Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketenangan Palsu dan Ruang Hampa Revan
Pagi menyambut ku dengan cahaya yang terasa biasa saja, tetapi hariku tidak lagi biasa. Aku berjalan di koridor kampus dengan langkah yang lebih terstruktur. Pikiranku tidak lagi berkeliaran liar, melainkan sibuk mengulang-ulang perintah Gus Ammar Fikri.
Manajer Risiko. Aku adalah unit yang harus distabilkan.
Aku mengecek ponselku, memastikan nomor Revan masih terblokir. Setelah aku mengirimkan laporan konfirmasi pemblokiran tadi malam, Ammar hanya membalas singkat: "Audit Selesai. Lanjutkan tugas kuliah Anda." Dingin, efisien, dan final.
Di sisi lain, Revan pasti sedang kebingungan. Setelah penghinaan kemarin, ia mungkin berharap aku akan memberinya setidaknya satu penjelasan. Tetapi aku memutus total aksesnya, sesuai perintah Auditor Emosi baruku.
Aku merasakan kekosongan yang aneh. Bukan kesedihan karena kehilangan kontak, tetapi ketenangan yang dipaksakan. Aku tahu ini adalah ketenangan palsu, hasil dari kepatuhan total.
Aku menemukan Neli dan Imel di kantin, menunggu dengan wajah penuh rasa ingin tahu yang tidak bisa disembunyikan. Begitu aku duduk, mereka langsung menyerbu.
"Ra! Spill the tea!" seru Imel, menggeser kursinya mendekat.
"Iya, Ra! Semalam apa yang terjadi di mobil? Gus itu bilang apa? Dia marah-marah?" tanya Neli bersemangat.
Aku mengambil napas, teringat sindiran Ammar yang menyakitkan. Aku tahu aku tidak bisa menceritakan sesi coaching yang kejam itu kepada mereka. Mereka tidak akan mengerti bahwa itu adalah hukuman dari calon imamku.
"Tidak ada yang dramatis," jawabku, mencoba meniru nada datar Ammar. "Kami hanya melakukan Studi Kasus Pengendalian Emosi."
"HAH?! Studi kasus apaan?" Imel mengerutkan kening.
"Dia bilang, aku gagal dalam mengelola Variabel Non-Produktif," jelasku, menggunakan istilah-istilah Ammar. "Dia menguji stabilitas emosional dan logika agamaku saat berhadapan dengan Revan."
Neli dan Imel saling pandang, tampak bingung.
"Maksud lo, dia ngajak lo taaruf sambil nguji skill kepemimpinan lo?" tanya Neli.
"Kurang lebih begitu," kataku. "Dia hanya ingin memastikan bahwa aku serius dengan Garis Batas Keyakinan yang baru. Dia tidak suka hal-hal yang tidak jelas, apalagi masalah hati."
"Wow. Itu benar-benar next level dari controlling," gumam Imel. "Terus, Revan? Lo ada dihubungi lagi?"
Aku menggeleng. "Aku sudah memenuhi komitmen taarufku. Aku memblokir semua akses. Aku tidak bisa membiarkan ada variabel risiko yang mengganggu sistem yang sedang kami bangun."
Kata-kataku terdengar aneh, formal, dan tidak seperti diriku yang dulu. Namun, di antara kegilaan dan kelucuan, Neli dan Imel menangkap ketegasan yang tidak pernah mereka dengar dariku. Mereka tahu ini bukan lagi candaan.
"Oke, Ra. Kami mengerti. Kami di pihakmu, apa pun keputusanmu," kata Neli tulus. "Tapi kalau Gus-mu itu menyuruhmu makan porsi jumbo lagi, lo telepon kami!"
Setelah istirahat, aku berjalan sendirian menuju perpustakaan. Aku tahu Ammar tidak akan menelepon atau menghubungiku sampai hari pertemuan kami berikutnya. Dia sudah menetapkan tujuan dan standar, sekarang giliranku untuk mengeksekusi.
Saat Ammar menyindirku karena membenarkan pacaran syar'i, ia sebenarnya memberiku tugas spiritual. Ia menuntut kejelasan imanku.
Aku duduk di sudut perpustakaan yang tenang, bukan untuk membaca buku kuliah, tetapi untuk mencari kejelasan batin. Aku mengeluarkan buku saku kecil tentang Konsep Islam tentang Cinta dan Pernikahan yang pernah diberikan Bunda.
Aku membuka halaman-halaman itu, mencari dalil-dalil yang menegaskan bahwa pacaran adalah pelanggaran, sehangat apa pun rasanya. Aku mencari pemahaman bahwa cinta yang sejati baru sah dimulai setelah akad diucapkan, bukan sebelum itu.
Aku menyadari, Ammar tidak hanya mengaudit porsi nasiku atau variable Revan. Dia mengaudit ideologiku.
Aku harus membuat pertahanan spiritual yang kokoh, bukan hanya pertahanan logis. Aku harus menaklukkan hatiku sendiri sebelum Ammar memutuskan bahwa hatiku adalah aset yang terlalu rusak untuk diperbaiki.
Saat aku membaca dan merenung, aku tiba-tiba merasakan ketenangan yang lebih dalam, bukan ketenangan palsu dari kepatuhan, melainkan ketenangan yang muncul dari pemahaman.
Aku tidak hanya mengikuti perintah Manajer Risiko, aku sedang memperbaiki Garis Batas Keyakinan-ku.
Di luar sana, Revan mungkin sedang mencoba segala cara untuk menghubungiku. Tapi di ruang hampa yang kuciptakan ini, aku berusaha mengisi kekosongan dengan ilmu, agar saat Ammar menguji stabilitasku lagi, aku bisa merespons dengan tegas, bukan lagi dengan keheningan.