Halwa adalah siswi beasiswa yang gigih belajar, namun sering dibully oleh Dinda. Ia diam-diam mengagumi Afrain, kakak kelas populer, pintar, dan sopan yang selalu melindunginya dari ejekan Dinda. Kedekatan mereka memuncak ketika Afrain secara terbuka membela Halwa dan mengajaknya pulang bersama setelah Halwa memenangkan lomba esai nasional.
Namun, di tengah benih-benih hubungan dengan Afrain, hidup Halwa berubah drastis. Saat menghadiri pesta Dinda, Halwa diculik dan dipaksa menikah mendadak dengan seorang pria asing bernama Athar di rumah sakit.
Athar, yang merupakan pria kaya, melakukan pernikahan ini hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibunya yang sakit keras. Setelah akad, Athar langsung meninggalkannya untuk urusan bisnis, berjanji membiayai kehidupan Halwa dan memberitahunya bahwa ia kini resmi menjadi Nyonya Athar, membuat Halwa terombang-ambing antara perasaan dengan Afrain dan status pernikahannya yang tak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Keesokan paginya, Halwa membuka matanya. Ia merasakan kehangatan dan kelembutan.
Ia melihat Athar tertidur pulas di kursi samping ranjang, tangannya masih menggenggam erat tangannya.
Namun, ingatan buruk tentang Afrain dan uang yang dilemparkannya kembali berputar jelas di benaknya.
"Sayang, kamu sudah sadar?" tanya Athar, terbangun dari tidurnya.
Ia langsung mencium kening istrinya yang baru saja membuka matanya.
Melihat wajah suaminya, Halwa kembali menangis.
Semua rasa sakit, hinaan, dan ketakutan itu muncul lagi.
"Ssshh... ada apa? Kenapa menangis lagi, Hal?" tanya Athar, panik, ia mendekap Halwa hati-hati ke dalam pelukannya.
Halwa menceritakan semuanya, mulai dari ajakan Afrain, pergi diam-diam ke hotel, uang yang dilemparkan Afrain, hingga ciuman paksa dan hinaan.
Mendengar semua itu, terutama bagian uang dan ciuman paksa, mata Athar langsung memancarkan api kemarahan. Rahangnya mengeras.
"Brengsek! Dia berani menyentuh milikku? Aku akan menghabisinya!" Athar bangkit berdiri, niatnya jelas akan mencari Afrain.
"Jangan, Athar!" Halwa menarik tangan Athar.
"Kumohon, jangan. Aku tidak mau ada keributan besar. Aku hanya ingin semuanya berakhir."
Halwa melihat Athar yang berusaha menahan emosinya.
Athar kembali duduk di samping Halwa, menatap istrinya dengan tatapan dingin.
"Baik. Aku tidak akan menyentuhnya. Tapi dia tidak akan pernah bisa menyentuhmu lagi dan dia tidak akan pernah bisa merendahkanmu lagi." Athar mengambil napas dalam-dalam.
"Sepertinya aku harus mengadakan konferensi pers, Hal."
"Konferensi pers?"
"Ya. Untuk mengumumkan statusmu, Halwa. Bahwa kamu adalah Nyonya Athar Emirhan yang sah, bukan sekadar 'anak sekolah' atau 'wanita simpanan om-om'. Semua orang harus tahu." Athar menatap Halwa lurus-lurus. "Apakah kamu sudah siap?"
Halwa menganggukkan kepalanya dan setuju dengan permintaan suaminya.
"Aku siap, Athar. Aku ingin mengakhirinya. Aku tidak mau dihina lagi."
Athar tersenyum, senyum bangga dan penuh kepemilikan. Ia mengambil ponselnya.
"Yunus, siapkan konferensi pers. Kumpulkan semua media cetak dan online terbesar. Aku akan mengumumkan status pernikahan dan istriku nanti siang, tepat jam dua belas. Jangan ada yang terlewat." Athar memberikan instruksi tegas kepada Yunus.
Athar mematikan teleponnya dan menggenggam tangan Halwa.
"Mulai hari ini, dunia akan tahu siapa kamu, Sayang. Tidak ada lagi yang berani menyentuh atau merendahkanmu."
Perawat senior masuk ke kamar, mengganggu momen serius antara Athar dan Halwa.
Perawat itu tersenyum ramah dan mulai memeriksa keadaan Halwa.
"Selamat pagi, Nyonya Halwa. Kondisinya sudah lebih baik, demamnya sudah turun," ucap perawat sambil memeriksa infus dan mencatat pada buku catatan.
Ia kemudian beralih ke nampan makanan yang sudah disiapkan di meja samping.
"Nyonya, Tuan Athar, tolong pastikan Nyonya Halwa menghabiskan sarapannya. Nasi tim dan bubur ini sangat baik untuk mengembalikan energi. Anda butuh banyak tenaga."
Halwa menganggukkan kepalanya pelan.
Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk, dan salah satu pelayan pribadi Athar, yang biasa mengurus kebutuhan pakaian, masuk dengan membawa tas pakaian yang ditata rapi.
"Maaf mengganggu, Tuan Athar. Pakaian ganti Anda dan Nyonya Halwa sudah saya siapkan," lapor pelayan itu, menunduk hormat.
"Bagus. Taruh di sana, dan kamu boleh pergi."
Pelayan itu meletakkan tas di sofa dan segera keluar.
Di dalamnya terdapat setelan jas Athar yang baru dan rapi, serta satu set pakaian santai yang elegan untuk Halwa.
"Cepat habiskan sarapanmu, Hal," perintah Athar, berdiri dan mengambil pakaiannya.
"Aku akan mandi dan bersiap. Setelah ini, kita akan mengubah segalanya."
Halwa mulai menyuapkan buburnya perlahan, sementara Athar masuk ke kamar mandi VVIP.
Kehadiran pakaian itu mengingatkan Halwa bahwa drama terbesarnya akan segera dimulai di depan publik.
Namun, kali ini, ia tidak sendiri. Ia didampingi oleh Athar.
Sementara itu, di sekolah, Afrain duduk sendirian di kelasnya yang mulai ramai. Wajahnya gelap.
Ia mencengkeram erat kedua tangannya di bawah meja dengan penuh amarah.
"Kamu mempermainkan ketulusan dan perasaanku, Halwa," gumam Afrain, giginya bergemeletuk.
"Setelah semua yang kita lalui, kamu memilih dengan lelaki kaya itu. Kamu memilih uang dan kemewahan dibanding aku!"
Afrain mengingat lagi foto-foto yang ia ambil semalam.
Kemarahannya bercampur dengan rasa sakit dan dendam.
Di tempat lain, di kamar VVIP rumah sakit, Athar sudah selesai berpakaian rapi dengan setelan jas hitam elegan.
Ia menghampiri Halwa yang sudah selesai sarapan.
Dengan sangat hati-hati, Athar membantu istrinya memakai gaun blouse sutra yang ia siapkan, berwarna krem lembut, serta rok pensil yang modis, menyamarkan bekas-bekas luka batin dan fisik Halwa.
Ia juga dengan telaten membantu Halwa berdandan sederhana, menyentuh pipi Halwa yang masih sedikit pucat.
"Kamu terlihat luar biasa, Sayang. Siap untuk membuat semua orang bungkam?" bisik Athar, mencium puncak kepala Halwa.
Halwa tersenyum, meski ada sedikit rasa gugup.
"Selama kamu ada di sisiku, Athar."
Tak lama kemudian, perawat datang membawa kursi roda. Karena Halwa belum pulih 100%, Athar tidak mau mengambil risiko.
"Aku akan menggendongmu, Hal. Tapi kita pakai ini untuk menjaga energimu," ucap Athar.
Ia mengangkat Halwa dengan mudah ke kursi roda.
Athar mendorong kursi roda Halwa keluar dari kamar.
Yunus sudah menunggu dengan mobil di lobi rumah sakit.
Mereka segera menuju ke hotel termewah di kota, tempat Athar akan mengadakan konferensi pers mendadak untuk mengumumkan siapa Nyonya Athar Emirhan sesungguhnya. Dunia akan segera tahu.
Sesampainya di lobi hotel mewah itu, suasana sudah kacau balau.
Puluhan wartawan dari berbagai media, kamera, dan mikrofon sudah berkumpul.
Mereka semua menunggu dengan penasaran pengumuman penting yang mendadak dari Athar Emirhan.
Saat pintu lift terbuka, sorotan lampu flash langsung menyambar.
Halwa dan Athar menjadi pusat perhatian. Athar dengan tenang mendorong kursi roda istrinya, tubuhnya menjadi perisai bagi Halwa.
Athar tidak membiarkan siapa pun mendekati istrinya.
Di atas panggung konferensi pers, Athar berdiri tegap di samping Halwa yang duduk di kursi roda.
Halwa, meskipun pucat, tampak elegan dan mahal dalam balutan busana yang Athar pilihkan.
Acara dimulai. Setelah sedikit basa-basi, Athar langsung ke intinya.
"Saya mengumpulkan kalian semua hari ini untuk mengklarifikasi dua hal," ucap Athar dengan suara mantap, tatapannya menguasai ruangan.
"Pertama, saya mengumumkan bahwa Nyonya Halwa Emirhan adalah istri sah saya. Kami telah menikah secara resmi, dan dia adalah satu-satunya wanita yang mendampingi saya. Kedua, saya akan mengambil tindakan hukum terhadap siapa pun yang berani merendahkan, menyentuh, atau menyebarkan fitnah tentang istri saya, termasuk para senior yang menyeretnya ke dalam masalah kekanak-kanakan."
Semua wartawan terkejut mendengar pengumuman blak-blakan tersebut.
Mereka tidak menyangka bahwa CEO muda dan tertutup itu ternyata sudah menikah, apalagi dengan seorang gadis yang masih mengenakan seragam sekolah.
Suara bisikan dan jepretan kamera makin tak terkendali.
Sementara itu, di sekolah, berita itu menyebar secepat kilat melalui ponsel. Semua siswa heboh.
Desas-desus yang selama ini beredar bahwa Halwa bersama 'om-om kaya'—ternyata benar, tetapi dengan status yang sah sebagai istri.
Para guru, yang selama ini mencurigai Halwa, juga tercengang.
Dinda yang baru saja akan merencanakan balas dendam, jatuh lemas di bangkunya.
Di kelasnya, Afrain yang sedang memegang ponsel, melihat live streaming konferensi pers itu.
Ia melihat Athar mencium punggung tangan Halwa, menegaskan kepemilikannya di depan jutaan pasang mata.
Afrain mencengkeram ponselnya hingga buku jarinya memutih.
"Halwa sudah menikah? Dia membohongiku? Dia bukan pacarku, dia adalah istri pria itu!" Afrain diliputi amarah yang bercampur dengan rasa sakit dan pengkhianatan yang tak terperi.
Di tempat lain, Onur yang menonton berita itu di kantornya di Turki, langsung membanting gelas whisky di tangannya ke lantai. Kaca pecah berserakan.
"Sial! Gadis itu! Dia sudah mengikat Athar! Rencana kita gagal!" raung Onur, wajahnya merah padam.
Di rumah Afrain, Ibu Dyah sedang menonton televisi sambil menikmati teh sore.
Tiba-tiba, tayangan berita utama menampilkan Athar dan Halwa.
"Halwa, menikah?" Ibu Dyah terkejut. Ia mengingat betapa tulusnya ia menyambut Halwa sebagai calon menantu.
Ia juga ingat bagaimana Afrain mencintai gadis itu.
Jantung Ibu Dyah berdebar kencang. Rasa syok dan kekecewaan atas nasib putranya menghantamnya begitu keras.
Ibu Dyah memegangi dadanya. Dalam sekejap, ia ambruk dari kursinya.
Ibu Afrain meninggal dunia di rumahnya, tanpa ada yang menyadari, meninggalkan Afrain sendirian menghadapi kenyataan pahit bahwa ia telah kehilangan Halwa, dan kini, ia akan segera kehilangan ibunya tanpa ia ketahui.