Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Bu, itu si Wulan! Dia datang ke rumah ini, Bu!" teriak Sari di depan kamar ibunya.
Panik dan ketakutan akan harta yang sedang dipakainya. Rencana-rencana untuk menjual barang-barang Wulan pun, melayang dengan sendirinya.
"Aduh, kenapa teriak-teriak? Kamu pikir Ibu budeg!" sentak Patma sembari membuka pintu kamar.
"Ibu, si Wulan datang. Apa dia mau mengambil ini semua?" Sari panik, menatap cemas pada perhiasan yang dipakainya.
"Kamu tenang saja. Dia pulang sama juragan apa sendirian?" tanya Patma sedikit merasa takut kalau-kalau juragan ikut pulang bersama Wulan.
"Sendiri, Bu. Itu ... sama perempuan tua tidak tahu siapa," jawab Sari merengek ketakutan.
Patma menepuk-nepuk tangan anaknya, menenangkannya.
"Bagus, Wulan. Ternyata kamu bisa keluar dari istana itu, tapi jangan harap kamu bisa mengambil apa yang sudah menjadi milik kami!" geram Patma tak menyangka Wulan bisa kembali ke rumah.
Saya terlalu meremehkannya. Apa yang dia lakukan terhadap juragan sampai-sampai bisa keluar dari kediamannya.
Patma bergumam di dalam hati, kemudian menghela napas panjang sebelum membawa kakinya melangkah meninggalkan kamar untuk membuka pintu yang mulai diketuk.
"Ada apa?" tanya Patma pada pelayan di rumahnya yang membukakan pintu.
"Itu Wulan, Nyai. Apa perlu diizinkan masuk?" ucap pelayan tersebut setelah meminta Wulan menunggu.
"Biarkan saja!" ucap Patma seraya duduk di kursi kayu bersama dengan Sari.
Pelayan itu mengangguk dan pergi membuka pintu kembali. Bi Sumi merangsek masuk ke dalam, dan tanpa terduga menampar pelayan itu dengan sangat keras hingga tubuhnya yang kurus terjerembab di lantai.
"Lancang! Membiarkan istri juragan menunggu di luar, kamu sudah bosan hidup!" hardik Bi Sumi melampiaskan kekesalannya.
Patma dan Sari yang semula tenang, spontan berdiri dan saling memeluk ketika melihat tubuh pelayan mereka terjatuh di dekat meja. Betapa kuat pukulan Bi Sumi.
Wulan tersenyum sinis, melangkah pelan melewati ambang pintu dengan dipapah Bi Sumi.
"Ampun, Nyai! Ampuni saya! Saya hanya menjalankan perintah dari majikan saja. Tolong ampuni nyawa saya, Nyai!" mohon pelayan wanita itu dengan air mata berlinang.
Wulan berjongkok, meraih dagu wanita itu dan mencengkramnya.
"Padahal kamu tahu siapa saya? Seharusnya kamu pun tahu bagaimana bersikap. Saya bukan lagi Wulan, gadis gunung yang mudah ditindas." Wulan menghempaskan dagu pelayan wanita itu dengan kuat.
Ia ingat saat menginjakkan kaki di rumah Asep, semua pelayan mencibir dan meremehkannya. Bahkan, berani semena-mena terhadapnya. Saat itu, Wulan tidak memiliki status dan hanya bisa pasrah. Sekarang lain cerita, dia istri sah juragan tak ada yang berani memandangnya rendah.
Wulan beranjak, menepuk-nepuk tangannya. Bi Sumi memberinya sapu tangan untuk membersihkannya.
"Ampun, Nyai! Saya tidak akan berani lagi!" mohon pelayan wanita itu sambil menangis.
"Bi Sumi! Tampar dia sampai benar-benar menyesal!" titah Wulan membuat pelayan itu membelalak.
Suara tamparan pun terdengar terus menerus. Sari bergidik ngeri, begitu pula dengan Patma. Ia meneguk saliva ketakutan sendiri.
"Wulan, kamu pikir ini rumah kamu! Jangan seenaknya kamu di sini!" bentak Sari dengan suara tinggi melengking.
Bi Sumi geram melihat sikap angkuh gadis itu. Ia menoleh padanya dengan tatapan tajam setelah membuat pelayan itu tak berdaya.
"Kurang ajar! Bagaimana Ibumu mendidik hingga tidak tahu sopan santun seperti itu! Cepat minta maaf pada Nyai Wulan, dan panggil Nyai Wulan. Kamu benar-benar mencari mati memanggil istri juragan langsung dengan namanya!" bentak Bi Sumi, tatapan matanya tajam menghujam, membuat tubuh Sari gemetar ketakutan.
Gadis itu bersembunyi di balik tubuh ibunya, berlindung dari pukulan Bi Sumi. Mata tua Bi Sumi begitu jeli, melotot ketika melihat perhiasan yang mereka pakai.
"Bi, coba lihat perhiasan yang mereka pakai. Apakah cocok dengan barang yang hilang?" pinta Wulan setelah melihat kilau di tubuh ibu dan saudara tirinya.
Bi Sumi mendekat, Patma menutupi lehernya dan Sari menyembunyikan tangannya. Bi Sumi yang bertenaga besar dengan mudah menyingkirkan tangan Patma dan menarik kalung di lehernya. Lalu, kedua anting yang dipakai pun tak lepas dari incaran Bi Sumi.
"Argh! Anting saya, kalung saya! Kalian tidak bisa mengambilnya!" jerit Patma seraya hendak mengambil kembali apa yang sudah dirampas Bi Sumi.
Bi Sumi menyerahkan semuanya kepada Wulan. Lalu, menatap Sari yang hampir menangis.
"Kamu sendiri yang mau melepaskan, atau saya yang merampasnya!" tawar Bi Sumi galak.
"Ibu!" Sari merengek, enggan memberikan perhiasan yang dia sukai itu.
Namun, saat melihat setitik bercak merah di telinga sang ibu, Sari semakin ketakutan.
"Baiklah, sepertinya saya harus turun tangan sendiri!" Bi Sumi menggulung lengan kebayanya dan mendekati Sari.
"Tunggu! Saya lepas sendiri!" ucapnya terburu-buru.
Satu per satu perhiasan yang hari itu menjadi kebanggaan untuk dipamerkan di hadapan tetangga, ia lepaskan dengan mudah. Bi Sumi yang tak sabar, merebut apa yang digenggam Sari dan memberikannya kepada Wulan.
Ia meringis tak rela, meremas lengan Patma kesal.
"Apa kalian tahu semua ini apa? Perhiasan ini adalah peninggalan ibu juragan dan sangat dihargai oleh juragan. Saya ingin tahu apa yang akan juragan lakukan terhadap kalian saat tahu barang-barang berharga ini kalian curi dari saya!" Mata Wulan melotot, membuat kedua wanita itu semakin menciut.
Patma dan Sari tersentak kaget, sungguh tak menduga jika apa yang mereka ambil adalah barang paling berharga bagi juragan.
"Memangnya kalau peninggalan ibu juragan kenapa? Sudah diberikan kepada kamu juga, jadi sudah milik kamu. Apa susahnya berbagi dengan ibu dan adikmu? Kamu itu anggota keluarga ini, jangan sampai jadi anak yang tidak tahu balas budi," ucap Asep yang datang untuk membela mereka.
"Akang!"
"Bapak!"
"Oh, benarkah begitu?"
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa