Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harus saling menguntungkan
Sebuah undangan tergeletak di atas meja tanpa ingin Nadira sentuh. Undangan itu ia dapatkan dari Arina yang beberapa jam lalu mampir di rumahnya. Dada Nadira bergemuruh, ia merasa takdir sedang mempermainkannya.
Hubungan dia dan Rafka baik-baik saja belakangan ini, bahkan mereka sempat menghabiskan malam yang panjang setelah pulang liburan dari vila. Kemarin pun mereka sempat bertemu dan terjadi pertengkaran kecil, sebab Rafka meminta agar hubungan mereka berakhir.
Namun, Nadira tidak setuju akan hal itu. Dia sudah meninggalkan segalanya demi Rafka, dan pria itu ingin meninggalkannya pula? Itu tidak akan terjadi.
Gelas yang semula di tangan kini melayang ke udara dan terhempas di lantai. Terbagi menjadi puing-puing kecil yang bisa melukai siapa saya yang menyentuhnya.
Mata wanita itu memerah, rasanya berteriak sampai suara hilang belum mampu meredakan rasa sakit dikhianati. Belum sampai 24 jam mereka bertengkar tetapi ia sudah mendapatkan undangan pernikahan.
"Nggak bisa, aku sudah meninggalkan segalanya demi dia," gumam Nadira.
Wanita itu meninggalkan rumah dengan membawa undangan pernikahan Rafka. Tujuannya tidak lain adalah Agensi, berharap Rafka ada di sana. Sejak tadi ia menghubungi kekasihnya tersebut, tetapi tidak satu pun panggilannya dijawab.
"Rafka ada?" tanya Nadira pada staf yang kebetulan Nadira temui ketika memasuki gedung agensi.
"Pak Rafka nggak masuk hari ini."
"Oke."
Nadira pun kembali melajukan mobilnya, kali ini menuju apartemen di mana mereka biasa menghabiskan malam yang panjang. Ia memencet bel berulang kali, tetapi tidak ada jawaban apapun.
Namun, bukan Nadira namanya jika cepat menyerah. Ia melakukan hal yang sama berulang kali sampai akhirnya pintu itu di buka. Memperlihatkan wajah bantal Rafka. Sepertinya baru bangun tidur di lihat dari penampilannya.
Pria itu hanya mengenakan celana pendek tanpa atasan, sehingga memperlihatkan perutnya yang berotot.
"Apa lagi Nadira?" tanya Rafka.
"Apa lagi? Kamu bertanya apa lagi?" Nada bicara Nadira langsung meninggi. "Setelah apa yang kamu lakukan padaku, kamu mempertanyakan kedatanganku Rafka?"
"Jangan bertele-tele, katakan apa maumu. Dan kecilkan suaramu, wanitaku bisa saja mendengarnya."
"Breng*sek!" Nadira melempar undangan Rafka ke wajah pemiliknya. "Aku meninggalkan suami dan anakku demi kamu Rafka, tapi apa yang kamu lakukan hah!"
Tangan Nadira mengepal mendapati Rafka terkekeh tanpa ada rasa bersalah.
"Siapa yang menyuruhmu meninggalkannya?"
Nadira terdiam, benar Rafka tidak pernah menyuruh meninggalkan Naren atau pun anak-anaknya. Dia sendiri yang meninggalkan sebab merasa Naren dan anak-anak hanya menjadi beban dan penghalang untuknya bahagia.
"Tapi kamu berjanji untuk menikahi jika aku meninggalkan Naren, tapi kenapa kamu malah menikah dengan orang lain?"
Rafka kembali tertawa, menatap Nadira lamat dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Menikah? Aku nggak punya hak untuk menentukan siapa yang harus aku nikahi. Menjadi pewaris nggak sesederhana yang kamu bayangkan Nadira. Menikah bagi kami adalah bisnis, harus saling menguntungkan. Jika menikahimu apa yang aku dapatkan? Orang tuaku akan membuangku."
Nadira mundur perlahan saat Rafka melangkah mendekatinya yang masih berdiri di ambang pintu. Ia menelan salivanya susah pahah ketika pria itu penyentuh rahangnya turun keleher kemudian kembali ke dagu.
Ia tersentak saat Rafkah menarik dagunya kasar dengan tatapan tajam.
"Jika aku mengambil resiko menikahimu dan jatuh miskin seperti suamimu, besar kemungkinan kamu akan berpaling. Wanita murahan sepertimu nggak pantas didapatkan oleh siapapun." Rafka senyum smirk.
"Hanya karena uang, kamu rela mende*sah di bawah tubuhku."
Lutut Nadira terasa lemas, ia jatuh terduduk tepat di depan kaki Rafka. Dunianya terasa hancur, ingatanya kembali pada Naren yang berjuang mati-matian untuk membahagiakannya. Namun, tidak sekalipun dirinya melihat pengorbanan Naren hanya karena kesenangan sesaat yang Rafka janjikan.
....
"Pulang bareng boleh?" tanya Shanaya pada Naren yang bersiap-siap untuk pulang. Pria itu kali ini mendapatkan sift pagi sehingga pulang jam 6 sore.
Akhir-akhir ini Shanaya lebih sering berkunjung ke apartemen Leona. Bahkan bisa betah berjam-jam.
"Boleh." Naren mengangguk, lagi pula tidak ada yang salah dengan memberi tumpangan pada Shanaya.
Keduanya berjalan beriringan memasuki lift. Di dalam sana terjadi keheningan. Naren dengan dunianya, begitupun Shanaya.
"Naren."
"Hm." Naren melirik Shanaya yang berdiri di sampingnya.
"Kalian benar-benar berpisah?"
Pertanyaan itu jelas membuat Naren terkejut, dia sama sekali tidak pernah menceritakan masalah rumah tangganya pada orang lain. Ya meski bagaimana pun cepat atau lambat perpisahan mereka akan diketahui orang-orang terdekat.
"Iya."
"Karena Nadira selingkuh?"
"Visi-misi kami dalam menata masa depan sudah berbeda."
"Sorry karena membahas hal personal. Aku hanya menangkap gelagat aneh kalian saat liburan. Kalian seolah orang nggak kenal. Terlebih Nadira sibuk terus dengan ponselnya bahkan di saat kamu ada di sekitar kami."
"Ayo, sebentar lagi hujan deras." Ajak Naren ketika pintu lift terbuka.
Naren bukan tipe pria yang akan menceritakan keburukan masa lalunya. Jika mereka sudah berakhir, maka tidak perlu menjelek-jelekkan satu pihak demi terlihat benar.
Dan sepertinya itu membuat Shanaya semakin kagum padanya.
"Arin akan datang bersama kekasihnya. Leona dengan kak Liam. Apa kamu bisa datang bersamaku?" tanya Shanaya setelah berada di dalam mobil, duduk tepat di samping Naren.
"Kemana?"
"Pernikahan sepupu aku."
"Rafka?" tanya Naren memastikan.
"Iya."
"Aku nggak bisa janji Shanaya." Naren melirik Shanaya dan wanita itu menganggukkan kepalanya.
"Kamu tahu Rafka memiliki kekasih?" lanjut Naren secara tiba-tiba.
Lantas Shanaya mengeleng, dia dan Rafka memang sepupuan tetapi mereka tidak begitu akrab apalagi untuk memperkenalkan pasangan satu sama lain.
"Nggak, tapi yang aku tahu Rafka bukan pria yang bisa diajak komitmen. Dia suka kebebasan. Kalau pun memiliki kekasih ...." Shanaya mengeleng, sepertinya sebutan kekasih tidak pantas untuk Rafka. "Kalau pun Rafka punya wanita, itu untuk mainan saja."
Raut wajah Naren langsung berubah. Ingatannya tertuju pada mantan istrinya yang entah sedang apa setelah tahu Rafka akan menikah.
"Kenapa Naren? Kamu kenal Rafka?"
"Hanya pernah mendengar namanya." Naren tersenyum. "Tujuanmu ke mana?"
"Masih ingat apartemenku?"
"Masih." Naren menganggukkan kepalanya. Dia pernah berkunjung beberapa kali ke apartemen Shanaya ketika masih di bangku kuliah. Tapi bukan sendirian, ada teman-teman bersamanya untuk mengerjakan tugas.
"Naren?"
Lagi Naren melirik Shanaya, entah kenapa ia merasa wanita di sampingnya suka sekali menyebut namanya.
"Uhm, aku boleh minta pendapatmu?" Sebenarnya bukan itu pertanyaan yang seharusnya keluar dari mulut Shanaya, hanya saja dia ragu sehingga mempertanyakan hal lain.
"Boleh."
Naren sesekali memperhatikan Shanaya yang mengeluarkan beberapa lembar kertas berisi sketsa sebuah pakaian.
"Aku mau launching produk baru, tapi belum menentukan sketsa mana yang harus jadi prioritas. Ini semua gambar Leona."
"Kamu kan sudah punya anak, sedikit tahu dong selera anak-anak, jadi mohon bantuannya." Shanaya menyengir.
"Serius kamu butuh pendapatku untuk produk barumu?"
.
.
.
.
.
.
Ayo Shanaya semangat, itu Nadira terserah mau ngapain👀
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren