Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.
"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"
"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"
Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Aroma menyengat khas minyak urut memenuhi kamar tidur utama yang kini kondisinya memprihatinkan. Di atas kasur busa yang tergelar di lantai, Arkan Zayden sedang telungkup seperti kura-kura terbalik. Wajahnya menempel di bantal sambil mengerang-erang dramatis.
"Aduh. Pinggang gue. Kayaknya saraf kejepit deh ini. Ra, pelan-pelan dong mijitnya. Lo mau mijit apa mau bikin adonan roti?" keluh Arkan.
Keira duduk bersila di samping tubuh suaminya. Tangannya berlumuran minyak gosok panas. Dengan penuh dendam membara, dia menekan jempolnya ke punggung bawah Arkan.
"Diem lo. Ini namanya pijat refleksi buat meluruskan tulang lo yang bengkok. Makanya jangan sok aksi lompat-lompat di kasur. Udah tau umur segini tulang udah mulai rapuh," omel Keira sambil menekan titik yang paling sakit.
"Aww! Sakit, Ra! Lo sengaja ya mau bikin gue lumpuh biar bisa kawin lagi?" jerit Arkan.
"Kalau gue mau kawin lagi, gue cari yang badannya atletis beneran. Bukan yang encok begini," cibir Keira, namun dia mengurangi tenaganya sedikit.
Keira sebenarnya merasa kasihan juga. Semalam mereka tidur di lantai yang keras karena kasur busa itu ternyata tipis. Akibatnya, pagi ini badan mereka remuk redam. Arkan yang paling parah karena dia merelakan sebagian besar area kasur untuk Keira, sementara dia tidur setengah di karpet.
"Udah ah. Gue harus siap-siap kerja. Lo hari ini kerja enggak? Kalau masih sakit mending izin aja," kata Keira sambil mengelap tangannya dengan tisu basah.
Arkan bangun perlahan sambil memegangi pinggangnya. Wajahnya meringis.
"Harus masuk, Ra. Ada rapat direksi jam sepuluh. Gue enggak bisa bolos lagi. Nanti Papa murka dan nyabut fasilitas kartu kredit gue lagi. Bisa mati gaya gue," jawab Arkan sambil berusaha berdiri tegak.
Keira geleng-geleng kepala melihat suaminya berjalan miring seperti kepiting.
"Nanti gue suruh Bimo belikan koyo cabe yang banyak. Tempel di punggung lo biar panasnya nampol," saran Keira.
"Jangan koyo dong. Bau. Nanti wibawa gue sebagai CEO turun kalau bau koyo," tolak Arkan gengsi.
"Terserah. Yang penting jangan nyusahin gue," Keira beranjak ke kamar mandi untuk bersiap.
Tiga jam kemudian, Keira sedang sibuk memeriksa desain interior untuk sebuah kafe di tabletnya ketika ponselnya berbunyi. Nama 'Suami Reseh' muncul di layar.
Keira menggeser tombol hijau. "Halo. Apa lagi? Pinggang lo patah?"
"Bukan, Ra. Gue ketinggalan berkas penting di meja makan. Map warna biru. Isinya materi presentasi buat rapat siang ini. Tolong anterin dong ke kantor gue. Please. Bimo lagi gue suruh beli kasur baru," suara Arkan terdengar memelas.
Keira menghela napas panjang. "Gue sibuk, Arkan. Suruh kurir aja kenapa sih?"
"Enggak bisa. Ini dokumen rahasia perusahaan. Enggak boleh dipegang orang sembarangan. Cuma istri tercinta yang boleh pegang. Ayolah, Ra. Nanti gue traktir tas baru deh," bujuk Arkan dengan iming-iming materi.
Mendengar kata 'tas baru', pertahanan Keira goyah. Lagipula jam makan siang sebentar lagi tiba. Sekalian saja dia makan siang di luar.
"Oke. Gue anterin sekarang. Tapi awas ya kalau lo bohong soal tas baru," ancam Keira.
"Siap, Nyonya. Ditunggu kedatangannya. Love you," Arkan memutus sambungan telepon sebelum Keira sempat membalas atau memaki.
