NovelToon NovelToon
Pendekar Naga Bintang

Pendekar Naga Bintang

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Misteri / Action / Fantasi / Budidaya dan Peningkatan / Anak Genius
Popularitas:45.2k
Nilai: 5
Nama Author: Boqin Changing

Di barat laut Kekaisaran Zhou berdiri Sekte Bukit Bintang, sekte besar aliran putih yang dikenal karena langit malamnya yang berhiaskan ribuan bintang. Di antara ribuan muridnya, ada seorang anak yatim bernama Gao Rui, murid mendiang Tetua Ciang Mu. Meski lemah dan sering dihina, hatinya jernih dan penuh kebaikan.

Namun kebaikan itu justru menjadi awal penderitaannya. Dikhianati oleh teman sendiri dan dijebak oleh kakak seperguruannya, Gao Rui hampir kehilangan nyawa setelah dilempar ke sungai. Di ambang kematian, ia diselamatkan oleh seorang pendekar misterius yang mengubah arah hidupnya.

Sejak hari itu, perjalanan Gao Rui menuju jalan sejati seorang pendekar pun dimulai. Jalan yang akan menuntunnya menembus batas antara langit dan bintang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan Dengan Pendekar Misterius

Di barat laut Kekaisaran Zhou, berdiri sebuah sekte besar di atas bukit tinggi. Saat malam tiba, langit di atas bukit itu seolah membuka tirai dunia lain. Tampak ribuan bintang berkelap-kelip, memantulkan cahaya ke atap-atap rumah dan danau kecil di tengah sekte. Oleh karena pemandangan itulah, tempat itu dikenal dengan nama Sekte Bukit Bintang. Sebuah sekte aliran putih yang diakui sebagai yang terkuat kedua di seluruh Kekaisaran Zhou dan hanya kalah dari Sekte Pedang Langit.

Di antara puluhan ribu murid muda yang berlatih di bawah bendera Sekte Bukit Bintang, terdapat seorang anak berusia tiga belas tahun bernama Gao Rui. Tubuhnya kurus, namun matanya memancarkan semangat yang jernih dan penuh tekad. Ia dikenal sebagai murid yang rajin dan berbakat, meski bukan yang paling menonjol.

Namun, yang membuat namanya cukup dikenal bahkan oleh beberapa tetua adalah hatinya yang baik. Ia tak segan menolong siapa pun, entah itu murid pemula yang terjatuh di arena latihan, atau penjaga tua yang kewalahan mengangkat gentong air.

Sayangnya, langit tak selalu cerah bagi mereka yang berhati bersih. Dua tahun lalu, ketika Gao Rui baru berusia sebelas tahun, gurunya, Tetua Ciang Mu, gugur dalam misi sekte untuk menumpas kelompok bandit di Pegunungan Lou. Berita itu membuat dunia kecil Gao Rui runtuh seketika. Sejak itu, ia tidak memiliki pembimbing tetap dan di sekte besar seperti Sekte Bukit Bintang, murid tanpa guru ibarat daun tanpa ranting. Mudah terbawa angin dan sulit tumbuh tinggi.

Dulunya sebelum bertemu gurunya, Ciang Mu, Gao Rui hanyalah seorang anak kecil yang berjuang untuk bertahan hidup di sebuah kota kecil bernama Xiuhe, di tepi utara Kekaisaran Zhou. Ia hidup sebatang kara karena kedua orang tuanya sudah meninggal.

Hari itu, matahari baru saja naik. Jalanan pasar mulai ramai oleh pedagang sayur, penjual kain, dan tukang obat yang berteriak memamerkan dagangannya. Di antara hiruk pikuk itu, seorang anak kecil berusia sekitar delapan tahun tampak berlari kecil membawa nampan kayu di tangan. Di atasnya, tersusun rapi kue-kue kecil berlapis gula, madu, dan wijen yang masih mengepulkan uap hangat.

“Kue madu! Kue madu hangat! Manisnya pas, enak untuk dicoba!”

