Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.
Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.
Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.
Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26 - Tidak Sempurna
Vee
Kepalaku rasanya mau meledak. Sepuluh hari syuting, dan aku sudah resmi bersahabat dengan kopi, lima sampai tujuh gelas setiap harinya. Kalau bukan karena kafein, mungkin aku sudah tumbang di hari kelima.
Thomas Hunt menyediakan semua makanan dan camilan di lokasi. Tyler hampir selalu ada di set bersamaku, tapi ia jarang ikut campur. Ia hanya memperhatikan dari jauh, sesekali memberi masukan kalau aku meminta. Rasanya seperti diuji, tapi juga dipercaya sepenuhnya.
Thomas sendiri datang setiap dua hari sekali. Sama seperti Tyler, ia tak banyak bicara, tapi ketika berbicara, setiap masukannya sangat berarti. Kadang soal angle kamera yang kupikir sudah pas, tapi ternyata masih bisa lebih baik. Hal-hal kecil seperti itu—yang cuma bisa didapat dari pengalaman puluhan tahun—membuatku semakin kagum, sekaligus semakin terobsesi ingin membuat film ini sempurna.
Tentu saja, tidak ada yang benar-benar sempurna di dunia ini.
Ada properti yang tidak sesuai, kostum yang warnanya bertabrakan dengan tone set, atau riasan yang tidak konsisten antar adegan. Tapi hari ini, masalahnya jauh lebih besar yaitu lokasi syuting luar pertama kami… belum berizin.
Izin yang Naomi bilang akan beres sebelum syuting dimulai.
Aku menekan pelipis, menahan ledakan yang terasa sudah di ujung lidah. Semua kru sudah siap, kamera sudah berdiri, lampu sudah dipasang. Hanya lokasinya yang tak bisa digunakan.
Naomi berlari kecil ke arahku. “Aku sudah dapat izin untuk lokasi sebelah sana!” katanya tergesa.
Aku menoleh, lalu melihat tembok penuh grafiti, cat mengelupas, suasananya terlalu urban.
Dalam bayanganku, adegan di tepi sungai ini seharusnya lembut, penuh nostalgia—momen di mana Claire untuk pertama kalinya membuka hatinya pada Vincent lagi. Tapi di depan mataku, yang kulihat hanyalah dinding beton kotor yang menghapus seluruh emosi adegan.
“Naomi,” suaraku rendah, bergetar. “Aku sudah mengingatkanmu tentang izin lokasi sejak H-1 syuting. Kamu bilang akan selesai hari itu. Sekarang sudah hari ke sepuluh.”
Ia menarik napas, lalu menjawab enteng, “Aku juga punya banyak hal lain yang harus kukerjakan. Wajar kalau lupa. Kamu juga nggak ingetin aku lagi, kan?”
Aku menatapnya tidak percaya. “Serius kamu bilang begitu?” suaraku meninggi. “Aku punya seribu hal lain yang harus kuatur di sini. Kalau kamu nggak bisa mengurus hal sesederhana izin lokasi, aku yakin mahasiswa baru pun bisa menggantikan posisi kamu.”
Ia mengangkat alis. “Kita masih bisa syuting di lokasi baru itu.”
“Di belakangnya ada tembok sebesar egomu, Naomi.” Kata-kataku meluncur lebih keras dari yang kumaksudkan. Tapi aku terlalu lelah untuk menariknya kembali.
Wajah Naomi memerah. “Terserah. Kalian atur sendiri. Aku keluar dari proyek ini.” Ia berbalik dan pergi, meninggalkan set dengan langkah berat.
Suasana hening seketika. Tyler memberi isyarat singkat pada kru lain untuk istirahat. Beberapa langsung menjauh, sebagian saling berbisik pelan. Aku menunduk, mencoba bernapas.
Chloe menghampiri. “Hey,” katanya lembut, “kita jalan-jalan sebentar yuk.”
Aku mengangguk. Kami berjalan menyusuri trotoar di luar area syuting, udara sore penuh debu dan panas mesin generator. Aku tidak berkata apa-apa—rasanya seperti baru selesai perang.
“Kau tahu,” kata Chloe pelan, “aku nggak pernah suka sama Naomi. Dia bossy, bahkan ke tim video, padahal aku yang tanggung jawab.”
Aku menghela napas. “Aku pikir dia cuma ambisius. Sama seperti aku. Aku cuma ingin film ini sempurna. Aku membawa nama Thomas Hunt di pundakku, Chlo.”
“Mungkin,” katanya lembut, “jangan jadikan itu beban. Aku tahu kamu kesal, tapi orang seperti Naomi nggak bisa dilawan dengan emosi. Kita masih butuh dia. Kadang, untuk menang, kamu harus menurunkan pedang dulu.”
Aku berhenti melangkah, menatap aspal di bawah kaki. “Aku tahu,” bisikku. “Tapi rasanya menyakitkan. Aku tahu dia salah… tapi tetap harus menahannya.”
Kami diam cukup lama. Chloe lalu menepuk bahuku ringan. “Mau beli karamel es krim? Aku traktir.”
Aku tertawa kecil. “Oke.”
Sore itu, kami duduk di pinggir trotoar dekat lokasi syuting, masing-masing dengan cone es krim di tangan. Langit biru menjulang tinggi, dan untuk sesaat, dunia terasa tenang. Rasanya sudah lama sekali aku tidak duduk diam seperti ini, tidak berpikir, tidak merencanakan.
“Aku lelah, Chlo,” kataku akhirnya. “Bukan cuma karena syuting. Aku takut kalau gagal… itu bukan cuma aku yang jatuh. Tapi semua orang di belakangku juga.”
Chloe menatapku lama, lalu tersenyum kecil. “Vee, semua orang di sini nggak bekerja untukmu. Kami bekerja bersamamu. Jadi berhenti memikul semuanya sendirian, oke?”
Aku menatap es krimku yang mulai meleleh, menetes ke jariku. Aku ingin menjawab, tapi tenggorokanku terasa berat. Aku hanya mengangguk, pelan.
Chloe berdiri. “Balik yuk, kurasa semua orang sudah lebih tenang sekarang.”
Aku menatap punggungnya yang menjauh, menatap langit biru diatasku, lalu mengikutinya.
Kata-katanya menggema di kepalaku, kami bekerja bersamamu. Mengatakannya mudah. Yang sulit adalah benar-benar mempercayainya.
Untuk pertama kalinya sejak syuting dimulai, aku merasa takut. Takut kehilangan kendali. Takut mengecewakan Thomas. Dan… takut kehilangan cara untuk mempercayai diriku sendiri.
\~\~\~
Tyler
Naomi Lin. Mahasiswi tahun keempat di jurusan directing, sama seperti Vee. Aku sudah memperhatikannya sejak awal semester. Ambisinya besar, terlalu besar, kadang. Ia punya bakat, tapi sering buta terhadap kesalahan sendiri. Terlalu sibuk membuktikan diri untuk mendengar orang lain.
Dan hari ini, ambisinya menghancurkan satu hari penuh syuting.
Kalau bukan Vee yang jadi sutradara, mungkin situasinya bisa lebih buruk. Kalau itu Thomas—atau bahkan aku—Naomi mungkin sudah dipermalukan di depan semua kru. Tapi Vee… ia menahan diri, sampai amarahnya meledak bukan karena ego, tapi karena kecewa.
Karena film ini bukan sekadar proyek baginya—ini bukti. Bukti bahwa ia pantas berada di sini. Dan ketika salah satu bagiannya gagal, rasanya seperti dirinya sendiri yang gagal.
Aku membubarkan kru beberapa menit lalu. Set sudah kosong, hanya tersisa rerumputan biasa di pinggir sungai, yang seharusnya jadi lokasi syuting kami.
Ketika aku melihat Vee kembali bersama Chloe, wajahnya masih menyimpan sisa kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. Setelah Chloe berpamitan, ia mendekat kepadaku dengan langkah ragu.
“Menurutmu…” katanya pelan, “aku harus memohon Naomi untuk kembali? Atau cari penggantinya?”
Aku menatapnya beberapa detik sebelum menjawab. “Cari orang lain. Harrison bisa ambil alih untuk sementara, atau aku bantu back up. Tapi jangan kejar orang yang nggak mau belajar dari kesalahannya.”
Ia menatapku lama, seolah mencari sesuatu di wajahku—persetujuan, atau mungkin pengampunan. “Maaf aku sudah marah-marah tadi,” ujarnya akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
Aku menggeleng pelan. “Kamu nggak marah ke kami, Vee. Kamu marah karena kamu peduli. Dan itu hal yang paling benar yang bisa dilakukan seorang sutradara.” Aku menatapnya lebih dalam. “Jangan salahkan dirimu sendiri.”
Kami berdiri di antara bayangan langit sore, dan udara yang dingin. Tidak ada orang lain selain kami, di lokasi yang tertutup dari orang lain, yang baru saja menjadi arena perang kecil.
Ia menarik napas panjang, tapi tidak bicara. Hanya menatap rerumputan, bahunya sedikit gemetar. Dan saat itu aku tahu—ia tidak butuh nasihat lagi. Ia butuh seseorang disampingnya.
Aku mendekat perlahan, memastikan tak ada siapa pun di sekitar. Ketika aku menyentuh lengannya, ia menegakkan tubuh, matanya terkejut. “Bagaimana kalau ada yang lihat?” bisiknya panik.
“Tidak ada siapa-siapa,” jawabku pelan.
Ia masih ragu, tapi akhirnya bersandar, membiarkan wajahnya tenggelam di dadaku. Aku memeluknya, satu tangan di punggungnya, satu lagi mengelus rambutnya pelan. Tubuhnya terasa tegang di awal, lalu perlahan melunak. Aku bisa merasakan detaknya di dada—cepat, tak beraturan.
“Bukan salahmu, Vee,” kataku lembut. “Kamu sudah melakukan yang terbaik. Aku tahu itu.”
Ia tidak menjawab, tapi genggamannya di bajuku menguat.
Aku menutup mata sejenak. Ada sesuatu yang berdesir di dadaku—rasa yang terlalu dalam untuk disebut khawatir, tapi terlalu berbahaya untuk disebut cinta. Dan untuk pertama kalinya sejak kami mulai bekerja bersama, aku takut bukan karena proyek ini gagal, tapi karena aku tahu… Jika aku tidak hati-hati, kami bisa kehilangan segalanya.
\~\~\~