Keira segera membereskan meja kerjanya. Dia mengambil map biru yang dimaksud Arkan di rumah sebelum meluncur ke gedung pencakar langit Zayden Group di kawasan Sudirman.
Sesampainya di lobi Zayden Group yang megah, Keira berjalan menuju resepsionis. Dia mengenakan blouse putih dan rok pensil beige yang membuatnya terlihat profesional dan elegan. Kacamata hitam bertengger di hidungnya.
"Selamat siang. Saya mau bertemu Pak Arkan," kata Keira pada resepsionis wanita yang berdandan tebal.
Resepsionis itu menatap Keira dari atas ke bawah dengan tatapan menilai. "Apa sudah buat janji? Pak Arkan sibuk sekali hari ini. Tidak bisa diganggu sembarangan."
"Saya istrinya," jawab Keira singkat dan padat.
Mata resepsionis itu membelalak. Sikapnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Dia berdiri dan membungkuk sopan.
"Maaf, Bu Arkan! Saya tidak mengenali. Silakan langsung naik ke lantai dua puluh lima. Lift khusus CEO ada di sebelah kanan," ucapnya gugup.
Keira tersenyum miring. Enak juga ternyata punya kuasa istri CEO. Dia berjalan anggun menuju lift pribadi.
Pintu lift terbuka di lantai dua puluh lima. Lantai ini sangat hening dan mewah. Karpet tebal meredam suara langkah kaki Keira. Dia berjalan menuju pintu ganda besar di ujung lorong yang bertuliskan CEO ROOM.
Keira hendak membuka pintu itu, tetapi gerakannya terhenti saat melihat pintu itu sedikit terbuka. Dia mendengar suara tawa perempuan dari dalam. Tawa yang manja dan renyah.
Keira mengintip sedikit dari celah pintu.
Di dalam ruangan, Arkan sedang duduk di kursi kerjanya. Di sampingnya berdiri seorang gadis muda, sangat muda, mungkin baru lulus kuliah. Gadis itu mengenakan rok mini di atas lutut dan kemeja ketat. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah Arkan sambil memegang tablet, memperlihatkan belahan dadanya dengan cukup jelas.
"Ih, Bapak bisa aja bercandanya. Saya jadi malu," kata gadis itu sambil memukul pelan lengan Arkan. Genit sekali.
Arkan terlihat tersenyum. Bukan senyum terpaksa, tapi senyum menikmati.
"Kamu ini lucu ya, Vivi. Masih muda semangatnya luar biasa," puji Arkan.
Darah Keira mendidih seketika. Panasnya melebihi saat dia makan sate taichan level lima. Jadi ini kelakuan suaminya di kantor? Menggoda daun muda?
Tanpa mengetuk, Keira menendang pintu itu hingga terbuka lebar.
Arkan dan gadis bernama Vivi itu melonjak kaget. Vivi refleks mundur menjauh dari Arkan. Arkan hampir terjungkal dari kursinya.
"Astagfirullah! Siapa ... eh, Keira?" Arkan menatap istrinya yang berdiri di ambang pintu dengan aura membunuh. Mata Keira menyala seperti laser.
Keira melangkah masuk dengan bunyi heels yang mengintimidasi. Dia berjalan lurus ke arah meja Arkan, lalu melempar map biru itu tepat ke depan wajah suaminya.
"Ini berkas lo. Semoga presentasinya lancar. Selancar lo genit sama karyawan lo," sindir Keira dingin.
Arkan menelan ludah. Dia berdiri cepat, melupakan sakit pinggangnya sejenak.
"Ra, tunggu. Ini enggak seperti yang lo pikirkan. Kenalin, ini Vivi. Dia anak magang baru di divisi pemasaran," Arkan mencoba menjelaskan.
Vivi menatap Keira dengan polos. Atau mungkin pura-pura polos. Dia tersenyum manis lalu mengulurkan tangan.
"Halo, Tante. Saya Vivi. Tante ini ibunya Pak Arkan ya? Cantik banget, Tante. Awet muda," sapa Vivi dengan nada ceria.
Hening.
Dunia Arkan terasa berhenti berputar.
Ibunya? Vivi mengira Keira adalah ibunya Arkan?
Urat leher Keira menonjol. Dia menepis tangan Vivi kasar.
"Heh, Bocah. Mata lo katarak ya? Gue istrinya! Istri sah! Umur gue baru dua puluh empat tahun! Lo panggil gue Tante sekali lagi, gue jadiin lo tumbal proyek jembatan," sembur Keira murka.
Vivi ternganga kaget. "Eh? Istrinya? Maaf, Mbak. Habisnya Pak Arkan enggak pernah pasang foto istri di meja. Saya kira Pak Arkan masih single."
"Arkan!" Keira menatap suaminya tajam. "Lo enggak pajang foto gue? Lo bilang di rumah lo pajang foto gue segede gaban biar gue enggak mimpi buruk. Tapi di sini lo sembunyiin status lo?"
Arkan gelagapan. Keringat dingin mulai bercucuran.
"Bukan gitu, Ra. Foto kita kan adanya yang pas nikahan muka lo cemberut semua. Gue malu pajangnya. Nanti dikira gue nikah paksa... eh emang paksa sih, tapi kan..." Arkan semakin bicara semakin salah.
"Vivi, kamu keluar dulu. Beliin saya kopi. Di Arab Saudi," perintah Arkan pada Vivi untuk menyelamatkan nyawanya.
"Baik, Pak. Permisi, Tante... eh Mbak Galak," Vivi buru-buru kabur keluar ruangan sebelum diterkam singa betina.
Setelah pintu tertutup, Arkan memberanikan diri mendekati Keira. Dia memegang bahu istrinya.
"Ra, jangan marah dong. Vivi itu emang gitu anaknya. Polos-polos nyebelin. Gue enggak ada apa-apa sama dia. Sumpah. Pinggang gue lagi sakit gini mana bisa gue macem-macem," bujuk Arkan.
Keira menepis tangan Arkan. Dia berjalan memutari meja kerja Arkan. Benar saja, tidak ada foto dirinya di sana. Hanya ada foto Arkan bersama orang tuanya dan foto mobil sport kesayangannya.
"Lo menikmati kan dipanggil Bapak Ganteng sama dia? Lo seneng kan ditempel-tempel kayak prangko?" tuduh Keira.
Arkan menghela napas. Dia duduk di tepi meja kerjanya, menatap Keira yang sedang cemburu. Dan entah kenapa, Arkan merasa senang. Keira cemburu. Itu artinya Keira peduli.
"Jujur dikit, Ra. Lo cemburu ya?" tanya Arkan sambil tersenyum jahil.
"Najis. Siapa yang cemburu. Gue cuma enggak suka milik gue disentuh orang lain. Itu prinsip. Sama kayak gue enggak suka sikat gigi gue dipake orang," elak Keira gengsi.
"Oh, jadi gue disamain kayak sikat gigi?" Arkan tertawa. Dia menarik tangan Keira hingga tubuh gadis itu menabrak lututnya.
"Denger ya, Nona Singa. Mau ada seribu Vivi atau seribu Clara sekalipun, mata gue cuma liat satu cewek galak yang hobi banget nginjek kaki gue. Cewek yang masakin nasi goreng sosis gosong tapi tetep gue makan. Cewek yang sekarang lagi cemberut di depan gue," ucap Arkan lembut.
Wajah Keira memerah. Jantungnya berdebar kencang. Gombalan Arkan semakin hari semakin berbahaya.
Arkan membuka laci mejanya. Dia mengeluarkan sebuah bingkai foto kecil yang dia simpan di dalam laci.
"Gue simpen ini di laci bukan karena malu, Ra. Tapi karena gue enggak mau karyawan gue naksir sama istri gue. Lo terlalu cantik di foto ini," kata Arkan sambil memperlihatkan foto itu.
Itu adalah foto prewedding mereka yang close up saat hidung mereka bersentuhan. Foto yang diambil oleh fotografer Beni. Di foto itu, Keira terlihat sangat cantik dan damai, seolah sedang jatuh cinta sungguhan.
Keira tertegun. Dia tidak menyangka Arkan menyimpan foto itu.
"Alasan," gumam Keira pelan, berusaha menutupi rasa senangnya.
"Serius. Sekarang, berhubung lo udah di sini dan udah bikin anak magang gue trauma, lo harus tanggung jawab," kata Arkan.