Suara nyaring anak itu menarik perhatian banyak orang. Ia tersenyum lebar kepada setiap pembeli, matanya berbinar penuh semangat, meskipun pakaian yang ia kenakan sudah kusam dan tambal sulam. Ia berlari dari satu sisi jalan ke sisi lain, dengan semangat yang tak pernah padam seolah lelah dan lapar tak pernah ada dalam hidupnya. Anak itu adalah Gao Rui.

Tak jauh dari sana, seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan berjalan perlahan melewati kerumunan. Rambutnya hitam berkilau diikat tinggi dengan pita perak. Ia mengenakan jubah abu-abu panjang yang sederhana, namun setiap langkahnya memancarkan ketenangan dan wibawa yang sulit dijelaskan. Matanya tajam namun penuh kelembutan, seolah bisa menembus ke dalam hati seseorang hanya dengan sekali pandang.

Pria itu adalah Ciang Mu, salah satu dari Tetua Sekte Bukit Bintang. Ia sedang dalam perjalanan pulang dari misi panjang di wilayah barat dan berhenti di kota Xiuhe hanya untuk beristirahat dan membeli sedikit bekal. Namun pandangannya tertarik pada sosok anak kecil yang begitu bersemangat menjajakan kue.

Ada sesuatu yang memancarkan cahaya dari diri bocah itu, bukan kekuatan, bukan juga keberanian, melainkan ketulusan yang murni.

Saat Ciang Mu hendak beranjak, matanya menangkap pemandangan yang membuat langkahnya terhenti. Seorang wanita melintas dengan bayi di gendongannya. Wajahnya pucat, langkahnya gontai, dan bajunya penuh tambalan. Ia berhenti di depan Gao Rui, menatap kue-kue madu di nampan itu dengan tatapan ragu.

“Bibi, ingin beli kue? Masih hangat,” tanya Gao Rui dengan suara ceria.

Wanita itu tersenyum lemah.

“Ah… tidak, Nak. Aku hanya lewat. Aku tidak punya uang.”

Gao Rui menatapnya sejenak. Lalu tanpa berpikir panjang, ia mengambil dua potong kue dan menaruhnya di tangan wanita itu.

“Ambil saja Bi. Tidak usah bayar.”

Wanita itu terkejut, menatap anak kecil itu dengan mata bergetar.

“Tapi… bagaimana dengan kau, Nak? Bukankah ini daganganmu?”

Gao Rui tersenyum kecil.

“Tenang saja Bi. Daganganku masih banyak.”

Ia bahkan mengambil sekeping uang dari kantong kecil di pinggangnya dan menyelipkannya di tangan wanita itu tanpa berkata apa pun. Wanita itu terdiam, menatap anak kecil itu lama, lalu menunduk dan menitikkan air mata.

Dari kejauhan, Tetua Ciang Mu yang menyaksikan semuanya tak dapat menahan senyum kecilnya.

“Anak ini… meski tubuhnya lemah, hatinya jauh lebih kuat daripada banyak murid yang kulatih.”

Saat tempat itu mulai sepi, Tetua Ciang Mu menghampiri Gao Rui yang sedang merapikan dagangannya.

“Nak,” katanya pelan, “Kau menjual kue sendiri setiap hari?”

Gao Rui menatapnya, lalu mengangguk.

“Ya, Tuan. Aku menjual kue buatan Bibi Lung. Ia baik padaku, tapi aku tak ingin menyusahkannya. Jadi aku membantunya menjual kue buatannya.”

“Orang tuamu di mana?” tanya Ciang Mu dengan penasaran.

Gao Rui menunduk.

“Ayah dan Ibu sudah tiada sejak kekacauan dua tahun lalu, Tuan. Aku tidak tahu harus ke mana, jadi aku tinggal di sini saja.”

Suara bocah itu datar, tanpa keluhan sedikit pun. Ciang Mu menghela napas panjang. Dalam hati, ia tahu, anak seperti ini tidak bisa dibiarkan layu di tempat seperti ini. Dunia terlalu keras bagi anak berhati lembut seperti Gao Rui.

Ia menatap anak itu dalam-dalam, lalu tersenyum lembut.

“Kau tahu, Nak, aku berasal dari Sekte Bukit Bintang. Kami melatih orang-orang untuk menjadi pendekar, bukan hanya agar kuat, tapi agar bisa melindungi orang lain.”

Mata Gao Rui perlahan melebar.

“Pendekar? Yang bisa melindungi rakyat dari para bandit itu, Tuan?”

Ciang Mu tertawa pelan.

“Kurang lebih begitu.”

Ia lalu sedikit berlutut dan menatap anak kecil itu sejajar.

“Bagaimana kalau kau ikut denganku? Aku akan mengajarimu cara bertarung dan cara melindungi. Tapi hanya jika kau mau.”

Gao Rui mematung, lalu menatap kedua tangannya.

“Tapi… aku hanya penjual kue. Apa orang seperti aku bisa jadi pendekar?”

Ciang Mu menepuk pundaknya dengan lembut.

“Justru karena kau penjual kue yang mau berbagi kepada orang lapar, aku yakin kau bisa menjadi pendekar sejati di masa depan. Siapa namamu nak?”

Mata Gao Rui perlahan berair. Ia menatap pria itu lama, lalu mengangguk dengan mantap.

“Namaku Gao Rui....”

“Baiklah Rui’er. Mulai sekarang kau akan menjadi muridku.”

“Murid memberi hormat pada guru,” Gao Rui yang tampak berkaca-kaca langsung bersujud tiga kali kepada gurunya.

Sore itu, di bawah cahaya jingga matahari yang mulai tenggelam, Tetua Ciang Mu menggenggam tangan kecil Gao Rui dan membawanya meninggalkan kota Xiuhe. Sejak hari itu, nasib bocah penjual kue madu itu berubah selamanya. Ia tinggal di Sekte Bukit Bintang dan menjadi murid dari Tetua Ciang Mu.

...*******...

Selepas kematian Tetua Ciang Mu, beberapa tetua pernah membicarakan untuk mengambil Gao Rui sebagai murid mereka. Namun, rencana itu selalu kandas.

Para murid dalam mereka menolak mentah-mentah, dengan alasan bahwa “tidak pantas” seorang murid tanpa garis keturunan besar diberi keistimewaan semacam itu. Ada pula yang berbisik bahwa mereka tak ingin muncul seorang pesaing baru yang mungkin suatu hari mengungguli mereka.

Di permukaan, kehidupan Gao Rui berjalan seperti biasa, ia masih rajin berlatih di halaman belakang, masih tersenyum setiap kali menyapa kakak seperguruan. Tapi di balik itu, ada pandangan dingin, tawa kecil di belakang punggungnya, dan bisikan yang menyebutnya anak yatim sekte.

Meski begitu, Gao Rui tidak pernah membalas kebencian dengan kebencian. Setiap hinaan ia hadapi dengan kesabaran. Setiap kesulitan ia jawab dengan kerja keras. Ia percaya bahwa jika hatinya tetap jernih seperti langit malam di atas Sekte Bukit Bintang, maka suatu hari bintangnya sendiri akan bersinar di antara ribuan cahaya lainnya.

Suatu pagi yang cerah di Sekte Bukit Bintang, udara terasa segar dengan embusan angin yang membawa aroma embun dari lembah timur. Gao Rui baru saja selesai membersihkan halaman latihan kecil di belakang kediamannya. Ia sedang menata kembali kayu bakar ketika terdengar langkah seseorang mendekat.

“Saudara Rui!” suara itu terdengar akrab dan ramah. Seorang pemuda berwajah cerah dengan jubah biru muda melambai ke arahnya. Namanya Lin Tao, teman seperguruannya semasa mereka masih dilatih langsung oleh Guru Ciang Mu.

