Kirana Larasati, gadis yang baru saja lulus SMA, harus menghadapi kenyataan pahit. Adiknya menderita sakit kanker, namun masalah ekonomi membuat adiknya terpaksa dirawat di rumah sendiri. Kirana ingin bekerja dan membantu orang tuanya. Suatu hari, tetangganya bernama Lilis menawarkannya pekerjaan sebagai pengasuh anak.
Kirana bertemu dengan Bastian Rajendra, seorang duda yang memiliki satu anak perempuan bernama Freya Launa.
Awalnya, Kirana hanya berniat bekerja untuk mendapatkan uang demi pengobatan adiknya. Namun, kedekatan Kirana dengan Freya, serta tanggung jawabnya yang besar, membuat Bastian mengambil keputusan tak terduga. Bastian menawarkan sebuah pernikahan kontrak dengan janji akan menanggung seluruh biaya pengobatan adiknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"CEO Masuk Lumpur: Ujian Nyangkul Si Kelinci Otoriter"
Bapak menghela napas panjang, matanya yang tajam perlahan sedikit melunak melihat kesungguhan di wajah Bastian, meski kecurigaan itu belum sepenuhnya hilang.
"Masuk dulu. Tidak enak bicara di teras, jadi tontonan tetangga," ucap Bapak singkat sambil berbalik masuk ke dalam rumah tanpa menunggu jawaban.
Kirana menyenggol lengan Bastian pelan, berbisik dengan nada khawatir. "Tuan, eh, Mas... hati-hati. Itu kode kuning. Kalau Bapak sudah masuk duluan tanpa senyum, artinya Mas lagi disidang."
Bastian hanya mengangguk kecil, merapikan jasnya yang terasa sedikit gerah, lalu melangkah masuk ke ruang tamu yang sederhana. Di sana hanya ada kursi kayu jati tua dan meja kecil dengan taplak renda putih. Wangi aroma kopi tubruk dan tanah basah khas pedesaan menyeruak.
Bapak duduk bersila di atas tikar pandan di lantai, sebuah tindakan yang sengaja dilakukan untuk menguji apakah pria kota di depannya ini mau merendah. Tanpa ragu, Bastian ikut melipat kaki panjangnya dan duduk bersila di hadapan Bapak, meskipun celana kain mahalnya tampak sedikit ketat untuk posisi itu.
"Jadi," Bapak memulai pembicaraan sambil menyulut rokok lintingannya. "Kamu bilang mau menjamin kesembuhan Luki. Kamu tahu biaya kanker itu tidak murah? Kamu punya apa sampai berani janji begitu?"
Kirana yang baru saja meletakkan nampan berisi teh hangat hampir saja menyela, namun Bastian lebih dulu bersuara.
"Saya memiliki usaha di Jakarta, Pak. Dan saya sudah memindahkan Luki ke rumah sakit terbaik pagi ini. Ini bukan sekadar janji, tapi komitmen. Saya mencintai putri Bapak dan saya ingin dia tenang mendampingi saya tanpa harus memikirkan beban biaya adiknya lagi," dusta Bastian dengan wajah yang sangat meyakinkan.
Kirana yang berdiri di ambang pintu dapur merinding. Gila, aktingnya Mas Kelinci ini juara banget! Pake bilang cinta segala lagi, batinnya.
Bapak terdiam, menatap asap rokoknya yang membumbung. "Lalu kenapa buru-buru? Kirana baru lulus sekolah. Kenapa tidak tunangan dulu?"
Bastian menatap lurus ke mata Bapak. "Karena putri saya, Freya, sangat membutuhkan sosok ibu. Dan saya tidak ingin ada fitnah jika Kirana terus tinggal di rumah saya tanpa ikatan. Saya ingin menikahinya secara sah, agama dan negara."
Bapak terdiam cukup lama, suasana menjadi sangat sunyi hingga suara jangkrik di luar mulai terdengar. Tiba-tiba Bapak menoleh ke arah Kirana.
"Kirana, sini duduk," panggil Bapak.
Kirana mendekat dengan gemetar dan duduk di samping Bapaknya.
"Kamu benar mau sama laki-laki ini? Bapak tidak mau kamu terpaksa karena biaya pengobatan Luki. Kalau kamu tidak mau, biar Bapak jual sawah kita satu-satunya. Jangan korbankan dirimu, Nduk," ucap Bapak dengan suara yang mendadak parau.
Hati Kirana mencelos. Ia menatap Bapaknya yang sudah menua, lalu melirik Bastian yang sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan—seolah memberikan pilihan sepenuhnya di tangan Kirana.
Kirana menarik napas dalam-dalam, menggenggam tangan kasar Bapaknya. "Kirana mau, Pak. Mas Bastian... dia orang baik. Dia sudah banyak bantu Kirana di kota. Bapak jangan khawatir ya?"
Bapak menatap mata Kirana lama, mencari kebohongan di sana, namun Kirana berusaha sekuat tenaga menunjukkan wajah "bahagia". Akhirnya, Bapak mengangguk pelan.
"Ya sudah. Kalau itu maumu. Tapi satu syarat buat kamu, Nak Bastian," ucap Bapak sambil menunjuk Bastian.
Bastian menegakkan punggungnya. "Apa itu, Pak?"
"Besok pagi, ikut saya ke sawah. Pakai kaos oblong dan celana pendek. Kalau kamu bisa bertahan kena lumpur dan panas matahari sampai jam makan siang, baru saya percaya kamu laki-laki yang sungguh-sungguh mau jaga anak saya."
Kirana melotot. "Bapak! Masa Mas Bastian disuruh ke sawah sih?!"
Bastian justru tersenyum miring, senyum menantang yang biasa ia tunjukkan di ruang rapat. "Setuju. Jam berapa kita berangkat, Pak?"
Kirana menepuk jidatnya. Mampus! Besok bakal ada berita heboh: CEO tampan tewas dipatuk ayam atau pingsan kena lumpur sawah!
Malam itu, di kamar tamu rumah Kirana yang berdinding kayu, Bastian tampak sedang memandangi celana pendek milik Bapak yang diletakkan Kirana di atas kasur. Kirana yang baru saja masuk untuk mengantarkan obat nyamuk bakar tak tahan untuk tidak menggoda calon suaminya itu.
"Gimana, Tuan? Sudah siap bertransformasi jadi petani lokal besok pagi?" tanya Kirana sambil menahan tawanya sekuat tenaga. Ia menutup mulutnya dengan tangan, membayangkan pria yang biasanya wangi parfum mahal itu besok akan beraroma lumpur dan pupuk kandang.
Bastian menoleh, menatap celana pendek motif garis-garis itu dengan dahi berkerut. "Kamu pikir menyangkul itu sesulit menjalankan perusahaan?"
"Oh, jelas beda, Tuan! Di sawah nggak ada AC, nggak ada sekretaris yang bawain kopi. Yang ada cuma matahari di atas kepala sama lintah yang siap nempel di kaki Tuan yang mulus itu," celetuk Kirana sambil tertawa kecil. "Semoga Anda kuat ya, Tuan. Saya doakan Anda tidak pingsan di tengah sawah, kalau tidak, nanti Bapak malah mengira saya mau nikah sama laki-laki letoy."
Bastian berjalan mendekati Kirana, membuat tawa gadis itu mendadak terhenti. "Berhenti memanggil saya Tuan jika tidak ingin Bapakmu curiga. Dan soal sawah... jangan remehkan saya, Kirana. Lihat saja besok siapa yang akan tertawa."
Keesokan harinya, tepat saat azan subuh berkumandang, Bastian sudah bangun. Ia keluar dengan kaos oblong putih yang agak ketat di tubuh atletisnya dan celana pendek pemberian Bapak. Meski pakaiannya sederhana, aura "orang kaya" masih memancar kuat dari dirinya.
Bapak sudah menunggu di teras dengan cangkul di bahu. "Sudah siap, Nak Bastian?"
"Siap, Pak," jawab Bastian tegas.
Kirana yang baru bangun dengan rambut agak berantakan berdiri di ambang pintu, memegang gelas kopi. "Semangat ya, 'Mas' Bastian! Jangan lupa, kalau ada ulat bulu, jangan teriak kencang-kencang!"
Bastian hanya melirik tajam ke arah Kirana sebelum mengikuti langkah Bapak menuju hamparan sawah.
Dua jam kemudian, Kirana menyusul ke sawah membawa sarapan dan teh hangat. Matanya membelalak melihat pemandangan di depannya. Bastian—si CEO dingin yang otoriter itu—sedang berlumuran lumpur hingga ke lutut. Ia tampak sedang berusaha keras mengayunkan cangkul mengikuti irama Bapak, meski gerakannya terlihat sangat kaku dan napasnya mulai tersengal-sengal.
"Aelah, Tuan... itu nyangkul apa lagi senam pagi? Kaku bener!" teriak Kirana dari pematang sawah.
Bastian berhenti sejenak, menghapus peluh di dahinya dengan lengan atasnya, membuat wajah tampannya kini tercoreng lumpur hitam. Ia menatap Kirana dengan pandangan 'awas kau nanti', tapi di sisi lain, ia melihat Bapak tersenyum tipis melihat usaha keras calon menantunya.
"Ini lebih berat dari yang saya bayangkan," gumam Bastian rendah saat Kirana mendekat untuk memberikan minum.
"Makanya, jangan sombong jadi kelinci kota," bisik Kirana sambil memberikan handuk kecil. "Tapi... lumayanlah. Bapak kayaknya mulai suka sama kegigihan Mas. Tuh, liat, Bapak nggak lagi melotot kan?"
Bastian meminum tehnya sekali teguk, lalu kembali memegang cangkulnya. "Saya tidak akan menyerah hanya karena lumpur. Saya sudah bilang kan, saya akan mendapatkan apa yang saya inginkan. Termasuk restu Bapakmu."
Kirana tertegun. Di balik wajah kotor dan keringat itu, ia melihat sisi lain Bastian yang sangat keras kepala namun penuh tanggung jawab. Diam-diam, rasa kagum mulai terselip di hati Kirana, meski ia masih sangat hobi mengejeknya.
di bab sblm nya jg gitu aku masih diem..eeh ini ketemu lg..kesel sm majikan boleh² aja tp g mesti ngebatin dengan kata² kotor.