Nala Purnama Dirgantara, dipaksa menikah dengan Gaza Alindara, seorang Dosen tampan di kampusnya. Semua Nala lakukan, atas permintaan terakhir mendiang Ayahnya, Prabu Dirgantara.
Demi reputasi keluarga, Nala dan Gaza menjalani pernikahan sandiwara. Diluar, Gaza menjadi suami yang penuh cinta. Namun saat di rumah, ia menjadi sosok asing dan tak tersentuh. Cintanya hanya tertuju pada Anggia Purnama Dirgantara, kakak kandung Nala.
Setahun Nala berjuang dalam rumah tangganya yang terasa kosong, hingga ia memutuskan untuk menyerah, Ia meminta berpisah dari Gaza. Apakah Gaza setuju berpisah dan menikah dengan Anggia atau tetap mempertahankan Nala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon za.zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Pingsan
Nala menghentikan laju motornya tepat di bangunan dua tingkat yang terlihat teduh di salah satu komplek perumahan, ia diam cukup lama. Nala menimbang keputusannya, apakah sudah tepat atau tidak. Hatinya menginginkan ketenangan, mungkin di mulai dari melepas Gaza.
Nala melangkah pasti, memasuki kantor advokat atau tempat orang-orang yang butuh bantuan hukum. Nala tak pernah berfikir akan berada di tempat ini, ia ingin menyelamatkan dirinya dari pernikahan tanpa cinta ini.
Seorang satpam mempersilakan Nala masuk. Rumah tua yang telah direnovasi ini terlihat seperti rumah konseling, nyaman tanpa kesan intimidasi.
Nala menghampiri meja resepsionis, ia disambut senyuman dari staf yang berjaga.
“Selamat siang! Perkenankan saya Dila, ada yang bisa di bantu?” tanya staf itu ramah.
Nala membalas senyumannya, sedikit canggung. “Selamat siang, saya sudah membuat janji dengan Pak Dani.”
“Baik, atas nama siapa?” tanya Dila masih setia dengan senyuman di bibirnya.
“Nala Purnama Dirgantara,” jawan Nala.
“Baik, informasi saya terima. Silahkan menunggu di sofa.” Dila menuntun Nala untuk duduk di sofa yang telah disediakan.
Nala menuruti, ia mengedarkan pandangannya, menyapu ruang yang terlihat teduh sebab banyak tumbuhan hidup yang diletakkan di setiap sudut ruangan.
Cukup lama Nala menikmati suasana, hingga Dila menghampirinya. “Ibu Nala, mari ikut saya ke ruangan Pak Dani.”
Nala menarik nafas panjang, membulatkan tekadnya dan meneguhkan hatinya. Ia tau, keputusan ini bukan sesuatu yang biasa-biasa saja. Keluarganya dan keluarga Gaza bisa saja menantangnya, tapi Nala hanya ingin membuktikan bahwa ia tidak main-main.
Nala menaiki tangga menuju lantai dua, suara langkahnya ia hitung satu persatu hingga kakinya berhenti tepat di depan pintu ruangan konsultasi. Ia menarik nafas panjang.
Nala dipersilahkan masuk, rasa canggung semakin ia rasakan saat memasuki ruangan yang cukup luas dan tenang. Meja kerja yang terbuat dari kayu terlihat bersih tanpa noda, laptop mahal, pulpen dan buku catatan terlihat tertata rapi di mejanya. Jangan lupakan papan nama ‘Adv. Dani Atmaja, S.H., M.H’ terukir indah di atas meja kayu tersebut.
“Selamat siang, Ibu Nala. Silahkan duduk.”
Pria yang Nala tebak seusia suaminya itu menyambut Nala dengan ramah dan tenang. Senyumnya mengebang lebar terlihat tekad ingin membantu Nala keluar dari setiap masalahnya.
“Selamat siang, Pak Dani. Saya Nala Purnama Dirgantara, bisa di panggil Nala. Tadi pagi saya sudah membuat janji dengan, Bapak.” Nala langsung pada intinya, seolah-olah ia ingin menyelesaikannya segera.
“Baik Ibu Nala, perkenalkan saya Dani Atmaja. Sebelumnnya terima kasih sudah mempercayai kami untuk menangani kasusnya, Ibu. Kami bisa memastikan rahasia dan menjaga kode etik kami sebagai advokat. Bisa diceritakan, masalah apa yang sedang dialami.” Dani mempersiapkan Nala untuk bicara.
Nala mengangguk, ia menarik nafas dan tersenyum tipis.
“Saya ingin menggugat cerai suami saya. Kami menikah setahun yang lalu, karena permintaan terakhir almarhum Ayah saya. Ini adalah pernikahan tanpa cinta, tetapi kami harus bersandiwara jika berada di luar, di kampus atau saat kumpul keluarga. Tapi jika berada di rumah, kami tak saling menyapa… saya juga lelah dituntut untuk hamil sementara saya tidak mendapati…”
Nala tak sanggup melahirkan ceritanya, mengenai dirinya yang tak pernah disentuh oleh Gaza. Haruskah diceritakan? Apa ini bisa menjadi pertimbangan. Nala menggenggam tangannya cukup kuat.
