Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.
Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.
Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Dunia yang tak pernah ia tahu sebelumnya.
Mulai saat itu, dunianya pun berubah.
(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Kami memasuki pintu raksasa. Sebuah aula yang amat luas terbentang. Lampu-lampu bercahaya bak bintang menghiasi langit-langit. Kerumunan manusia memenuhi mata. Ternyata lebih ramai dari yang kuduga. Pantas saja banyak stan yang berjejeran.
Berdasarkan denah tadi, stan yang kami pilih berada dekat dengan panggung. Sebuah stan makanan ringan bertemakan makanan Jepang. Di sana sudah terdapat tiga orang staf yang menunggu. Oleh karena itu, tugas kami adalah menggaet pelanggan.
Aku belum pernah berjualan sebelumnya. Apalagi menjadi sales yang menjajakan barang dagangan. Tapi, menurutku, kegiatan seperti ini sangat bagus sebagai sarana untuk membiasakan diri berinteraksi dengan orang lain.
Awalnya, kukira pekerjaan idol itu hanya menari dan menyanyi. Setelah menjalaninya sendiri, ternyata membutuhkan kemampuan public speaking yang baik. Interaksi juga salah satu hal penting untuk menghargai usaha dan uang yang dihamburkan para fans.
Sebagai contoh, para senior kami yang namanya cukup dikenal khalayak, mereka semua jago kalau soal berbicara di hadapan banyak orang. Sementara, anggota yang minim interaksi harus rela berakhir di belakang mereka.
Benar. Kalau aku ingin menjadi terkenal, langkah awalku adalah harus bisa mendapat banyak pelanggan sekarang.
Meski bertekad begitu, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Sementara aku kelimpungan, Viola membawa sebuah megafon yang entah didapat dari mana sambil tersenyum penuh kemenangan.
"Ayo kita bawa makanannya," titahnya.
"Buat?"
"Namanya juga promosi, percuma dong kalo teriak-teriak doang?"
Aku mengangguk ragu. Meski begitu, tetap bergerak mengambil nampan. Di atasnya terdapat beberapa piring yang berisi makanan yang sedang dijual.
Hm ... benar juga. Stan makanan ini berkonsep minimalis. Hampir semua furniturnya berwarna merah. Membuat tak ada yang tau apa yang dijual disini kecuali mendekat dan membaca daftar menunya.
Entah memang sengaja dirancang begitu, atau memang pihak penyelenggaranya tidak peduli, aku tidak tahu.
Setelah menjelaskan pada staf, aku kembali ke depan stan, tempat di mana Viola menunggu. Viola menyalakan megafon. Bicara setengah memekik melaluinya.
"Selamat sore semuanya! Aku Viola dari Flow generasi ke tiga, semuanya salam kenal ya!" Ucapnya dengan percaya diri.
Orang-orang mulai melirik kami.
"Bagi yang lapar, bisa mampir kesini, murah kok!" Ucap Viola lancar, seolah sudah terbiasa.
Aku juga ikut menimpali, "ayo, Kak! Dango-nya, kaarage-nya, enak lho, Kak!" Pekikku.
Karena tak menggunakan megafon, aku berusaha memekik lebih kencang.
Selang beberapa menit tak berhenti, mendekat seorang lelaki. Mengenakan kemeja putih rapi dengan rambut klimis. Matanya menatapku intens di balik kacamata yang ujungnya sedikit retak.
Kulontarkan senyum untuk menyambut kedatangannya. Sontak bertanya, "mau beli apa, Kak?"
"Kaarage-nya tiga."
"Baik, Kak. Sebentar ya! Kuambilkan yang masih hangat dulu, oke?"
"Enggak usah, enggak apa-apa. Yang kamu bawa aja."
Huh?
"Tapi, ini sudah dingin lho."
"Justru yang kamu bawa yang aku mau."
Sambil terheran, kubungkus pesanannya. Kuberikan bersamaan dengan senyumku.
"Terima kasih ya, Kak. Sudah jadi pelanggan pertama kami."
"B-begitu? A-aku juga terima kasih." Ucapnya terbata.
"Terima kasih ya, Kak!" Timpal Viola.
Setelah itu, pembeli mulai berdatangan silih berganti.
Ternyata berjualan pun tak semudah yang kupikirkan. Ada beragam macam pembeli yang datang.
Mulai yang tak ingin yang hangat seperti tadi. Ada yang bawel. Ada yang tak banyak bicara. Ada yang meminta saus lebih banyak. Ada yang meminta bonus. Ada yang cuma ingin mengobrol dengan kami tanpa beli apapun. Ada yang bertanya kesterilannya.
Memang sih, manusia di dunia ini sangat banyak dan beragam. Karena itu, para pembeli yang kutemui, menyadarkanku betapa luasnya dunia dan betapa banyaknya ragam manusia yang kelak akan kutemui nanti.
Benar. Ini hanyalah langkah awal.
Kami berdiri hampir satu jam. Bergantian menggunakan megafon. Selama itu, barang dagangan kami bisa dibilang cukup laku.
Sebenarnya kami ingin terus lanjut, terlebih Viola yang merasa untungnya banyak. Tapi, nanti malam kami mesti tampil, bisa gawat kalau kehabisan suara sebelum tampil.
Karena itu, kuingatkan Viola tentang hal itu. Untungnya ia menurut. Kami pun memutuskan untuk beristirahat.
...----------------...
Kakiku ngilu. Tenggorokanku memanas. Pikiranku seakan berkabut. Ditanyai orang banyak sekaligus ternyata memusingkan. Lebih pusing daripada tugas membuat karangan cerita. Kalau diteruskan, rasanya aku tak akan bisa tampil maksimal.
Tidak! Tidak boleh! Ini penampilan pertamaku. Aku harus memberikan yang terbaik.
Sebenarnya kami ingin ke ruang ganti untuk beristirahat dengan tenang, tapi rasanya, di sana pun, mungkin siapapun tak akan bisa tenang. Karena bisingnya tak berbeda jauh dengan di sini.
Karena itu, kami memutuskan untuk istirahat di stan saja. Staf menyuruh kami mengambil makanan yang kami inginkan secara cuma-cuma. Viola pun matanya amat berbinar.
Kami duduk di kursi kosong di pojokan. Membawa nampan penuh berisi makanan. Semua menu yang dijual, ada di atasnya. Sebenarnya aku malu mengambil sebanyak ini, tapi kata Viola, mumpung ada, jangan di sia-siakan. Ia pun mengambilkan porsi milikku lebih banyak.
Kami duduk, menikmati santapan yang dari tadi kami jajakan. Sembari melihat pemandangan sekeliling yang tak berkurang kepadatannya. Bahkan makin memadat. Karena tempat kami yang dekat dengan stage, kami bisa menyimak apa yang sedang terjadi.
Kak Chika, Kak Nadia, Kak Olivia, beserta beberapa orang lainnya sedang melakukan sesuatu di atas panggung. Sambil menikmati gurihnya rasa kaarage, pandanganku tak lepas dari mereka. Kulihat Kak Chika yang sedang aktif bercerita,
"Jadi kemarin tuh Olivia makan telur pakai mayones, kutegurlah dia, 'makan kok telur semua, enggak enek apa?', gitu. Eh dia malah bingung. Pas kutanya, 'kamu tau enggak mayones dari apa? Dari telur tau!' terus mukanya kaya kaget gitu. Ternyata dia enggak tau! Selama ini dia pikir mayones dari apa? Kedelai?"
Sontak penonton tertawa terpingkal-pingkal. Aku terkejut. Mulutku ternganga. Raut wajahnya di panggung kontras sekali dengan yang ia tunjukkan sehari-hari. Tatapannya yang hangat, suaranya yang lemah lembut, membuatku tak percaya kalau ia adalah Kak Chika yang kukenal.
Memang dibilang kenal sih tidak terlalu. Hanya saja aku yang pernah berinteraksi langsung —bahkan menelan sumpah serapahnya— tak menyangka ia bisa bersikap seanggun itu.
Bagaimana ia bisa terlihat seperti orang lain ketika di atas panggung? Pantas saja ia banyak disukai orang-orang. Coba dari awal sikapnya seperti itu, mungkin saja ia bisa punya banyak teman.
Jika dipikir-pikir, sudah seperti mimikri saja.
Tiba-tiba saja ada sebuah pertanyaan yang timbul dalam kepalaku. Mana Chika Chantika yang sebenarnya? Dirinya yang manakah yang asli? Sosoknya yang ia perlihatkan sehari-hari ataukah yang kalem seperti sekarang ini?
Entahlah, aku malah menjadi bingung dibuatnya.
Lebih baik memikirkan penampilanku nanti deh.
Segera kulahap karaage yang tersisa. Kulontar wadah ke tempat sampah terdekat. Berdiri merenggangkan badan sembari menunggu Viola selesai. Viola yang melihatku, bergegas menghabiskan makanannya.
Waktu petang mulai menipis. Waktu tampil kami pun akan segera datang. Belum lagi diperkuat oleh bunyi ponsel yang berdering bersamaan. Sebuah panggilan. Pengingat untuk kami.
Kami berdua mempercepat langkah. Kembali ke ruangan ganti untuk berkumpul. Di tengah jalan, mataku menemukan Anna sedang berjalan sendirian dengan tatapan kosong.
Aku baru ingat lagi soal dirinya. Sambil berjualan tadi, aku terus memperhatikan stan lain, tapi tak kudapati ia dimanapun. Mungkin karena ia ingin fokus, ia tak mengambil tugas lain. Mungkin?
Kami yang selalu bertiga, merasa ada yang kurang. Melihatnya yang seperti itu membuat hatiku tak tenang. Sebagai teman, aku merasa tak bisa membiarkannya terus seperti itu. Mungkin aku harus bicara dengannya.
Kupercepat langkah. Sekejap, lagi-lagi lengan kananku tertahan. Sontak menoleh ke samping.
"Kan sudah kubilang buat biarin dia?"
"Enggak bisa, Vi, aku enggak bisa biarin dia. Dia itu ... temanku."
"Tapi kamu enggak tau apa-apa!"
"Memang, makanya, aku harus ngomong langsung sama dia."
Tanpa menoleh lagi, kulepas paksa lenganku dari genggamannya. Mempercepat langkah agar dapat mengejarnya.
"An, kamu enggak apa-apa?"
Ia nampak kaget menatapku yang datang tiba-tiba.
"A-aku ... baik kok. Jangan khawatir." jawabnya sedikit terbata.
"Aku sudah tau kok kalau kamu jadi center nanti. Viola yang cerita."
Anna mengangkat alis lebih tinggi.
"Aku yakin semua orang pasti gugup di kondisi seperti ini. Aku, Viola dan yang lainnya pun, aku yakin pasti gugup. Apalagi melihat banyaknya penonton hari ini. Aku yakin kamu pun begitu."
Kusambar kedua tangannya. Kugenggam dengan kedua tanganku. Dingin dan basah. Tangannya yang lembut dan mungil itu terasa bergetar.
"Tuh kan, tangan kita sama."
Tanganku sama bergetarnya. Ajaibnya, ketika disatukan, getarannya justru menghilang.
"Tenang aja, An. Kamu itu enggak sendirian."
Ia mengangguk dalam. Aku tersenyum cerah. Ia membalas dengan senyum kecil. Kudekatkan kepalaku. Saking dekatnya, hingga membuat keningku bersentuhan dengan keningnya.
"Kalau kamu butuh energi, ambil aja energiku. Serap aja, Enggak apa-apa." Ucapku sambil menatap matanya yang sangat dekat itu.
Anna nampak terperanjat. Mungkin tak menduga dengan keisenganku. Ia pun menutup mata. Mengambil napas panjang. Menghembuskannya dengan hembusan yang tak kalah panjang.
"Sip. Udah kuambil energimu." Sahutnya.
Kening kami kembali terpisah. Aku merasa air mukanya berubah. Entah kenapa, lebih cerah daripada sebelumnya.
"Thanks ya, Rana."
"Oh enggak perlu itu."
Mendadak tangan ke tiga datang. Menggenggam tangan kami berdua dengan erat.
"Bukan aku lho, An, tapi Rana sendiri yang ngeyel." Suara Viola terdengar tepat di sampingku.
"Enggak apa-apa, Vi."
Senyum manis itu kembali terbit dari bibirnya. Karena kami telah berkumpul, kami pun berjalan bersama ke ruang ganti.