“Saudara Tao. Sudah lama kita tidak berjumpa,” sambut Gao Rui sambil tersenyum.

Lin Tao tertawa kecil.

“Hahaha, aku merindukanmu Saudara Rui. Hei, dengar, aku baru saja menemukan tempat bagus di lembah dekat sungai selatan. Airnya jernih, udara segar, dan permukaannya datar, sangat cocok untuk berlatih. Kau mau ikut?”

Gao Rui menatapnya sejenak, sedikit ragu.

“Lembah dekat sungai? Itu bukannya agak jauh dari sini?”

“Tidak sejauh itu,” jawab Lin Tao cepat. “Bahkan beberapa murid dalam juga biasa berlatih di sana. Ayolah, kita jarang punya waktu santai bersama. Lagipula, aku ingin berdiskusi tentang jurus pedang yang dulu diajarkan guru kita.”

Mendengar nama gurunya disebut, Gao Rui tak bisa menolak.

“Baiklah,” katanya dengan lembut. “Aku ikut.”

Mereka pun berjalan menuruni jalan berbatu menuju arah selatan. Jalan itu melewati hutan pinus yang rindang. Cahaya matahari menembus di sela-sela daun, menimbulkan bayangan panjang di tanah. Gao Rui tampak tenang, bahkan sesekali bercanda ringan dengan Lin Tao.

Namun, begitu mereka sampai di lembah yang dimaksud, suasana mendadak berubah.

Di tepi sungai, sudah berdiri belasan murid Sekte Bukit Bintang dengan pakaian latihan lengkap. Wajah mereka tampak tegang, sebagian menunjukkan senyum sinis. Lin Tao melangkah ke depan dan berhenti di sisi mereka. Gao Rui berhenti di tengah, menatap satu per satu wajah mereka dengan bingung.

“Apa maksud semua ini?” tanyanya perlahan.

Dari barisan depan, melangkah keluar seorang pemuda bertubuh tinggi dengan tatapan tajam. Matanya merah karena amarah yang tertahan.

“Sudah lama aku ingin berbicara denganmu, Gao Rui,” katanya dengan suara dingin.

Gao Rui menatapnya dalam-dalam.

“Senior Yai Feng.”

Yai Feng, kakak seperguruannya. Murid dalam dari Tetua Liang, salah satu tetua tertua di Sekte Bukit Bintang. Ia dikenal keras, sombong, dan memiliki reputasi tinggi di kalangan murid.

“Untuk apa semua ini?” tanya Gao Rui hati-hati.

Yai Feng mendengus.

“Kau pura-pura tidak tahu?”

Ia maju selangkah.

“Yi Ling… adik seperguruanku… menolak cintaku beberapa hari yang lalu. Dan kau tahu apa yang dia katakan sebelum pergi?”

Gao Rui terdiam, perlahan mulai mengerti ke mana arah pembicaraan itu.

“Dia bilang,” lanjut Yai Feng dengan nada menahan amarah, “Bahwa hatinya condong pada seseorang yang lebih lembut… Seseorang yang berhati baik dan tidak haus pujian,” Yai Feng menyeringai getir. “Kau tahu kan siapa yang ia maksud, Gao Rui?”

Semua murid di sekitar mulai berbisik pelan. Beberapa menatap Gao Rui dengan tatapan iba, namun sebagian besar memandang dengan senyum puas.

“Aku tidak tahu soal itu,” kata Gao Rui akhirnya. “Aku tidak pernah berniat.....”

“Diam!” bentak Yai Feng keras. “Kau pikir aku akan percaya ucapan murid yatim sekte ini sepertimu? Semua tahu kau selalu bersembunyi di balik wajah polosmu itu. Yi Ling hanya terperdaya oleh sikap pura-pura rendah hatimu!”

“Senior Feng!” seru Lin Tao mencoba menenangkan. “Jangan begini, ini.....”

“Diam, Lin Tao!” bentaknya. “Kau hanya diminta menjemputnya, bukan mencampuri urusanku.”

Lin Tao menunduk, wajahnya tampak menyesal. Ia tidak berani menatap Gao Rui.

Gao Rui menggenggam kedua tangannya erat. Ia menatap Yai Feng, tidak dengan amarah, tapi dengan ketenangan yang membuat lawannya semakin marah.

“Jika kau ingin menebus rasa sakitmu padaku, lakukanlah,” katanya perlahan. “Tapi jangan libatkan yang lain.”

“Bagus,” sahut Yai Feng. “Kau akhirnya mengerti tempatmu.”

Ia lalu mengambil kuda kuda pertarungan.

“Hari ini aku akan mengajarimu pelajaran, murid tanpa guru sepertimu tidak layak mendapat simpati siapa pun.”

Angin di lembah mulai berhembus kencang. Daun-daun pinus berputar di udara, dan sinar matahari yang tadinya hangat kini terasa tajam menembus kulit.

Gao Rui berdiri di tengah lingkaran para murid, sendirian. Di depan, Yai Feng sudah siap bertarung.

Namun sebelum jurus pertama diluncurkan, Gao Rui perlahan menutup matanya, mengingat sosok gurunya, Tetua Ciang Mu  dan suara lembutnya yang dulu pernah berkata padanya.

“Jika suatu hari dunia tidak lagi berpihak padamu, Rui’er, jangan biarkan hatimu ikut gelap.”

Gao Rui membuka matanya kembali. Tatapan jernihnya kini berubah tegas.

“Kalau begitu,” katanya dengan nada datar tapi tajam, “Aku akan membela kehormatan guru dan diriku sendiri.”

Udara di lembah itu pun bergetar. Yai Feng melangkah maju. Yai Feng menjejak tanah dengan keras, menciptakan hembusan debu yang berputar di sekitarnya. Tubuhnya condong ke depan, tangan kanannya menggenggam, dan dalam sekejap ia melesat seperti anak panah.

“Kuda Langit Menyambar!” teriaknya, menerjang Gao Rui dengan pukulan telapak yang meluncur deras seperti badai.

Namun Gao Rui tidak bergerak mundur. Ia menatap datangnya serangan itu dengan mata tenang. Saat jarak hanya tinggal sejengkal, tubuhnya berputar sedikit ke samping, dan dengan cepat ia menangkis pukulan itu menggunakan lengannya. Suara benturan terdengar keras membuat tanah di bawah kaki mereka bergetar.

Yai Feng terkejut. Ia mundur setengah langkah.

“Bagaimana mungkin…?” gumamnya pelan. Ia tahu betul bahwa kekuatannya berada di atas Gao Rui. Secara teori, satu pukulan saja cukup untuk membuat bocah itu tersungkur. Tapi tidak kali ini.

Para murid yang menonton ikut berbisik kaget.

“Dia menahan serangan Senior Feng…”

“Mustahil!”

Gao Rui menarik napas dalam. Tangannya sedikit gemetar, tapi sorot matanya sama sekali tak goyah. Ia tahu, ia bukan tandingan Yai Feng dalam hal kekuatan. Namun tubuhnya sudah ditempa dengan disiplin keras sejak kecil, berkat metode latihan gurunya yang menekankan keseimbangan dan kendali napas.

Yai Feng menyeringai marah.

“Hmmm, hanya kebetulan. Coba tahan ini!”

Ia melompat tinggi, memutar tubuh di udara, lalu menghantam dengan siku dari atas. Serangan itu berat dan cepat, membuat udara di sekitar terasa menekan.

Gao Rui menunduk, tubuhnya bergeser ke samping dengan gerakan ringan seperti bayangan tertiup angin. Begitu siku Yai Feng menghantam tanah, serpihan debu beterbangan.

Pada saat itulah Gao Rui membalas. Dengan posisi rendah, ia melesat maju, kaki kirinya menghantam tanah, sementara tangan kanannya mengayun ke arah rusuk lawan. Gerakannya sederhana, tidak menggunakan teknik tinggi apa pun, hanya serangan dasar yang dipoles dengan ketepatan luar biasa.

"Dug!"

Tubuh Yai Feng terguncang ke belakang. Matanya membelalak tak percaya. Pukulan itu benar-benar masuk. Meski tak terlalu kuat, cukup untuk membuat napasnya sesak sesaat.

Kejutan itu membuat suasana di lembah membeku. Semua murid menatap tanpa suara, bahkan Lin Tao yang sejak tadi menunduk kini mengangkat wajahnya dengan terkejut.

Gao Rui perlahan menarik kembali tangannya, tubuhnya tetap rendah, matanya tidak lepas dari lawannya. Napasnya teratur, tenang, dan wajahnya tetap tanpa ekspresi.

“Yai Feng,” ucapnya pelan, “Aku tidak ingin bertarung denganmu. Tapi jika kau terus memaksa…”

Ia mengepalkan tinjunya. “Aku tak akan tinggal diam.”

Wajah Yai Feng memerah karena amarah dan malu.

“Kauu!!!!!” teriaknya.

Yai Feng meraung penuh amarah. Wajahnya merah padam, urat-urat di lehernya menegang. Ia menatap Gao Rui seperti binatang buas yang baru saja terluka oleh mangsanya sendiri.

“Berani memukulku, hah?! Kalian semua, hajar dia! Aku ingin anak ini tahu siapa yang berkuasa di Sekte Bukit Bintang!”

Belasan murid yang sejak tadi hanya menonton dengan ragu-ragu kini saling berpandangan. Beberapa terlihat bimbang, tapi tatapan garang Yai Feng membuat mereka kehilangan keberanian untuk menolak.

“Cepat! Atau kalian ingin jadi seperti dia?” bentak Yai Feng sekali lagi.

Seketika, dua murid paling dekat melompat menyerang dari kiri dan kanan. Gao Rui hanya sempat mengangkat kedua lengannya untuk menangkis. Tubuhnya terpental ke belakang, berguling di tanah berdebu. Belum sempat ia bangkit, tiga orang lagi sudah maju, satu menendang perutnya, dua lainnya menghantam bahunya dengan keras.

“Ugh!” Gao Rui terbatuk darah, tubuhnya membentur batu di pinggir sungai. Pandangannya berkunang, namun dalam kesamaran itu ia melihat wajah-wajah yang dulu sering tersenyum padanya di halaman latihan. Kini semua tampak asing, dingin, kejam, dan takut.

“Kalian,” suaranya parau, hampir tak terdengar.

Namun mereka tak berhenti. Satu tendangan lagi menghantam rusuknya, diikuti pukulan ke wajahnya. Suara retak terdengar, entah tulangnya atau batu yang mereka tendang.

Yai Feng berdiri di depan, tangan terlipat di dada, menatap dengan tatapan puas.

“Hentikan.”

Semua murid mundur. Tubuh Gao Rui kini tergeletak di tanah basah, penuh luka dan darah. Nafasnya tersengal, namun matanya tetap terbuka, menatap ke langit.

Yai Feng berjalan mendekat perlahan. Ia berjongkok di sisi tubuh Gao Rui, lalu menepuk-nepuk pipinya yang penuh darah dengan nada sinis.

“Kau pikir dengan wajah polosmu itu kau bisa menyaingiku? Hah? Sekte ini tak butuh murid tanpa asal-usul sepertimu.”

Ia berdiri lagi, lalu memberi isyarat dengan tangannya.

“Buang dia ke sungai. Biar ikan yang menemaninya hari ini.”

Semua murid terdiam. Wajah mereka pucat. Lin Tao, yang sejak tadi berdiri di belakang, maju setengah langkah.

“Senior Yai Feng… ini sudah terlalu jauh. Kalau ia mati, kita akan....”

“Diam, Lin Tao!” bentaknya keras. “Siapa yang akan peduli pada murid yatim tanpa guru? Kau pikir sekte akan menyelidiki ke mana Gao Rui pergi. Dia bukan siapa-siapa!”

Kata-kata itu menggema di antara angin lembah yang dingin. Beberapa murid masih ragu, tapi ketakutan pada nama besar keluarga Yai Feng membuat mereka bergerak juga. Dua orang mengangkat tubuh Gao Rui dari tanah, lalu menyeretnya menuju sungai.

Tubuh itu tergelincir, jatuh ke air dengan suara yang lembut tapi menusuk hati. Riak air meluas perlahan, menelan sosok kecil yang kini tenggelam di bawah permukaan.

“Sudah,” kata Yai Feng datar sambil membalikkan badan. “Tidak ada yang bicara tentang ini. Siapa pun yang membuka mulut… aku pastikan hidupnya di Sekte Bukit Bintang berakhir. Ayo kita pergi dari sini.”

Semua menunduk. Tak ada yang berani menatapnya. Hanya Lin Tao yang diam membeku, menatap sungai yang perlahan tenang kembali. Ia menggigit bibirnya hingga berdarah, menahan rasa bersalah yang menyesakkan dada.

Di dalam sungai, Gao Rui merasakan dinginnya air bukan hanya pada kulit, tetapi sampai ke tulang. Suara langkah yang menjauh, tawa sinis, instruksi kasar Yai Feng masih bergema di telinganya seperti lontaran batu yang terus membentur kesadarannya. Di dalam kegelapan bawah permukaan, dunia menyusut menjadi satu, air yang menekan, napas yang tertahan, dan rasa berat di dada yang menuntut menyerah.

Namun di sela-sela keputusasaan itu, sebuah nyala kecil tetap menyala. Ingatan akan wajah Ciang Mu, hangat dan lembut ketika pertama kali mengangkatnya dari jalanan Xiuhe, memantul di benaknya. Suara gurunya seakan terdengar ketika mengajarkannya pernapasan bukan kekuatan untuk menyerang, melainkan kunci untuk tetap hidup dalam badai apapun.

“Napasmu bukan hanya nafas, Rui’er. Ia adalah tali pengikat antara kau dan langit. Tarik pelan, tahan, lepaskan perlahan. Biarkan tenaga dalammu mengalir seperti aliran sungai bukan seperti badai."

Kata-kata itu datang tidak dalam bentuk bunyi kini, melainkan sebagai satu sensasi, ritme yang harus diikuti jika ia ingin kembali.

Gao Rui mengerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Ia menarik napas dalam-dalam, walau paru-parunya terasa seperti berisi batu, menahan sejenak sampai seluruh kepalanya berdenyut, lalu menghembuskan perlahan dengan pantang menyerah. Di dalam kegelapan, ia membayangkan gurunya, Ciang Mu berdiri di dekatnya, menuntunnya.

Saat ini ada sensasi aneh seperti tali halus yang ditarik dari bawah pusarnya, mengangkat sedikit demi Tubuh Gao Rui tidak lagi seperti batu yang runtuh. Kini ia seperti potongan kayu yang terbawa arus namun tidak tenggelam. Tubuhnya mulai mengambang

Matanya masih tertutup. Ia merasakan panik, arus sungai menelannya berkali-kali. Setiap kali ia hampir tenggelam, ia mengulang kembali pernapasan gurunya, tarik, tahan, lepaskan.

Ia merasakan tubuhnya sedikit demi sedikit mengapung, tangan kecilnya mulai mengiris permukaan, wajahnya menerobos keluar dari pelukan air.

Namun tidak selamanya, Gao Rui mampu bertahan dari derasnya arus sungai. Lama kelamaan ia terbatuk keras, air sungai keluar dari mulutnya bercampur darah. Tubuhnya menggigil, tapi matanya tetap terbuka, menatap langit yang kini buram di matanya. Ia mencoba menenangkan diri, menyalurkan sisa tenaga dalamnya untuk tetap mengapung di permukaan.

