhirnya ia memegang kedua bahu Naya dan menatap matanya dengan sangat dalam.

"Tidak, Naya. Kita tidak akan lari lagi," ujar Rian, suaranya rendah namun penuh otoritas yang tak terbantahkan.

Naya tertegun, air matanya masih mengalir. "Tapi Rian, Ayah bisa membunuhmu! Kamu tidak tahu seberapa kejamnya Bram jika dia sudah mendapatkan bukti."

"Dua tahun lalu, aku lari karena aku tidak punya apa-apa untuk melindungimu," Rian mengusap air mata di pipi Naya dengan ibu jarinya yang kasar. "Tapi sekarang, aku kembali sebagai pria yang memegang wajah Hardi Group. Jika aku lari sekarang, aku hanya akan membuktikan bahwa perkataan Ayahmu benar—bahwa aku hanyalah seorang pengecut yang mengincar hartanya."

Rian membawa tangan Naya ke dadanya, membiarkan Naya merasakan detak jantungnya yang tenang. "Aku ingin dunia melihat kita terbang secara terhormat. Aku ingin Ayahmu berlutut pada kenyataan bahwa pria yang ia buang kini adalah orang yang menyelamatkan reputasi perusahaannya. Aku tidak akan membiarkan sayap kita patah untuk kedua kalinya hanya karena kita ketakutan."

"Tapi bagaimana jika Bram menemukan bukti di kontrakan lamamu?" bisik Naya cemas.

"Andika sudah mengurusnya, Nay. Dia sudah membersihkan semua jejak di sana. Sekarang, tugas kita adalah menyelesaikan Galeri Butterfly itu tepat waktu," Rian tersenyum tipis, sebuah senyuman yang penuh dengan romantisme melankolis. "Ingat lirik itu? Setinggi anganku untuk meraihmu. Anganku sekarang sudah di sini, Naya. Aku tidak akan turun lagi."

Di tengah sunyinya taman dan rintik hujan yang mulai turun, mereka berdiri berdekatan. Tidak ada ciuman, hanya dahi yang saling bersentuhan—sebuah janji batin yang lebih kuat dari ikatan apa pun. Mereka sedang memeluk batin yang sama-sama kacau, namun kali ini, mereka tidak lagi merasa lemah.

Keesokan harinya di kantor, suasana semakin panas. Bram secara mendadak mengusulkan pemeriksaan audit menyeluruh terhadap seluruh vendor proyek, termasuk firma arsitektur Rian. Ini adalah taktik jelas untuk mencari celah dalam dokumen legalitas Rian di London.

Tuan Hardi menyetujuinya. "Lakukan, Bram. Pastikan tidak ada satu sen pun yang diselewengkan."

Andika yang mendengar hal itu segera menemui Rian di lobi lokasi proyek. "Rian, audit akan dimulai besok. Bram mencari celah dalam ijazah dan sertifikasi London-mu. Apa semuanya benar-benar bersih?"

Rian yang sedang meninjau cetak biru bangunan hanya tersenyum tenang. "Biarkan dia memeriksa, Pak Andika. Universitas di London tidak akan berbohong soal lulusan terbaiknya. Yang Bram tidak tahu adalah... semakin dia menggali, semakin dia akan menemukan kebenaran bahwa saya adalah aset yang tidak bisa mereka lepaskan."

Namun, di balik ketenangan itu, Rian tahu ada satu hal yang bisa menghancurkannya: Dian. Jika Bram berhasil melacak Dian dan menginterogasinya, Dian mungkin tidak akan sekuat Aris dalam menjaga rahasia.

Rian segera menghubungi Rio. "Rio, pastikan Dian tidak bisa dihubungi oleh siapa pun dari kantor pusat selama seminggu ke depan. Katakan padanya untuk fokus pada tugas akhirnya di London atau liburan singkat. Jangan biarkan asisten Tuan Hardi menemukannya."

Malam itu, Naya duduk di meja kerjanya, melihat jadwal audit. Ia menyadari bahwa Bram sedang menggiring Rian ke sebuah jebakan administrasi. Naya mengambil sebuah langkah berani. Ia masuk ke ruangan Ayahnya saat hari sudah larut.

"Ayah, Naya ingin mengusulkan sesuatu," ujar Naya dengan wajah dingin yang sempurna.

Tuan Hardi menatap putrinya. "Apa itu?"

"Daripada kita membuang waktu dengan audit administrasi yang membosankan, mengapa kita tidak mengadakan pre-launching galeri minggu depan? Undang para investor internasional. Biarkan mereka melihat kehebatan arsitek kita. Jika investor puas, maka audit itu hanya akan menjadi formalitas belaka."

Tuan Hardi tampak berpikir. Strategi Naya sangat masuk akal bagi seorang pebisnis. "Ide bagus. Jika dunia mengakuinya, maka Hardi Group akan semakin terbang tinggi."

Naya keluar dari ruangan Ayahnya dengan napas lega. Ia baru saja memberikan Rian panggung terbesar. Panggung di mana jika Rian bersinar, maka Tuan Hardi tidak akan berani menyentuhnya, bahkan jika kebenaran masa lalu terungkap.

Kupu-kupu itu kini sedang bersiap untuk kepakan sayap yang paling menentukan.

Malam itu, aula utama Hardi Group disulap menjadi ruang futuristik yang megah. Cahaya lampu sorot biru lembut memantul pada dinding kaca, sementara aroma bunga lili mahal memenuhi udara, bercampur dengan aroma parfum dari para investor kelas dunia yang hadir. Musik orkestra yang melankolis namun megah mengiringi langkah para tamu dari Singapura, Jepang, dan London.

Tuan Hardi duduk di meja utama, tampak sangat berwibawa dalam balutan tuksedo hitam. Di sampingnya, Naya duduk tegak. Wajahnya dipoles dengan topeng kedinginan yang sempurna, meski di balik meja, tangannya menggenggam ponsel lama Adrian yang selalu ia bawa sebagai penyambung nyawa.

"Saudara-saudara sekalian," suara pembawa acara bergema. "Mari kita sambut, otak di balik proyek fenomenal ini, Arsitek Utama dari London... Adrian Rian Aditama."

Rian melangkah ke podium dengan tenang. Jas abu-abu gelapnya terlihat sangat pas di tubuhnya yang kini lebih tegap. Saat Rian mulai berbicara, suaranya yang bariton dan tegas mengisi setiap sudut ruangan.

"Bagi saya, arsitektur adalah sebuah janji. Sebuah desain tentang bagaimana sesuatu yang pernah terinjak bisa memiliki sayap untuk terbang kembali," ujar Rian sambil menampilkan maket digital Butterfly Pavilion.

Tuan Hardi sedikit memiringkan kepalanya. Ia menatap Rian dengan tatapan yang sangat tajam. Ada sesuatu pada nada bicara Rian, pada cara pria itu menekankan kata 'sayap', yang terasa begitu akrab di telinganya. Suara ini... cara dia berdiri... batin Tuan Hardi bergejolak. Namun, ia segera menepisnya. Tidak mungkin. Pria miskin itu pasti sudah membusuk di suatu tempat, bukan berdiri di podium internasional sebagai lulusan terbaik.

Naya, yang menyadari tatapan ayahnya mulai curiga, segera mencuri pandang ke arah Rian. Di atas podium, Rian sempat melirik Naya—sebuah tatapan yang seolah berkata, "Aku sedang berjuang untukmu di depan matanya."

Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!