 
                            ''Di balik malam yang sunyi, sesuatu yang lama tertidur mulai bergerak. Bisikan tak dikenal menembus dinding-dinding sepi,meninggalkan rasa dingin yang merayap.ada yang menatap di balik matanya, sebuah suara yang bukan sepenuhnya miliknya. Cahaya pun tampak retak,dan bayangan-bayangan menari di sudut yang tak terlihat.Dunia terasa salah, namun siapa yang mengintai dari kegelapan itu,hanya waktu yang mengungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ellalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MATA YANG MENGINTAI DARI KEGELAPAN
"Langkah mereka bergema pelan di jalan yang sepi, diterangi hanya oleh cahaya bulan yang terhalang awan.
Angin malam berhembus lembab, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Haeun berjalan di belakang Jae Hyun, menggenggam erat kertas kusut berisi alamat yang ditinggalkan eomma-nya.
“Kenapa kau ke sini?” suara Jae Hyun pecah di antara sunyi, datar namun dalam, seolah berasal dari tempat yang lebih jauh daripada sekadar di depannya.
“Aku… mencari rumah ini,” bisik Haeun, menyerahkan kertas itu. “Eomma menulis alamatnya. Katanya aku harus ke sana malam ini.”
Jae Hyun menatap kertas itu lama. Cahaya bulan menimpa sebagian wajahnya , membuat matanya tampak kosong, tapi penuh tanda tanya.
Ia tidak segera bicara.
Sampai akhirnya ia mengembuskan napas pelan, suaranya berubah jadi lebih rendah.
“Tempat ini... bukan tempat yang seharusnya kau datangi.”
Haeun menatapnya, bingung. “Kenapa?”
“Rumah itu milik seseorang yang dulu menukar nyawanya demi memanggil sesuatu.”
Ia berhenti sejenak, matanya menatap jauh ke arah gelap di ujung jalan.
“Dan sejak malam itu… tak ada yang keluar dari sana dengan jiwa yang sama.”
Haeun menelan ludah, merasakan udara tiba-tiba jadi lebih berat.
Ia berusaha tersenyum kaku. “Mungkin eomma hanya mengenal orangnya. Mungkin itu cuma kebetulan.”
Jae Hyun menoleh perlahan, menatapnya dengan pandangan yang tak bisa dibaca.
“Tidak ada kebetulan di tempat seperti ini, Haeun.”
Suara langkahnya kemudian kembali terdengar, semakin menjauh, namun kalimatnya masih menggantung di udara seperti kutukan.
“Jika kau benar-benar ke rumah itu… pastikan kau masih kau yang sama, saat keluar nanti
.” Langkah Haeun tertatih di jalanan sempit, Jae Hyun berjalan di depannya, tatapannya tajam menatap kegelapan di sekitar. Angin malam mengiris jaketnya, tapi gadis itu tak berani menoleh terlalu jauh, takut tersesat lebih dalam.
Sementara itu, jauh di rumah tua yang dikelilingi pepohonan mati, eomma Haeun berdiri di tengah ruang ritual yang remang, lilin hitam menari pelan di atas lantai yang penuh simbol kuno. Aroma dupa dan sesuatu yang lebih tajam memenuhi udara.
Di hadapannya, seorang wanita tua berdiri tegak, matanya seolah menembus jiwa.
> “Dia akan datang sendiri, bukan?” suara si wanita tua serak namun tenang.
Eomma Haeun mengangguk, jari-jarinya bermain di atas mantra yang tertulis di lantai.
> “Ya… Haeun akan sampai di sini. Aku hanya ingin dia berubah… menjadi gadis yang tak lagi takut.”
Wanita tua itu tersenyum tipis, tapi tawa itu bukan tawa manusia.
> “Hati-hati… apa yang kau panggil bisa menolak tubuhnya. Dan jika menolak… siapa yang akan kau lihat dari Haeun?”
Lilin-lilin bergetar, bayangan di dinding mulai menekuk, membentuk wajah yang asing, setengah manusia, setengah… sesuatu yang lain. Eomma Haeun menarik napas panjang, suaranya berbisik pelan, hampir tak terdengar:
> “Bertahanlah… sedikit lagi, Haeun-ah. Eomma hanya ingin kau tersenyum.”
Sementara itu, Jae Hyun menoleh sekilas ke arah Haeun, tanpa sepatah kata pun terucap. Tapi matanya, yang menembus gelap, seperti menangkap sesuatu — getaran aneh yang berasal dari arah rumah tua itu, sesuatu yang tak seharusnya disentuh manusia.
Langkah mereka berdua terhenti sebentar di ujung jalan. Haeun menatap Jae Hyun, ragu, namun ada aura dingin yang membuatnya tetap diam. Jae Hyun menunduk sedikit, bibirnya bergerak pelan:
> “Dia belum tahu apa yang menunggu.”
Di rumah tua, lilin ketiga berkedip lebih cepat, aroma darah terasa lebih pekat. Bayangan di dinding bergerak sendiri, memutar perlahan, seolah menunggu kedatangan Haeun. Suara mantra eomma berbaur dengan tawa wanita tua, membentuk simfoni gelap yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang berada di dalam lingkaran itu.
Dan di jalan sepi itu, Haeun melangkah pelan, tak tahu bahwa malam ini, dua dunia gelap saling bersinggungan — satu di hadapannya, satu lagi di belakang tirai waktu yang hanya bisa dirasakan oleh Jae Hyun.
"Haeun berjalan di belakang Jae Hyun, langkahnya ragu-ragu di jalan setapak yang diterangi cahaya remang dari lampu jalan yang jauh. Rumah tua itu semakin dekat; atapnya gelap, jendela-jendelanya tertutup, seperti menelan cahaya bulan.
Haeun menatap rumah itu dengan campuran penasaran dan takut. Tangannya ingin mendorong pintu pekarangan, tapi tiba-tiba Jae Hyun menghentikannya. Satu tangan kuat menahan pergelangan Haeun, tubuhnya berdiri di antara Haeun dan rumah tua itu.
“Haeun… jangan,” kata Jae Hyun, suaranya rendah, datar, tapi setiap kata terasa seperti duri yang menempel di udara.
Haeun menoleh, matanya membesar. “Kenapa? Aku harus masuk… eomma menyuruhku,” gumamnya, suaranya hampir tenggelam di antara desir angin malam.
Jae Hyun menunduk, matanya menatap pekarangan rumah tua itu, tapi seolah menembus sesuatu yang tak kasat mata.
“Ini… bukan tempat yang seharusnya kau sentuh. Bukan untukmu,” ucapnya pelan, tapi setiap kata bergema di pikiran Haeun seperti mantra yang tak bisa dihindari.
Haeun menggenggam kertas alamat yang kusut, hatinya berdebar. “Tapi… aku harus ke sana,” bisiknya, hampir tak terdengar.
Jae Hyun mencondongkan tubuh sedikit, menatap wajahnya. Bibirnya bergerak pelan, seakan berbisik untuk dirinya sendiri, tapi Haeun tetap mendengarnya:
“Segala yang menunggu di dalam… tidak akan membiarkanmu pergi sama seperti kau masuk.”
Haeun menelan ludah, merasa hawa di sekitarnya semakin berat. Angin malam berdesir membawa aroma tanah basah, lilin yang terbakar di dalam rumah seolah menembus dinding, dan sesuatu di udara membuatnya merinding.
Jae Hyun menggeser posisi, menutup jalannya lebih tegas. “Jika kau tetap masuk… aku tidak bisa menjagamu dari dalam. Yang bisa kulakukan hanyalah melihat dari sini, dan berharap kau tetap utuh ketika keluar nanti.”
Haeun terdiam, hatinya berdebar, pandangannya tertuju pada rumah tua itu yang tampak seperti menunggu kedatangan seseorang.
Jae Hyun menatapnya lagi, kali ini pandangannya lebih dalam, lebih berat, seperti membaca seluruh jiwa Haeun tanpa kata-kata.
“Jangan pernah menganggap tempat ini hanya sebuah rumah. Itu… adalah gerbang. Dan setiap gerbang punya penjaga yang tak bisa kau lawan.”
Haeun menggigit bibirnya, ragu antara melangkah atau mundur. Tapi tatapan Jae Hyun yang dingin dan misterius menahan setiap niatnya.
Dan di pekarangan yang sunyi itu, Haeun merasakan getaran aneh,sesuatu yang menunggu di dalam rumah tua itu, sesuatu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang memiliki rasa takut dan rasa ingin tahu sekaligus.
Haeun menatap rumah tua itu, hatinya berdegup kencang. Suara angin malam seakan membawa bisikan-bisikan samar dari dalam rumah itu sendiri. Ia menarik napas panjang, menatap Jae Hyun.
“Kenapa… kenapa aku tidak bisa masuk ke sana?” suaranya gemetar, tapi penasaran menahan. “Ini… eomma yang menyuruhku. Apa yang menungguku di sana?”
Jae Hyun menunduk, menatap pekarangan itu sekilas, bibirnya bergerak pelan. Satu kata keluar, singkat tapi menusuk:
“Bahaya.”
Haeun menelan ludah, matanya melebar. “Bahaya? Tapi… eomma bilang aku harus ke sana…”
Jae Hyun tetap diam beberapa saat, pandangannya menatap jauh ke arah rumah tua itu, seperti menelusuri sesuatu yang Haeun tak bisa lihat. Akhirnya, ia hanya berkata dengan suara datar, tapi berat:
“Beberapa pintu… bukan untuk dibuka.”
Haeun membeku. Ada hawa dingin yang menyelimuti dirinya, bulu kuduknya meremang. Kata-kata Jae Hyun pendek, tapi setiap suku katanya terasa seperti peringatan gaib.
Dia menoleh ke Haeun, matanya tetap dingin, wajahnya tak menunjukkan emosi apapun, namun aura protektifnya tetap terasa.
“Sekarang ikut aku. Jangan bertanya lagi.”
Haeun ragu sejenak. “Tapi aku—”
“Sekarang ikut,” potong Jae Hyun, suaranya lebih dalam, menekan seperti gema yang bergema di sekeliling pekarangan. “Jika kau tetap di sini… kau tidak akan tahu apa yang akan menunggu.”
Haeun menggigit bibirnya, hatinya campur aduk antara takut dan penasaran. Namun akhirnya, ia menarik napas, menyerah pada ketegangan yang menyesakkan itu. Dengan langkah pelan tapi pasti, ia mengikuti Jae Hyun menjauh dari pekarangan rumah tua itu.
Angin malam berdesir di antara pepohonan mati, bayangan mereka membentang panjang di tanah basah, seolah dua sosok itu menembus batas antara dunia biasa dan dunia yang dipenuhi rahasia gelap.
Haeun tetap diam sepanjang jalan, matanya sesekali menoleh ke arah rumah tua itu. Jae Hyun berjalan di depannya, pandangannya tetap waspada, tubuhnya tegang, seperti seorang penjaga yang menahan kegelapan agar tidak menyentuh gadis di belakangnya.
Dan malam itu, dalam diamnya, Haeun merasakan satu hal: ada rahasia besar yang menunggu, sesuatu yang lebih gelap dari apa pun yang pernah ia bayangkan, dan Jae Hyun… satu-satunya yang bisa menahan itu.
“Malam ini bernafas perlahan di antara bayangan, membawa bisikan yang tak bisa dimengerti. Sesuatu yang diam menunggu, mengintai setiap langkah yang ragu, menempel di jiwa sebelum kau sadar. Kegelapan bukan sekadar ketiadaan cahaya… tapi rahasia yang hidup di antara detik yang terhenti, menunggu untuk mengubahmu selamanya.”
 
                     
                    