Dani menunggu, ia tahu Nala berusaha menutupi sesuatu. “Bisa dilanjutkan?” tanya Dani.
“Saya tidak mendapat perhatian yang cukup, merasa diabaikan dan tak dicintai.” Nala tak sanggup memberitahukan hal yang sesungguhnya.
Dani membenarkan posisi kaca matanya, ia menatap Nala cukup lama. “Apa di antara Ibu Nala dan suami ada perjanjian pranikah atau sesudah nikah yang membahas mengenai kondisi ini. Misalnya, berpura-pura romantis didepan orang banyak?” tanya Dani lagi.
Nala menggeleng pelan. “Tidak ada… kami menaklukan peran kami dengan baik, tanpa dialog tanpa di rencana. Seolah-olah kamu sudah menghafal peran kami dengan baik.”
Dani mencatat semua yang Nala ceritakan, sesekali keningnya berkerut seolah memikirkan sesuatu. Kemudian ia melirik sejenak ke arah Nala.
“Ada buku nikah? Apa saya boleh lihat?” tanya Dani sambil mengulurkan tangannya.
Nala menjawab dengan anggukan, ia segera membuka tas mencari buku nikah yang tadi pagi ia ambil dari rumahnya.
“Ini…” Nala menyerahkannya di tangan Dani.
Pria itu menerima dengan wajah serius, ia membuka lembar yang berisi foto pasangan pengantin. Matanya membulat, ia melirik ke arah Nala, kemudian kembali membuka lembar identitas pasangan pengantin. Ketika ia tersenyum sinis.
“Gaza Alindra?” gumamnya pelan.
Nala yang mendengar itu hanya mengangguk pelan.
Dani menutup buku nikah tersebut, ia menatap ke arah perempuan yang kini duduk tepat di hadapannya, gelisah dan gugup jelas terlihat. Bahkan sirat keraguan bisa Dani baca dari tatapan mata Nala.
“Kalian saling mencintai?” tanya Dani pelan.
“Tidak?”
“Ada orang ketiga?”
“Tidak! Tapi sepertinya dia masih menyimpan perasaan untuk masa lalunya.”
“KDRT?” Dani kembali bertanya setelah mencatat setiap jawaban Nala.
“Tidak!”
“Nafkah lahir?” Dani bertanya pelan.
“Ada, Saya tidak kekurangan dalam hal harta dan semuanya dipenuhi dengan baik.”
“Nafkah batin?”
Deg!
Jantung Nala berdetak kencang, tak bisa ia menjelaskan semuanya.
“Nafkah batin?” Dani mengulang pertanyaannya.
“Tidak ada…” Suara Nala nyaris berbisik.
“Perhatian, rasa aman, cinta dan kasih, keharmonisan dan hubungan suami istri? Apa itu tidak ada?” Dani masih mencari informasi. Ia tau, tak semuanya Nala ceritakan.
“Aku mendapatkan semuanya jika didepan orang banyak, diperhatikan, dicintai dan dibutuhkan, jika hanya berdua, tidak ada!” Jawaban Nala semakin lemah.
“Termasuk, hubungan suami istri?” tanya Dani, kali ini sedikit hati-hati
Nala tersenyum, kemudian mengangguk pelan.
Dani diam cukup lama, ia melirik Nala yang bahkan tak berani menatap wajahnya. Tentu saja malu. Merasa tak diinginkan adalah hal yang menyakiti harga dirinya.
“Ada bukti dan saksi yang bisa memperkuat pertanyaan, Ibu Nala?”
Nala diam, ia tau alasanya berpisah di mata hukum sangat lemah karena tak ada bukti fisik, tapi untuk saksi? Keluarganya akan menantang ini semua. Tak ada yang mau bersaksi untuknya. Zanna? Nala ragu tapi ia harus mencoba bukan.
“Adik ipar saya, Zanna. Ia selalu menjadi tempat saya bercerita dan kadang melihat bagaimana suami saya bersikap pada saya.”
Dani menggenggam erat pulpen di tangannya. Ia berusaha tenang dan tak terbawa susana. Ia kembali mencatat semua kesaksian Nala.
“Selain Zanna?” Dani kembali menggali informasi.
“Sahabat saya, Kania. Semua saya ceritakan padanya.”
“Bu Nala, bagaimana dengan keluarga kalian?”
Nala menggeleng sembari tersenyum lelah. “Keluarga saya dan Gaza menjunjung tinggi reputasi keluarga, sulit. Hanya tante saya yang masih mau mendengar keluhan saya, selebihnya tak di anggap.” Suara Nala bergetar menahan tangis.
