Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26
Begitu langkah mereka memasuki rumah, suasana mendadak terasa berat. Udara di antara mereka seperti membeku, sarat dengan ketegangan yang tak terucapkan. Viola menundukkan kepala, sementara Arga membisu, menahan semua kalimat yang bergolak di dalam hatinya.
Ia membuang napas keras, melemparkan kunci ke atas meja dengan kasar. Bunyi logam yang menghantam permukaan kayu itu membuat Viola tersentak kecil, namun ia tetap diam, membiarkan rasa bersalah membelenggunya.
Arga berjalan menuju jendela, membelakangi Viola, menatap malam yang gelap di luar sana. Tangannya terkepal di sisi tubuh, menahan perasaan yang ingin meledak.
Viola menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang. Ia tak tahan melihat punggung Arga yang terasa begitu jauh, begitu dingin.
Dengan langkah ragu, Viola mendekat.
"Arga..." suaranya lirih, hampir seperti bisikan yang tertelan udara.
Arga tidak menoleh. Ia hanya diam, membiarkan Viola berjuang sendiri mencari kata-kata.
"Aku... aku minta maaf," ucap Viola, suaranya bergetar. "Aku tahu... aku salah. Aku seharusnya tidak membiarkan Dhani mendekat... atau bahkan berbicara terlalu lama dengannya."
Arga menghela napas panjang, matanya tetap menatap ke luar, seolah mencari kekuatan di balik kelamnya malam.
"Dia... dia bukan siapa-siapa lagi bagiku, Arga," lanjut Viola, suaranya mulai parau. "Aku sudah lama membuang semua rasa itu. Yang ada di hatiku sekarang... hanya kamu."
Akhirnya, Arga berbalik perlahan. Matanya menatap Viola dengan tatapan yang sulit dibaca—antara marah, kecewa, dan terluka.
"Kamu yakin?" tanyanya pelan, namun tajam. "Yakin kalau Dhani benar-benar tidak berarti apa-apa lagi untukmu?"
Viola mengangguk cepat, air matanya jatuh satu-satu. Ia menggenggam tangan Arga dengan erat, seolah takut pria itu menghilang dari genggamannya.
"Aku yakin," bisiknya.
Arga menatap Viola lama, seolah berusaha menembus hatinya, memastikan bahwa kata-katanya bukan sekadar janji kosong.
Kemudian, ia mengangkat tangan, menyentuh pipi Viola yang basah oleh air mata. Sentuhannya lembut, penuh keraguan.
"Kalau begitu..." suaranya rendah, serak menahan emosi, "aku ingin kau buktikan."
Viola menatapnya dengan mata membulat. "B-buktikan?"
Arga mengangguk pelan, masih menatap matanya dalam-dalam. "Aku ingin malam ini... kau sepenuhnya jadi milikku. Bukan hanya tubuhmu..." Ia mengusap pelipis Viola dengan ibu jarinya. "Tapi hatimu, jiwamu... seluruh dirimu."
Viola terisak kecil, rasa haru memenuhi dadanya. Ia merasakan ketulusan dalam setiap kata Arga, ketulusan yang lahir dari luka, dari rasa takut kehilangannya.
"Aku... aku tidak tahu ," jawab Viola akhirnya, dengan suara bergetar. "apa kamu benar-benar menginginkannya?"
"Tentu saja, aku ingin kamu hanya jadi milikku saja, orang lain tidak berhak menyentuhmu sedikitpun.
"Baiklah Arga, lakukanlah apa yang kamu mau. aku pasrah."
Arga menarik Viola ke dalam pelukannya, erat, seolah tak mau membiarkan jarak sekecil apa pun di antara mereka. Ia mencium puncak kepala Viola, membisikkan kata-kata yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua.
"Malam ini... hanya kita berdua. Tak ada lagi masa lalu. Tak ada lagi orang ketiga. Hanya kamu dan aku."
Viola mengangguk dalam pelukannya, merasa hangat, merasa aman. Seolah dunia luar tidak lagi penting, karena satu-satunya yang berarti adalah detak jantung Arga yang berdetak serempak dengan miliknya.