Namun tubuhnya sudah terlalu lemah. Luka di bahunya berdarah deras, dan setiap gerakan kecil terasa seperti disayat. Nafasnya semakin berat, irama napas yang diajarkan gurunya kini nyaris tak bisa diikuti lagi.

"Guru... Aku... masih belum bisa," bisiknya lirih. Kata-kata itu hilang ditelan suara arus sungai

Ketika kesadarannya mulai memudar, sesuatu di langit tiba-tiba bergerak cepat. Bayangan putih meluncur turun, menembus kabut dan berhenti di atas sungai dengan gerakan ringan seperti bulu angsa jatuh. Riak air di bawahnya hanya bergetar halus, tanda penguasaan tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat tinggi.

Tanpa ragu, ia menurunkan tangan kanannya. Arus udara berputar dari telapak tangannya, menciptakan pusaran kecil di permukaan sungai. Tubuh Gao Rui terangkat perlahan, terbawa oleh kekuatan lembut namun kuat, lalu mendarat dengan aman di tepian berbatu.

Orang itu berlutut di sampingnya, menatap wajah pucat Gao Rui. Ia meraba nadi di pergelangan tangan bocah itu.

“Hampir kehilangan nyawanya,” gumamnya pelan. “Tapi urat nadinya masih berdenyut, hatinya masih berjuang.”

Ia menempelkan telapak tangan ke dada Gao Rui. Dalam sekejap, api berwarna biru mengalir masuk, menekan darah hitam keluar dari mulut bocah itu. Gao Rui terbatuk keras, paru-parunya terasa terbakar, tapi untuk pertama kalinya ia bisa menarik napas dalam tanpa rasa sakit menusuk.

“Tenanglah,” suara orang itu datar tapi hangat. “Selama kau masih mau hidup, dunia belum menolakmu.”

Gao Rui membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, tapi ia bisa melihat sosok penolongnya yang memancarkan aura jernih seperti air sungai di musim semi.

“Siapa... kau…?” suaranya serak.

Terlihat di matanya sekarang, sosok penolongnya adalah seorang pemuda yang tampak berusia sekitar tujuh belas tahun. Wajahnya begitu muda, tapi sorot matanya tajam dan dalam. Jubah putih panjangnya berkibar tertiup angin, rambut hitam panjangnya diikat rapi. Tampak ada dua pedang tergantung di pinggangnya.

...******...

Hai semua ini adalah salah satu novel lain dari multi-fantasi timur yang kurencanakan di masa depan. Tenang saja untuk Reinkarnasi Pendekar Dewa tetap akan update seperti biasanya kok. Anggap aja ini selingan lain untuk bacaan baru kalian.

Terima kasih sudah mau mampir ke novel baruku ini.

1
Zainal Arifin
joooooooosssss
opik
mantap
Dewi Kusuma
bagus
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Tooooooops 🍌🍒🍅🍊🍏🍈🍇
Anonymous
makin seruuuu 😍
John Travolta
jangan kendor updatenya thor
hamdan
thanks updatenya thor
Duroh
josssss 💪
Joko
go go go
Wanfaa Budi
😍😍😍😍
Mulan
josssss
y@y@
🌟💥👍🏼💥🌟
Zainal Arifin
mantaaaaaaaappppp
y@y@
👍🏾⭐👍🏻⭐👍🏾
y@y@
👍🏿👍🏼💥👍🏼👍🏿
Rinaldi Sigar
lanjut
opik
terimakasih author
Xiao Han ୧⍤⃝🍌
berjaga
Xiao Han ୧⍤⃝🍌
Dialog tag kan ini? Diakhiri pake koma ya thor (bukan problem besar sih, pembaca lain juga banyaknya pada gak sadar 🤭)
A 170 RI
mereka binafang suci tapi mereka lemah..yg kuat adalah gurumu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!