Dani mengangguk pelan, tatapan tak lepas dari wajah cantik Nala. Mata yang seharusnya terlihat berbinar itu justru menyiarkan kelelahan. Bibirnya pucat yang selalu berusaha untuk tersenyum itu bahkan terlihat indah tanpa polesan pemerah bibir.
“Bu Nala, kasus yang Ibu hadapi ini jika dibawa ke meja hukum cukup lemah. Kita harus mengkaji ulang, mencari bukti dan saksi untuk memperkuat keputusan Ibu untuk bercerai. Saya juga tau, Gaza Alindra bukan orang yang bisa kita hadapi dengan mudah. Ditambah Ayah mertua, Iskandar Alindra, ia memang tenang tapi jika reputasi keluarga terancam, cara kotor pun akan ditempuh.”
Ucapan Dani sukses memperkuat rasa putus asa Nala, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Hari ini sangat melelahkan baginya.
“Bu Nala, sebaiknya dibicarakan lagi. Beri waktu untuk Pak Gaza memperbaiki diri, sembari memperkuat bukti dan saksi. Jika dalam waktu yang ditentukan masih seperti ini, kita akan bawah kasus Ibu ke meja hukum dengan alasan dan bukti yang kuat.” Dani berusaha menasehati, bagaimanapun kasus Nala masih bisa diselamatkan.
“Tapi saya capek, Pak. Saya juga ingin Gaza bahagia dengan orang yang dia cintai.” Nala berusaha meyakinkan pria di hadapannya ini.
“Apa Ibu yakin jika Pak Gaza dengan wanita itu bersama mereka akan bahagia?” tanya Dani pelan. “Ibu tidak bisa menentukan kebahagiaan seseorang.”
“Lalu bahagiaku, bagaimana?” Nala tersenyum jengah.
Dani memilih diam, memberikan waktu pada Nala untuk meyakinkan hatinya.
“Baik, saya akan memberi waktu pada Ibu Nala untuk meyakinkan diri dengan keputusan ini. Mungkin dengan kembali berbicara dengan Pak Gaza, atau meminta pendapat dengan orang yang berdiri di pihak Ibu Nala.” Dani berusaha memberi jalan keluar, meskipun ia melihat tekad Nala sudah cukup besar.
Nala menarik nafas panjang, ia mengangguk. Hari ini cukup melelahkan, mungkin ia harus pulang dan mengistirahatkan tubuhnya.
Dani memperhatikan pergerakan Nala, sesekali perempuan itu mengerutkan keningnya seolah menahan perih.
“Ibu Nala sakit?” tanya Dani.
Nala menggeleng cepat, ia berdiri sambil mengulurkan tangannya ke arah Dani.
“Saya baik-baik saja, terima kasih untuk hari ini. Saya akan memikirkan usulan yang Pak Dani berikan.”
Dani menyambut uluran tangan Nala, ia bisa merasakan hawa panas yang tak biasa. Wajah pucat Nala bukan karena tak menggunakan pemerah bibir, tapi karena memang kondisi perempuan itu sedang tidak sehat.
“Sebaiknya Bu Nala istirahat dulu dan menghubungi keluarga untuk menjemput, sepertinya kondisi Bu Nala sedang tidak sehat.” Dani melepas tangan Nala, ia berjuang mengelilingi meja dan menghampiri Nala.
Nala berusaha berdiri tegak, meski rasa nyeri di perutnya semakin menjadi-jadi.
“Saya permisi, Pak.” Nala berusaha melangkah sebisanya, setidaknya keluar dari ruangan ini.
Dani tak menjawab, sikapnya seketika waspada tapi tak berani menyentuh Nala. Ia hanya mengawasi takut terjadi sesuatu.
“Bu Nala, sebaiknya duduk lagi.” Dani masih berusaha menjaga batasan dan bersikap profesional.
Nala memejamkan matanya, suara Dani seolah berdengung di telinganya. Tangannya dengan cepat mencari pegangan dan bertumpu pada meja.
“Akhh…” Nala mendesis pelan, tangannya mencengkram perutnya yang terasa nyeri tertusuk dari dalam.
Dani bergerak cepat menahan tubuh Nala agar tidak jatuh, tubuh Nala terasa panas dan keringat bercucuran membasahi pelipisnya.
“Tolong…” lirih Nala sebelum semuanya terasa ringan dan pandangan seketika gelap.
“Sial, dia pingsan,” gumam Dani saat saat melihat Nala sudah terkulai lemah dalam dekapannya.
“Dila, tolong bantu saya!” terika Dani membuat membuat Dila yang tadi menunggu di depan berlari masuk.
“Ada apa, Pak?” tanya Dila tak kalah panik.
“Dia pingsan, saya harus membawanya ke rumah sakit. Tolong bukakan pintu dan minta Pak Didit menyiapkan mobil,” pinta Dani sembari mengangkat tubuh Nala.
“Baik!” Dila berlari membuka pintu.
“Gaza, brengs*k!” umpat Dani.