Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masalah keluarga
Pelukan hangat itu, tangisan pilu yang terdengar tidak membuat tubuh Naren bereaksi sedikitpun. Hatinya terus berdialog dengan logika sampai tidak menemukan akhir dari sebuah kesepakatan hingga tubuh Naren membeku tanpa ada keinginan membalas pelukan mantan istrinya bahkan sekedar untuk menenangkan.
"Melihatmu baik-baik saja dan tampak bahagia bersama orang lain membuat hatiku terluka Naren. Aku menyesal telah melepasmu," lirih Nadira masih dengan posisi yang sama.
Lain halnya dengan Naren yang kini mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.
"Aku cemburu melihat kamu dengan orang lain Mas."
"Aku bukan milikmu lagi dan kamu nggak punya hak untuk cemburu."
"Mas Naren?" Nadira mendongak, menatap wajah tampan Naren.
Naren pun melakukan hal yang sama, tapi kali ini tidak ada lagi cinta dimatanya seperti dulu. "Aku menunggumu bukan karena mau bertemu. Tapi aku nggak mau egois sebagai seorang ayah," ucapnya Pelan.
Ia mendorong tubuh Nadira agar sedikit berjarak darinya. "Anak-anak ada di mobil dan sedang menunggumu. Meski berpisah, setidaknya temui mereka paling nggak 1 kali dalam sebulan."
"Apa memang sudah nggak ada cinta untukku lagi Mas? Semuanya nggak bisa diperbaiki demi anak-anak kita?"
Langkah Naren yang hendak menuju mobil berhenti. Ia menarik napas panjang sebelum bicara. "Jawabanku tetap sama Nadira."
Merasa Nadira mengikutinya dari belakang, Naren pun mengurungkan niatnya untuk masuk ke mobil. Dia membiarkan mantan istrinya melepas rindu dengan anak-anak yang masih membutuhkan kasih sayang ibunya. Hanya saja dia dan Nadira gagal mewujudkan keluarga harmonis pada mereka.
Naren mendongak, menatap langit malam yang tampak gelap. Bahkan satu bintang pun enggang menemani. Matanya memerah, dia selalu saja tidak bisa menahan sesak jika memikirkan anak-anaknya yang masih kecil.
Pria itu merogoh saku celanya mendengar ponselnya berdering.
"Aku sudah sampai rumah, siapa tahu kamu khawatir," ujar Shanaya di seberang telepon.
"Syukurlah."
"Kamu sudah bertemu Nadira?"
"Kamu tahu aku menunggu Nadira?"
"Ayolah Ren. Apa lagi coba alasannya kamu tinggal di sana kalau bukan untuk menemui Nadira."
"Kamu benar aku menunggunya."
"Move on nggak harus musuhan kok. Fokus saja dulu sama diri sendiri sampai lukamu mengering, setelahnya fokus pada kebahagian anak-anakmu. Bagaimana pun mereka butuh sosok ibu dalam pertumbuhannya."
"Iya."
"Sampai jumpa besok."
Kening Naren mengerut mendengar ucapan terakhir Shanaya sebelum panggilan terputus.
Apa maksud dari sampai jumpa besok? Padahal ia sepertinya tidak punya urusan dengan Shanaya.
....
Larut malam, barulah Naren tiba di rumah dan anak-anaknya sudah tidur. Ia pun sedikit mendapatkan omelan dari sang ibu sebab membawa anak-anak terlalu lama di malam hari.
"Awas saja kalau sampai cucu ibu sakit," ancam ibunya.
"Maaf Buk," lirih Naren sembari menidurkan anak-anaknya secera perlahan. "Ayah belum pulang?" tanyanya menyadari rumah tampak sepi.
Ya meski seharusnya memang sepi karena sudah jam 12 malam. Tetapi Naren tidak menemukan mobil ayahnya di garasi.
"Ayah kena tipu Nak," lirih ibu Naren.
Jelas Naren terkejut bukan main. "Di tipu? Kok bisa Bu?"
"Ayah beli tanah satu bulan lalu buat nambah kost-kost an tapi ditipu. Mana ayah minjam uangnya ke rentenir. Uang perbaikan Kost juga ikut hangus."
"Kok nggak cerita sama Naren Bu?"
"Kamu juga lagi ada masalah Nak. Kata ayah dia bisa menyelesaikan semuanya."
"Terus ayah sekarang di mana?"
"Lagi mencari orang yang menipunya."
"Astagfirullah Buk, harusnya ibu sama ayah beritahu Naren biar Naren bantu cari."
Naren langsung memeluk ibunya yang berusaha tetap tenang padahal matanya mengandung kegelisahan.
"Ibuk nggak peduli uangnya Nak, ibuk cuma khawatir sama ayah."
"Naren masih punya tabungan untuk ...."
"Jangan Nak, kalau tabungan kamu dipakai terus biaya sekolah anak-anakmu bagaimana?"
"Naren akan pikirkan."
.
.
.
.
.
.
Hari ini upnya dikit dulu ya🥰
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren