NovelToon NovelToon
CINTA DARI MASA LALU

CINTA DARI MASA LALU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Kehidupan di Kantor / Fantasi Wanita
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: ASEP SURYANA 1993

Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.

Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?

Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.

Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 25 — Bisik-Bisik di Kantor

Kantor Vibe Media terasa berbeda pagi itu.

Ruangannya masih sama: aroma kopi, suara printer, dering telepon, dan langkah sepatu di karpet abu-abu.

Tapi atmosfernya... lain.

Lebih dingin.

Lebih penuh bisik-bisik.

Dan semua bisik-bisik itu punya satu nama di ujungnya:

Emma.

---

“Katanya dia nyerang Trisha di depan HR?”

“Serius? Kok berani banget lawan Liam?”

“Ya, tapi mungkin dia deket sama Ryan, makanya belain, kan?”

“Ah, aku dengar malah mereka berdua pacaran diam-diam.”

Emma menegakkan punggung, pura-pura tidak dengar.

Ia menyalakan komputernya, menatap layar kosong dengan rahang mengeras.

Samantha menatapnya dari meja seberang, khawatir. “Kau baik-baik saja?”

Emma mengembuskan napas pelan. “Kalau aku jawab ‘ya’, kau percaya?”

Samantha tersenyum simpati. “Tidak.”

Keduanya tertawa kecil, tapi canggung.

Emma tahu, Samantha satu-satunya orang yang masih berani bicara dengannya pagi itu.

---

Di sisi lain kantor, Ryan sedang menatap beberapa rekan yang berbisik sambil meliriknya.

Ia melangkah ke arah mereka dengan tenang, lalu berkata datar,

“Kalau kalian mau gosip, minimal pastikan ceritanya seru. Yang versi ini agak membosankan.”

Salah satu karyawan muda gugup, menunduk. “Maaf, Kak Ryan, kami—”

“Tenang,” potong Ryan dengan senyum tipis. “Aku cuma bosan aja denger versi setengah matang.”

Ia berjalan pergi dengan gaya santai, tapi di balik senyum itu, tangannya menggenggam kuat.

Ia tahu persis siapa yang memulai semua ini.

---

Ruang direktur.

Liam sedang berdiri di depan jendela, menatap kota New York yang berkilau di bawah sana.

Trisha duduk di kursi tamu, wajahnya tegang.

“Kenapa kau panggil aku?” tanyanya hati-hati.

Liam tidak menatapnya. “Kau hampir merusak rencanaku kemarin.”

Trisha menelan ludah. “Aku cuma—”

“Diam.”

Nada suaranya tenang, tapi dingin.

“Sekarang dengar. Kita tidak akan menyerang lagi secara langsung. Itu terlalu mencolok. Kali ini kita biarkan orang lain yang melakukannya untuk kita.”

Trisha mengerutkan kening. “Maksudmu?”

Liam berbalik, tersenyum samar. “Kau tahu bagaimana gosip bekerja, kan? Sedikit percikan, dan orang akan membakar dirinya sendiri.”

Ia melangkah mendekat, menatap Trisha tajam.

“Bocorkan ‘kabar kecil’ ke tim marketing. Sesuatu seperti… Ryan hanya bisa naik karena kedekatannya dengan Emma. Biarkan rumor tumbuh alami.”

Trisha menatapnya, ragu. “Itu bisa balik ke kita.”

“Tidak akan,” jawab Liam. “Kita hanya perlu memelihara narasinya dengan baik.”

Senyum dingin itu muncul lagi. “Kau tahu, Trish… reputasi adalah alat yang lebih kuat daripada bukti.”

---

Siang hari.

Emma baru saja keluar dari pantry dengan secangkir kopi ketika seseorang memanggilnya.

“Emma!”

Itu Michael, salah satu staf dari divisi desain.

“Bos mau kamu ke ruang rapat kecil, katanya ada revisi proyek internal.”

Emma mengangguk, sedikit lega — setidaknya ada urusan normal di tengah kekacauan.

Ia berjalan cepat ke ruang rapat yang dimaksud, mengetuk pelan, lalu masuk.

Tapi yang ada di sana bukan tim desain.

Hanya Liam, duduk santai di kursi dengan map di tangannya.

“Oh,” Emma berhenti di ambang pintu. “Saya kira ini rapat.”

“Rapatnya cuma kita berdua,” jawab Liam pelan. “Tutup pintunya.”

Nada itu terlalu lembut untuk perintah biasa, tapi cukup kuat membuat Emma menurut — meski dengan wajah kaku.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak Dawson?”

Nada suaranya datar, tapi matanya waspada.

Liam berdiri, melangkah perlahan ke arah papan tulis.

“Aku ingin bicara tentang profesionalisme.”

Emma tertawa pendek. “Ironis.”

Liam tersenyum kecil. “Kau berubah, Emma. Dulu kau pemalu, selalu menghindar dari konflik. Sekarang, kau datang ke rapat dan menantang atasanmu di depan HR.”

“Kalau atasan itu menutupi kebohongan, aku akan lakukan lagi,” jawabnya cepat.

Liam mendekat satu langkah, menatapnya tajam.

“Berhati-hatilah, Emma. Dunia kerja bukan tentang benar atau salah. Ini tentang siapa yang bisa membuat orang percaya pada versinya.”

Emma menatap balik tanpa gentar. “Kalau begitu, saya akan pastikan versi saya yang dipercaya.”

Hening.

Ketegangan menggantung di udara, nyaris bisa didengar.

Liam akhirnya berbalik ke arah meja, suaranya lebih lembut.

“Dan tentang Ryan…”

Emma menegang.

“Kami sedang meninjau ulang statusnya,” lanjut Liam santai. “Beberapa divisi mulai ragu apakah dia cocok di tim kreatif. Kupikir kau harus tahu.”

Emma mengepalkan tangan. “Kau tidak punya alasan memecatnya.”

“Oh, aku tidak bilang akan memecat.”

Liam memiringkan kepala sedikit, menatapnya penuh makna.

“Tapi jika seseorang kehilangan dukungan di kantor, terkadang dia akan memilih mundur sendiri.”

---

Sore harinya, rumor itu resmi meledak.

Slack kantor Vibe Media penuh pesan pribadi.

Beberapa akun anonim mengunggah komentar di forum internal:

> “Ryan dipromosikan karena pacaran sama Emma?”

“Bisa-bisa skandal HR nih.”

“Wow, ternyata yang kayak gitu masih kejadian juga.”

Emma membaca satu per satu dengan jantung berdebar.

Wajahnya panas, bukan karena malu — tapi marah.

Ryan datang ke mejanya beberapa menit kemudian, wajahnya gelap.

“Mereka gila,” katanya pelan. “Siapa yang nyebar ini?”

Emma menatap layar. “Aku tahu siapa. Tapi kalau kita balas frontal, mereka menang.”

Ryan menatapnya lama, menahan emosi. “Jadi, kita diem aja?”

Emma menatapnya balik. “Nggak. Kita main lebih pintar.”

---

Malamnya, Emma duduk di apartemennya, menatap laptop.

Ia mulai menulis sesuatu — bukan email, bukan laporan.

Tapi artikel internal anonim di forum kantor, berjudul:

“Kapan Kantor Jadi Tempat Gosip, Bukan Kerja?”

Ia menulis dengan kalimat tajam tapi cerdas, menyindir tanpa menyebut nama.

Setiap baris berisi sarkasme lembut dan kritik tajam pada budaya kantor yang membiarkan fitnah tumbuh lebih cepat dari ide.

Setelah ia unggah, ia mematikan layar dan tersenyum kecil.

“Selamat malam, Liam,” gumamnya. “Kau bukan satu-satunya yang bisa memanipulasi opini.”

---

Keesokan paginya, forum kantor meledak lagi.

Tapi kali ini… arah gosip berubah.

> “Artikel anonim itu keren banget.”

“Setuju, ini tamparan buat yang suka ngomong di belakang.”

“Kayaknya ditulis orang dalam deh. Bahasanya tajam banget.”

“Siapa pun dia, salut!”

Samantha menatap Emma dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

“Jangan bilang itu tulisanmu?”

Emma tersenyum tanpa menjawab.

Di ruangannya, Liam membaca artikel itu dengan ekspresi datar.

Namun jemarinya yang mengetuk meja pelan menunjukkan satu hal:

Ia tidak menyukai kehilangan kendali.

> “Baiklah, Emma,” gumamnya. “Permainanmu makin menarik.”

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Emma merasa… menang — meski hanya satu ronde kecil.

---

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!