Pertempuran sengit di akhir musim kedua mengubah segalanya. Xander berhasil menundukkan Edward dan sekutunya, namun harga yang harus dibayar sangat mahal: darah, pengkhianatan, dan tumbangnya Evan Krest—sekutu terkuat yang selama ini menjadi sandaran kekuatannya.
Kini, di season ketiga, badai yang lebih besar mulai berhembus. Cincin takluk yang melilit jari para musuh lama hanyalah janji rapuh—di balik tunduk mereka, dendam masih menyala. Sementara itu, kekuatan asing dari luar negeri mulai bergerak, menjadikan Xander bukan hanya pewaris, tapi juga pion dalam permainan kekuasaan global yang berbahaya.
Mampukah Xander mempertahankan warisannya, melindungi orang-orang yang ia cintai, dan menjaga sisa-sisa kepercayaan sekutu yang tersisa? Ataukah ia justru akan tenggelam dalam lautan intrik yang tak berujung?
Pewaris Terhebat 3 menghadirkan drama yang lebih kelam, pertarungan yang lebih sengit, dan rahasia yang semakin mengejutkan.
SAKSIKAN TERUS HANYA DI PEWARIS TERHEBAT 3
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
"Dasar anak durhaka! Aku tidak akan mati semudah itu! Puluhan peluru sudah pernah bersarang di tubuhku dan tak terhitung luka yang aku dapatkan! Aku tidak akan meregang nyawa jika hanya bepergian dari satu negara ke negara lain!"
"Dasar tua bangka sialan! Kau terus saja membuatku kerepotan! Otakmu pasti kusut sampai tidak bisa berpikir dengan jernih! Kau bisa mati dalam perjalanan!"
Larson berdecak, menjauh dari Larvin, segera menghubungi seseorang untuk mempersiapkan semua keperluan. Meski tampak kesal dan menolak, tetapi ia tahu betul tujuan dari Larvin.
Larson mendengarkan penjelasan dengan saksama dari orang kepercayaannya. Pria itu kembali mendekati Larvin. "Brengsek! Kau membuatku kesulitan. Kau akan pergi esok hari dan aku sudah mempersiapkan rumah sakit terbaik untukmu di Royaltown! Kau menghabiskan uangku!"
"Sialan! Aku menghabiskan banyak uang hanya untuk menghidupimu sampai detik ini. Kau bahkan belum membayarnya sampai sekarang!"
"Kau seharusnya membuangku ketika aku kecil jika kau tidak ingin terbebani!"
Larvin tersenyum lebar. Ia terbangun, turun dari ranjang, melepas beberapa alat yang menempel di tubuhnya. "Lihatlah sialan! Aku masih cukup kuat bahkan untuk menghabisimu sekarang!"
Larson terdiam ketika melihat Larvin. Dokter mengatakan jika kondisi pria itu sudah tidak lagi tertolong dan hanya menunggu waktu kematian. Akan tetapi, secara ajaib keadaannya mulai membaik bahkan bisa berdiri dan berjalan seperti sekarang setelah ia memberitahu ayahnya itu jika saudaranya kemungkinan berada di Royaltown.
Larson merasa bahagia, tetapi tidak ingin terlihat lemah dengan menangis karena ayahnya sangat membenci hal itu. Ini sebuah kemajuan yang patut disyukuri.
"Kenapa kau diam seperti orang bodoh, Larson? Cepat antarkan aku pulang dan persiapkan kepergianku dengan baik! Aku tidak ingin berlama-lama di tempat menyedihkan ini!" bentak Larvin.
Larvin memaksakan diri untuk berjalan meski tubuhnya terasa sangat sakit ketika digerakkan. Sebelum mati, ia ingin mengetahui kabar mengenai adiknya. Ia tahu jika dirinya makhluk yang penuh dosa, tapi setidaknya ia menginginkan jika Tuhan bisa mengabulkan permintaannya.
Larson berpegangan pada besi ranjang. Berpuluh-puluh tahun lalu, ia adalah pria gagah yang sangat disegani oleh banyak orang. Akan tetapi, saat ini ia tak ubahnya setengah mayat berjalan yang hanya bisa terbaring lemah di ranjang, menunggu kematian.
Larson tiba-tiba terjatuh, tetapi Larson dengan cepat menahannya.
"Lepaskan aku sialan! Kau tiba-tiba muncul dan membuatku nyaris terjatuh!" Larvin menepis kasar tangan Larson.
"Dasar tua bangka sialan! Kau nyaris terjatuh dan aku menolongmu!"
Larson memegang tangan Larvin sekuat mungkin, segera menghubungi dokter.
Dokter datang dan menjelaskan jika pilihan Larvin sangatlah berisiko, terlebih mereka harus pergi ke luar negeri dan memakan perjalanan yang sangat jauh.
"Dasar pria tua sialan!" Larson mendudukkan Larvin di kursi roda.
"Aku akan membunuhmu jika kau menjatuhkanku dari kursi roda sialan ini!"
"Diamlah sialan!" Larson mendorong Larvin di koridor sepi. Ketika berbelok ke samping kanan, para bawahan Larson seketika membungkuk hormat.
"Cih, kau mengumpulkan sampah tidak berguna!" Larvin kagum karena melihat kesetiaan bawahan Larson. Ia melihat beberapa bawahannya juga berada di antara barisan. Hal ini seakan membawanya pada masa jayanya dahulu.
Larson dan Larvin keluar dari rumah sakit, memasuki mobil, melintasi jalanan perkotaan. Rombongan bawahan mereka melaju di depan dan belakang mereka.
Larson melihat sebuah senyuman tipis yang tak lepas dari wajah Larvin sejak keluar dari kamar rumah sakit. "Dengarkan aku brengsek! Kita akan pergi saat pagi. Pastikan kau masih hidup dan tidak membuatku kerepotan dengan mengurus pemakamanmu."
Larvin tak membalas ucapan Larson. Pikirannya dipenuhi oleh kebahagiaan.
Larvin tertidur setelah mendapatkan perawatan dan penjagaan dari dokter.
Larson mengamati Larvin dari luar kamar, merasa bimbang dan khawatir dengan keputusan ayahnya karena kesehatan dan keselamatannya.
"Aku berada cukup dekat dengan Alexander, tapi di saat yang sama aku khawatir mengenai keselamatan ayahku. Jika Alexander tahu aku terlibat menghancurkannya dan aku lalai menjaga ayah, dia bisa menghabisi ayah. Tapi aku tidak bisa menolak keinginan terakhir ayah."
Larson duduk di sofa, menimbang keputusan. Meski sudah berusaha mempersiapkan keberangkatan dan keamanan selama berada di Royaltown, ia tetap saja khawatir dan gelisah.
"Sialan! Ini bisa membuatku gila!”
Larson mengambil sebuah album foto di lemari, menatap dua anak laki-laki kembar yang tengah tersenyum di depan kamera.
"Kalian berdua sangat mirip. Aku nyaris tidak bisa dibedakan."
Larson memejamkan mata, tertidur di sofa dan terbangun ketika seorang bawahan menepuk pundaknya.
Larson melihat cahaya matahari menyelinap di celah-celah tirai. Ia seketika berlari ke kamar Larvin dengan terburu-buru.
Larson mengendalikan nafas yang terengah-engah. Ia terdiam ketika melihat Larvin tengah memakai jas. Penampilannya sangat rapi. Aura kepemimpinannya terlihat.
Larson tersenyum. "Sialan. Ayah benar-benar ingin pergi."
Larvin menoleh ke arah pintu ketika merasa diperhatikan. "Apa yang kau lakukan sialan? Kau tidak akan bisa membunuhku hanya dengan tatapanmu. Segera siapkan mobil untuk keberangkatanku."
Larson berdecak. "Kau baru boleh mati ketika sampai di Royaltown."
Larson dan Larvin memasuki mobil. Dua orang dokter menjaga Larvin di belakang.
Larvin sebisa mungkin menahan senyuman. Ia benar-benar tak sabar untuk tiba di tempat tujuan.
Perjalanan berlangsung hingga berjam-jam. Larvin sempat drop meski kondisinya membaik ketika tiba di Royaltown.
Larson merasa lega meski nyaris di sepanjang jalan merasa gelisah. Ia mengantar Larvin ke rumah sakit, menemani pria tua itu tertidur di ranjang selama berjam-jam.
"Dia langsung tertidur ketika tiba di Royaltown. Sialan!"
Larson berjalan ke sisi ruangan, menatap pemandangan kota Royaltown dari dekat jendela. "Aku harus mencari sosok adik ayahku di kota ini dengan minimnya petunjuk. Jika wajah pamanku sangat mirip dengan ayahku, seharusnya aku cukup mudah menemukannya."
Larson sudah memerintahkan bawahannya untuk mencari keberadaan adiknya dengan petunjuk foto ayahnya saat muda.
Larson memejamkan mata erat-erat, menoleh ke arah Larvin yang tertidur pulas. "Rumah sakit ini adalah salah satu rumah sakit terbaik dari segi apapun. Rumah ini juga yang tidak memiliki hubungan dengan Alexander. Aku harus menemukan pamanku secepatnya sebelum Alexander menyadari rencanaku."
Keesokan harinya, Alexis tampak ceria karena bisa berjalan-jalan di kota. Meski kediaman utama memiliki fasilitas sangat lengkap, ia terus merengek agar bisa bermain di luar.
Xander memerintahkan pasukan khusus untuk menjaga Lizzy dan Alexis selama pergi.
"Alexis, kau akan melakukan pemeriksaan kesehatan di rumah sakit. Kau akan bertemu dengan pamanmu Charles di sana," ujar Xander.
"Baik, Ayah." Alexis berlari menuju mobil, melambaikan tangan pada Lizzy.
Xander, Lizzy, dan Alexis meninggalkan kediaman utama. Mereka dan para pengawal menyamar seperti orang biasa.
Alexis mengunjungi pusat perbelanjaan, menaiki beberapa wahana. Anak kecil itu tampak sangat bahagia.
Xander, Lizzy, dan Alexis mengunjungi rumah sakit.
Charles memeriksa keadaan Alexis. "Kau tampak sehat, Alexis. Kau akan tumbuh lebih cepat."
"Aku rajin belajar dan berlatih." Alexis turun dari ranjang, keluar dari ruangan meski Xander dan Lizzy masih berada di dalam kamar.
Alexis berlarian di lorong dengan para pengawal yang mengikutinya dari berbagai arah.
Alexis terdiam ketika melihat seorang pria tua yang berada di ruangan yang terhalang oleh kaca besar. Ia memperhatikan pria itu saksama, tampak berpikir.
"Kakek!" teriak Alexis tiba-tiba.
bahkan ada keluarga yg sudah kalah tapi gak mau mengakui kekalahan.
Sungguh di luar prediksi pembaca..
Tetap semangat & sehat selalu Thorr...
livy sepupu larson