Malam itu, mereka mengukir janji yang tak terucap, namun terpatri kuat dalam hati mereka berdua.
**
**
Malam perlahan merambat turun, membawa sunyi yang menggantung berat di udara. Di depan meja rias, Viola duduk diam, menatap bayangannya sendiri di cermin. Jemarinya yang ramping saling meremas di atas pangkuan, memperlihatkan kegelisahan yang tak mampu ia sembunyikan.
Ia menghela napas panjang. Sepanjang beberapa menit terakhir sejak percakapan mereka, pikirannya berkecamuk. Seolah semua kata-kata Arga tadi terus berulang di telinganya, memukul-mukul pertahanan hatinya yang rapuh.
"Apakah aku... benar-benar siap?" bisiknya pada dirinya sendiri, matanya menerawang ke pantulan kaca.
Ia tahu, Arga pria yang baik. Bertanggung jawab. Bahkan dalam segala kekurangannya—termasuk latar belakang yang tak seberapa jika dibandingkan dengan keluarganya—Arga selalu memperlakukan dirinya dengan hormat dan penuh kasih sayang. Tak pernah sekalipun Arga membuatnya merasa rendah, tak pernah juga pria itu memperlihatkan ketidakdewasaan yang biasa ia temui dari pria-pria lain.
Namun... menyerahkan diri? Itu bukan keputusan kecil.
Viola menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan degup jantung yang terasa tak beraturan.
Tiba-tiba, pintu kamar berderit pelan. Viola menoleh cepat, dan di ambang pintu, berdirilah Arga. Tubuh tingginya bersandar santai, namun sorot matanya tajam menembus ke arahnya, membuat darah Viola berdesir kencang.
Langkah Arga perlahan mendekat, namun terasa berat, seolah masing-masing inci yang mereka kurangi dari jarak itu membawa beban emosi yang besar.
Viola meremas rok tipis yang ia kenakan, gugup tak menentu.
Arga berhenti tepat di belakangnya, menatap Viola melalui pantulan cermin. Suasana kamar dipenuhi keheningan yang aneh—bukan keheningan biasa, melainkan keheningan penuh ketegangan, penuh perasaan yang menggantung di udara.
"Viola," panggil Arga dengan suara rendah dan serak. "Apa kau... sudah siap?"
Pertanyaan sederhana itu terdengar seperti ledakan di dalam kepala Viola. Ia menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab.
Dengan perlahan, Viola berdiri. Ia membalikkan tubuhnya, kini berhadapan langsung dengan pria yang begitu ia cintai itu.
"Aku..." Viola menarik napas dalam-dalam. "Aku takut."
Arga mengerutkan kening, ekspresinya melembut. Ia mengangkat tangan, menyentuh pipi Viola dengan lembut, membelai seolah wanita di hadapannya itu adalah sesuatu yang rapuh dan berharga.
"Aku tak akan memaksamu," katanya pelan. "Tak perlu ada ketakutan di antara kita. Aku hanya ingin... malam ini menjadi tentang kita. Tentang cinta kita. Tentang kepercayaanmu padaku."
Viola menatap matanya, mencari kejujuran di sana. Dan ia menemukannya—ketulusan, rasa hormat, dan cinta yang begitu nyata.
Air mata menggenang di sudut matanya, bukan karena sedih, melainkan karena haru.
"Aku percaya padamu, Arga," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku mau... aku mau malam ini... aku hanya ingin bersamamu."
Senyum kecil, tulus, terukir di bibir Arga. Ia menarik Viola dalam pelukan hangat, membiarkan tubuh wanita itu melebur dalam dekapannya.
"Terima kasih," bisik Arga, mencium ubun-ubun Viola dengan penuh rasa.
Malam itu, di bawah temaram lampu kamar dan di antara napas-napas bergetar, mereka menyerahkan diri satu sama lain. Tanpa paksaan, tanpa keraguan, hanya ada cinta yang mengalir lembut, menyatukan dua jiwa yang saling memilih untuk bertahan bersama, apapun yang terjadi.
Bersambung
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran