Cinta bertepuk sebelah tangan sungguh menyakitkan hati Nadila Putri. Nyatanya Abdullah cinta pertamanya justru mencintai wanita lain yaitu Silfia Anwar.
Nadila pun memilih pergi meninggalkan mereka demi persahabatan.
Nadila memilih bekerja di UEA menjadi tkw, tetapi belum ada satu tahun kedua orang tuanya menyuruhnya pulang. Namun, tidak Nadila sangka ketika tiba di Indonesia justru dijodohkan dengan Abdullah.
Apakah Abdullah akan menerima Nadila? Lalu bagaimana nasib Silfia. Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Tubuh Silfia berkeringat dingin ketika tahu bahwa Ahmad dan Ghina ternyata mertuanya. Ia takut dan gugup karena sudah berbuat tidak sopan di hadapan mertua wanita. Silfia menunduk rasanya tidak mau melihat Ghina yang seolah menyindir setiap kata yang ia ucap kepada Dila.
Silfia bingung, bagaimana lagi harus menunjukan bahwa ia menantu yang lebih baik dari Dila. Namun, nasi sudah menjadi bubur, image jelek sudah tertangkap oleh mertua. Jika sedang lomba, Silfia sudah kalah sebelum bertanding dengan Dila untuk merebutkan hati mertua. Silfia hanya bisa berharap mertuanya memberi maaf dan kesempatan untuk memperbaiki.
"Kenalkan Mama, Papa, saya istri Abang Abdullah" ucap Silfia dengan dada berdebar-debar karena di meja makan itu ia tidak ubahnya seperti barang yang disia-siakan. Pasalnya mertua wanita hanya ngobrol dengan Dila saja, Abdullah pun tidak melepas pandangannya dari Dila membuat hati Silfia panas. Sementara mertua pria dingin seperti ice batu.
"Oh... ini, istri pilihan Abdullah..." Ghina menyambut uluran tangan Silfia. "Ternyata lebih pintar Papa mencarikan jodoh untuk Abdullah. Daripada kamu sendiri, Dul" Lanjutnya beralih menatap Abdullah.
"Mama..." Abdullah mengingatkan sang mama agar jangan terus-terusan menyindir Silfia.
"Ya sudah, kita makan dulu" Ghina menyudahi pembicaraan mengajak semua makan termasuk Silfia. Namun, Ghina diam-diam memperhatikan cara makan Silfia yang tidak menunjukkan orang berkelas, tapi Ghina kali ini membiarkan saja.
Makan pun selesai, Dila hendak merapikan piring ke belakang, tapi dicegah Ghina. "Tadi kan kamu yang memasak, sekarang giliran Silfia yang mencuci piring. Benarkan Sil?" Ghina menatap Silfia.
"Benar Ma" Silfia pun berdiri, walaupun sebenarnya malas melihat tumpukkan piring kotor sebanyak itu, tapi akan menunjukkan kepada mertua bahwa ia pun istri yang rajin. "Jangan La, kamu duduk saja, biar aku yang mencuci piring" cegah Silfia kepada Dila yang akan mengangkat piring, lalu dia ambil alih membawa benda pecah belah tersebut ke belakang.
"Huh! Mertua pilih kasih!" Silfia ngedumel sendiri ketika tiba di wastafel sembari mencuci piring.
"Kalau tidak ikhlas jangan dikerjakan Kak, nanti tidak dapat pahala loh" Dila meletakkan sendok kotor yang tertinggal.
"Diam kamu!" Silfia menyipratkan air ke wajah Dila. Sembari mengancam akan mengadukan kepada Abdullah. Namun, diwaktu yang bersamaan Abdullah melihat ada yang tidak beres segera mendekat.
"Ada apa kalian?" Tanya Abdullah menatap Silfia dan Dila yang saling tegang.
"Dila kurang ajar Bang, masa aku dikatakan tidak bisa mencuci piring" Silfia mengarang cerita.
"Kalau punya istri itu tidak cukup memuaskan kamu di ranjang saja Kak, tapi juga diajari yang benar" ucap Dila lalu meninggalkan dapur.
Abdullah melongo memandangi Dila dari belakang, kaget mendengar ucapanya, kemudian berpaling ke arah Silfia. "Kalau kamu sudah selesai mencuci piring aku antar pulang Sil."
"Iya, iya..." Silfia melanjutkan mencuci piring, ingin cepat selesai lalu segera pergi dari tempat ini. Ia malas juga lama-lama bersama mertua. "Tapi kalau besok Mama sama Papa Abang sudah pulang ke Bogor, kita tinggal disini ya" Silfia membujuk suaminya.
Abdullah tidak menjawab lalu meninggalkan dapur, Drama siang pun selesai, Silfia diantar Abdullah pulang ke kontrakan.
Sementara Dila, seharian itu banyak ngobrol dengan mertua, lebih tepatnya Ghina yang menghibur Dila. Hingga keesokan paginya, Dila memutuskan ikut pulang ke Bogor. Walaupun dalam hatinya berat untuk menyampaikan masalahnya kepada bapak dan ibu. Mengingat kesehatan pak Umar yang semakin buruk, tapi Dila sudah memantapkan diri untuk jujur, karena cepat atau lambat kedua orang tuanya pasti akan tahu.
Deeerrtt... deeerrtt... deeerrtt...
"Assalamualaikum..." ucap Dila ketika Tristan memanggil.
"Kamu jangan masuk kerja ya, La, biar sehat dulu, saya izin sampai seminggu kok" pesan Tristan di sambungan telepon.
"Terima kasih Kak" Dila terharu, tidak menyangka Tristan perhatian dan sebaik itu, hingga membantunya izin ke catering. "Tapi pagi ini saya mau ke Bogor dulu, Kak" lanjutnya.
"Kok malah ke Bogor, kamu kan masih sakit?"
"Saya mau menyelesaikan urusan rumah tangga saya dulu Kak" lirih Dila, jika mengingat itu rasanya sesak sekali.
"Oh, hati-hati di jalan."
"Terima kasih" Dila menutup handphone karena Tristan menyudahi pembicaraan. Ia tidak membawa apapun selain tas kecil kemudian berangkat.
Dila memilih duduk paling belakang, kedua mertuanya di tengah, sementara Abdullah di samping supir. Kendaraan roda dua pun melesat pergi meninggalkan Jakarta melalui jalan tol.
Dua jam kemudian di samping tempat tidur, Dila sedih dan tidak tega menyampaikan berita yang tidak baik itu. Ia pandangi bapaknya yang masih lemah di tempat tidur, karena menurut bu Aminah sakitnya kambuh lagi.
Dila pun keluar kamar menemui ibunya yang sedang membuat minuman. "Bu" ucap Dila berdiri di samping Aminah, belum sempat bercerita air matanya pun lebih dulu berbicara.
"Dila... ada apa sayang..." Bu Aminah meninggalkan teh di atas meja, lalu merangkul pundak putrinya mengajak duduk di bale dapur.
"Aku..." tubuh Dila bergetar, menempelkan kepala di dada sang ibu. Dila merasa memiliki beban berat, bagaimana caranya menyampaikan semua ini tanpa membuatnya semakin sakit.
"Dila... cerita sayang..." Aminah memegang pundak putrinya yang terisak-isak. Pipi kurus putrinya menandakan jika ada yang dipikirkan, tapi apa? Bu Aminah mencoba untuk mencari jawaban.
"Perjodohan itu, membuat kamu tidak bahagia? Lantas badan kamu menjadi kurus begini?" Cecar bu Aminah.
"Intinya aku tidak mau dimadu Ibu, aku ingin bercerai sajaaaa... hu huuu..." tangis Dila pun pecah.
"Jadi, Abdullah sudah punya istri selain kamu?" Wajah bu Aminah berubah merah.
Dila hanya mengangguk.
"Kurang ajar sekali Abdullah, kurang apa lagi kita berkorban untuk keluarganya? Ginjal Bapak kamu sudah diberikan, kamu kami relakan, tapi apa balasannya?" Aminah pun meradang, hingga rahasia yang ia tutup rapat pun terbongkar juga.
"Apa? Jadi Bapak sakit begini gara-gara ginjalnya diberikan Tuan Ahmad, Bu?" Dila syok mendengarnya.
Mereka tidak tahu jika di balik pintu, pak Umar mendengar semuanya.
...~Bersambung~...
pokoknya ditunggu banget kelanjutannya author
semngattttt
Faiz, sementara ajak Dila ke rumah orang tuamu agar Dila menemukan kebahagiaan & kedamaian dirinya & keluarganya