NovelToon NovelToon
Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri
Popularitas:386
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”

Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.

Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 — Klub Jurnalistik Ditutup

Waktu terasa sangat sempit, berlari kencang menuju batas jam delapan malam. Reina dan Naya bergerak dalam bayangan, menggunakan setiap lorong gelap dan ruang kosong di SMA Adhirana untuk menghindari patroli petugas keamanan. Ancaman Daren terasa nyata; dikeluarkan dari sekolah ini berarti kehilangan akses tunggal ke misteri Aksa dan Lantai Tujuh.

Mereka tiba di Gedung Ekstrakurikuler. Di depan pintu Ruang Klub Jurnalistik, seorang guru pembimbing—laki-laki paruh baya berkacamata tebal yang selalu terlihat letih—sudah berdiri dengan lakban dan segel resmi.

“Bu Fani,” sapa Reina dengan nada hormat yang dibuat-buat.

Guru itu mendongak, wajahnya kaku. “Oh, Reina. Dan Naya. Kalian di sini? Ruangan ini akan saya segel. Klub Jurnalistik dibubarkan sementara waktu.”

“Kami hanya ingin mengambil buku catatan Zio, Bu. Dia masih di UKS. Dia pasti butuh catatannya untuk belajar,” pinta Reina, nadanya penuh kepura-puraan siswa yang peduli.

Guru itu menghela napas. “Saya sudah mengemas semua barang pribadinya, Reina. Semuanya ada di tas sekolahnya. Tidak ada yang tertinggal.”

“Tapi, Bu, Zio itu sensitif. Dia selalu pakai pena khusus untuk menulis. Mungkin penanya ada di dalam?” Naya menambahkan, suaranya sedikit gemetar tapi meyakinkan.

Guru itu ragu sejenak. “Baiklah. Lima menit. Hanya untuk melihat, ya. Jangan menyentuh komputer atau arsip klub.”

Guru itu membuka pintu. Reina dan Naya langsung melangkah masuk. Bau debu dan kertas lama yang familiar menyambut mereka.

Di dalam, suasananya terasa kacau. Petugas sudah mengemasi semua yang terlihat. Meja-meja kosong, kabel-kabel tercabut. Komputer Zio telah mati total.

“Lima menit. Mulai dari sekarang,” kata guru itu, berdiri di ambang pintu, menyilangkan tangannya.

Reina dan Naya tidak menyia-nyiakan waktu. Mereka tahu, Zio, si paranoid yang kecanduan konten, pasti punya tempat penyimpanan rahasia.

Reina langsung menuju meja Zio. Ia meraba setiap permukaan, mencoba merasakan tekstur yang aneh atau adanya celah.

“Zio suka menyembunyikan kartu memori di antara buku-buku yang paling ia benci,” bisik Naya.

Mereka mulai memeriksa rak buku. Rak-rak itu berisi jurnal-jurnal lama klub, laporan-laporan sekolah, dan beberapa buku pelajaran Sejarah yang sudah usang.

Reina membuka salah satu buku Sejarah. Tidak ada apa-apa.

Waktu terus berjalan.

“Satu menit sudah berlalu,” ujar guru itu dengan nada mengingatkan.

Naya tiba-tiba berseru. “Reina, lihat ini.”

Naya menunjuk ke sebuah lemari arsip kayu tua yang berada di sudut ruangan. Lemari itu penuh dengan map-map kuning. Salah satu laci di bawah lemari itu tampak sedikit miring.

Reina mendekat. Ia menarik laci itu perlahan. Laci itu berderit, isinya penuh dengan pita kaset lama dan floppy disk.

Naya dan Reina mulai mencari, menggeser tumpukan media penyimpanan yang usang.

“Dia nggak mungkin pakai floppy disk,” kata Reina, frustrasi.

“Mungkin dia sembunyikan di tempat yang paling tidak logis,” kata Naya, lalu ia menunjuk ke bagian belakang laci.

Di sana, di balik papan kayu tripleks yang menjadi pembatas belakang laci, ada celah kecil.

Reina menjulurkan tangannya ke celah itu. Jari-jarinya menyentuh sesuatu yang keras dan dingin.

Ia menariknya keluar.

Itu adalah sebuah hard disk eksternal lama, kotak hitam yang sudah usang, dengan kabel USB yang digulung rapi.

Dan di permukaannya, tertulis dengan spidol permanen:

“Mirror Room – Phase 1.”

Reina merasakan adrenalin membanjiri dirinya. Mirror Room. Ruangan Cermin. Ini pasti adalah proyek yang Aksa dan Daren pernah kerjakan—proyek yang melahirkan Lantai Tujuh.

“Dua menit tersisa, Nak. Kalian sudah menemukan penanya?” tanya guru itu.

Reina dengan cepat menyembunyikan hard disk itu di dalam lipatan jaketnya.

“Sudah, Bu. Terima kasih banyak,” kata Reina, tersenyum palsu. “Ayo, Naya.”

Mereka berdua segera meninggalkan ruangan itu, jantung mereka berdebar kencang. Guru itu segera mengunci pintu, menempelkan stiker segel resmi di bingkai pintu. Klub Jurnalistik kini resmi ditutup.

Mereka bersembunyi di toilet perempuan lagi, kali ini di lantai 2 Gedung Utama, jauh dari Gedung Lama.

Reina mengeluarkan hard disk itu. Dingin. Berat.

“Mirror Room? Apa itu?” tanya Naya, suaranya masih penuh ketegangan.

“Daren bilang Lantai Tujuh itu adalah cermin dari jiwa. Aksa bilang itu adalah Mesin Waktu. Aku rasa Mirror Room ini adalah prototipenya. Tempat mereka menguji bagaimana cara memproyeksikan memori dan rasa bersalah ke dalam ruang fisik,” jelas Reina.

Ia melihat waktu di ponselnya. Pukul 08:30 malam. Sekolah sebentar lagi akan dikunci total.

“Kita harus keluar dari sini, dan kita harus membuka hard disk ini. Kita butuh komputer yang aman,” kata Reina.

“Komputer di rumahku nggak ada yang cukup canggih, Rei,” kata Naya.

“Kita nggak butuh komputer canggih. Kita butuh koneksi. Dan aku tahu satu tempat yang aman,” kata Reina, matanya menyala.

Reina teringat akan sebuah lab komputer tua di perpustakaan sekolah. Lab itu sudah jarang digunakan, dan biasanya masih menyala 24 jam untuk staf perpustakaan.

Mereka bergerak cepat melintasi lorong-lorong yang kini gelap total. Hanya lampu darurat yang menyala di beberapa sudut.

Mereka berhasil menyelinap masuk ke Perpustakaan. Udara di sana berbau buku dan keheningan yang absolut. Lab komputer berada di sudut paling belakang.

Reina membuka pintu lab pelan-pelan. Hanya ada satu lampu meja kecil yang menyala, menerangi barisan komputer usang.

Reina memilih salah satu PC, menyalakannya. Layar booting menyala dengan bunyi berderak.

Ia memasukkan hard disk ‘Mirror Room’ ke dalam port USB. Komputer langsung mendeteksi perangkat.

Di layar muncul sebuah folder dengan nama mencolok: “L7 PROJECT_RHEA_FINAL.zip.”

Reina tahu, ini dia. Inilah rahasia yang Daren, Aksa, dan sekarang ia, coba cari. Rahasia tentang Rhea, kakak Daren, yang hilang di sana.

“Rhea... Kakaknya Daren,” bisik Naya. “Aku nggak pernah dengar dia. Kayak nggak pernah ada di sekolah ini.”

“Mungkin dia benar-benar terhapus dari ingatan. Atau mungkin dia adalah admin D.K. yang asli,” kata Reina, mengarahkan mouse untuk mengekstrak file zip itu.

Proses ekstraksi berjalan lambat, memakan waktu karena ukuran file yang sangat besar. Reina menatap layar, kegelisahannya memuncak.

Ini bukan lagi tentang Aksa atau Zio. Ini tentang siapa yang berada di balik kebenaran ini.

Saat progress bar mencapai 99%, Reina merasakan bahunya disentuh.

Ia menoleh cepat.

Naya berdiri di sampingnya, tapi tatapannya kini kosong.

“Rei… aku harus bilang. Aku ingat sesuatu.”

“Apa?”

“Aku… aku nggak pernah punya kakak yang namanya Clara Wijaya,” kata Naya, suaranya datar, tanpa emosi. “Aku cuma punya adik laki-laki. Dia hilang di sekolah ini lima tahun lalu. Dia… dia yang bikin aku takut sama Gedung Lama.”

Reina mematung. Ingatan Naya baru saja kembali. Tapi ingatan yang kembali itu menghapus Clara, kakak tiri yang Naya bicarakan.

Lantai Tujuh tidak hanya memutar waktu, tapi juga menukar ingatan. Naya telah diprogram untuk mengingat Clara Wijaya—siswa yang hilang—hanya untuk menutupi ingatan yang lebih menyakitkan: adik laki-lakinya sendiri yang menjadi kurban Lantai Tujuh.

“Reina,” Naya menyentuh lengan Reina. “Aku rasa aku yang harus disalahkan. Aku yang mendorong adikku ke lift itu. Karena aku cemburu pada dia.”

Rasa bersalah. Lantai Tujuh. Naya adalah kurban berikutnya.

100% Extraction Complete.

Reina mengabaikan Naya. Ia harus fokus. Di layar, folder baru terbuka, berisi file video.

Ia mengeklik file pertama.

“Mirror Room: Eksperimen - D.K., A.L., R.W., J.F.”

D.K. (Daren Kurniawan), A.L. (Aksa, yang nama lengkapnya Aksa Laksana), R.W. (Rhea Wijaya, kakak Daren—sekarang Reina tahu nama lengkapnya), dan J.F. (kemungkinan siswa keempat).

Mereka semua adalah otak di balik kegilaan ini.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!