"Tanggung jawab apaan?"
"Temenin gue makan siang. Di sini aja. Kita pesen makanan. Gue enggak bisa jalan jauh, pinggang gue kumat lagi gara-gara kaget lo tendang pintu tadi," Arkan memegangi pinggangnya dengan wajah memelas.
Keira menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Ya udah. Tapi gue yang pesen menunya. Lo enggak boleh protes."
"Siap. Asal jangan sate taichan lagi. Lambung gue belum pulih," pinta Arkan.
Mereka akhirnya memesan nasi padang. Makan siang di sofa ruangan CEO yang mewah itu terasa hangat. Keira menyuapi Arkan sesekali karena Arkan beralasan tangannya gemetar kelaparan. Modus tingkat dewa.
"Ra," panggil Arkan di sela makan.
"Hmm?"
"Mulai besok gue bakal pajang foto itu di meja. Biar semua orang tau kalau pawang gue galak," kata Arkan.
"Bagus. Dan bilang sama Vivi, kalau dia panggil gue Tante lagi, gue kirim dia magang ke kutub utara," ancam Keira.
Arkan tertawa renyah. "Siap, Istriku."
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka lagi tanpa ketukan. Bimo masuk dengan wajah panik sambil membawa tablet.
"Bos! Gawat Bos!" seru Bimo.
"Apaan sih Bim? Ketuk pintu dulu napa. Ganggu orang lagi pacaran aja," omel Arkan.
"Maaf Bos, tapi ini darurat. Ada berita viral di akun gosip Lambe Turah," Bimo menyodorkan tabletnya ke arah Arkan dan Keira.
Di layar tablet itu terpampang foto Arkan dan Clara di kafe kemarin. Foto yang diambil dari kejauhan (kemungkinan oleh orang lain, bukan foto yang diambil Keira). Judul beritanya sangat sensasional:
CEO ZAYDEN GROUP TERTANGKAP BASAH BERTEMU MANTAN KEKASIH. ISU HAMIL DI LUAR NIKAH KEMBALI MENCUAT? BAGAIMANA NASIB ISTRI BARUNYA?
Wajah Arkan berubah keras. Rahangnya mengatup rapat. Berita itu sudah mendapat ribuan komentar negatif. Clara benar-benar membuktikan ancamannya. Dia menyebarkan gosip murahan untuk menghancurkan reputasi Arkan.
Keira menatap layar itu dengan tenang. Dia meletakkan sendok makannya.
"Wah, gercep juga si Ular," komentar Keira santai.
Arkan menatap Keira cemas. "Ra, lo percaya gue kan? Itu pertemuan kemarin pas gue nolak dia. Beritanya dipelintir."
Keira berdiri, merapikan blazernya. Dia mengambil ponselnya dari dalam tas.
"Tenang aja, Arkan. Gue percaya. Dan gue udah siapin amunisi buat perang ini. Bimo, siapin konferensi pers besok pagi. Kita bakal bikin Clara malu seumur hidup," perintah Keira dengan nada otoriter layaknya bos besar.
Bimo menatap Arkan bingung. Arkan tersenyum bangga melihat istrinya.
"Dengerin tuh perintah Nyonya Bos, Bim. Laksanakan," kata Arkan.
Keira menatap foto Arkan di berita itu. "Lo tenang aja. Istri lo ini enggak cuma pinter desain rumah, tapi juga pinter desain strategi perang. Kita liat siapa yang bakal nangis besok."
Arkan menatap Keira dengan tatapan kagum yang luar biasa. Dia semakin yakin, menikahi Keira adalah keputusan terbaik dalam hidupnya. Wanita ini bukan hanya pelengkap, tapi partner sepadan yang siap melindunginya.
"Makin cinta gue sama lo, Ra," gumam Arkan pelan.
"Apa?" tanya Keira yang sedang sibuk mengetik pesan di ponselnya.
"Enggak. Gue bilang rendangnya enak," elak Arkan.
Badai gosip sudah datang, tapi kali ini Arkan tidak takut. Karena dia punya singa betina yang siap mencabik siapa saja yang mengganggu wilayahnya.