Winda Happy Azhari, seorang penulis novel yang memakai nama pena Happy terjerumus masuk bertransmigrasi ke dalam novel yang dia tulis sendiri. Di sana, dia menjadi tokoh antagonis atau penjahat dalam novel nya yang ditakdirkan mati di tangan pengawal pribadinya.
Tak mampu lepas dari kehidupan barunya, Happy hanya bisa menerimanya dan memutuskan untuk mengubah takdir yang telah dia tulis dalam novelnya itu dengan harapan dia tidak akan dibunuh oleh pengawal pribadinya. Tak peduli jika hidupnya menjadi sulit atau berantakan, selama ia masih hidup, dia akan berusaha melewatinya agar bisa kembali ke dunianya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon La-Rayya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mahkota Bunga
Mata Elizabeth perih, memikirkan kehidupannya di dunianya yang asli dengan keluarganya. Dia menarik nafas dalam-dalam mencoba tegar, tak ingin menangis hanya karena masalah sepele seperti ini.
Sambil menarik napas dalam-dalam, dia menoleh ke arah Alex dan tersenyum lebar.
"Ayo kita piknik di bawah pohon itu." Ucapnya sambil berjalan menuju pohon.
Elizabeth berusaha sekuat tenaga untuk tidak menginjak bunga-bunga yang ada diarea itu, karena takut merusaknya. Begitu mereka sampai di pohon, Alex membentangkan tikar dan meletakkan keranjang di atasnya. Elizabeth melepas sepatunya, dan melipat kakinya ke samping dan duduk. Dia menatap Alex dan memaksanya melakukan hal yang sama.
Elizabeth lalu membuka keranjang dan mulai menata segala sesuatunya.
Alex memperhatikan roti lapis buatan Elizabeth itu. Roti lapis itu tidak dipotong rapi, agak miring. Isinya tampak aneh dan agak menjijikkan baginya.
Elizabeth mengambil piring kecil dan meletakkan roti lapis di atasnya sebelum menyerahkannya kepada Alex.
"Aku yang membuat ini sendiri. Namanya sandwich telur mayones," jelas Elizabeth saat Alex menerimanya.
Alex menatapnya, ragu apakah harus mencobanya atau tidak. Elizabeth menyadari dilemanya dan cemberut.
"Rasanya enak, percayalah. Para juru masak juga menyukainya." Ucap Elizabeth.
Mendengar itu, Alex mengangkat sebelah alis sebelum akhirnya menggigit roti lapisnya. Wajahnya yang tanpa ekspresi menghilang. Alisnya terangkat dan matanya sedikit membesar. Elizabeth tersenyum penuh kemenangan sebelum menggigit roti lapisnya sendiri. Mereka menghabiskan roti lapis itu dengan cepat.
"Enak, kan?" Ucap Elizabeth.
Elizabeth tersenyum lebar setelah Alex membereskan piring-piring itu. Alex tidak menjawab, hanya menuangkan minuman yang dibawanya ke dalam gelas dan menyerahkan minuman itu padanya. Hal itu tidak membuat suasana hatinya menjadi buruk karena dia tahu Alex terlalu malu untuk mengakui bahwa makanan buatannya itu enak.
Setelah meneguk minumannya dalam-dalam, Elizabeth berkata, "Sebenarnya aku tidak bisa memasak. Aku hanya bisa membuat mi instan dan sandwich itu. Oh, tapi aku tidak jago memotong, entah kenapa."
Elizabeth tertawa kecil sebelum kembali meneguk minumannya. Dia menatap pohon, dedaunan berdesir lembut tertiup angin sepoi-sepoi. Senyumnya yang damai tersungging di wajahnya, matanya sedikit menyipit. Cuaca hari ini sungguh luar biasa.
Saat Elizabeth terus memandangi padang rumput dengan gembira, Alex meliriknya. Tenggorokannya terasa kering dan gatal, jadi dia meneguk minumannya, tetapi itu tidak membantu. Perasaan itu masih ada, tidak akan hilang.
Elizabeth menoleh padanya dan tersenyum lebar, matanya membentuk bulan sabit sebelum kembali menatap bunga-bunga itu, mengaguminya.
Perut Alex terasa seperti terbakar, perasaan aneh mulai muncul. Dia bergegas mengalihkan pandangan, menggenggam gelas dengan erat. Elizabeth memetik beberapa bunga dan menaruhnya di atas tikar.
Setelah puas dengan apa yang dia kumpulkan, Elizabeth mulai merakit dan menjalin bunga-bunga itu dengan bunga lain. Dia melakukannya dengan sabar, sambil bersenandung lembut mengikuti alunan lagu yang dia hafal.
"Selesai," katanya riang sebelum menoleh ke Alex.
Sambil menyeringai nakal, dia bangkit dari posisi duduk, lalu berlutut. Dia lalu meletakkan sesuatu di atas kepala pria itu. Pria itu melepasnya dan melihat apa yang telah Elizabeth letakkan di atas kepalanya. Itu adalah mahkota bunga yang dicampur dengan berbagai jenis bunga yang baru saja dia petik sebelumnya.
"Tunggu," katanya tiba-tiba dan segera melanjutkan membuat mahkota bunga lainnya.
Elizabeth lalu menaruh mahkota bunga buatannya lagi di atas kepalanya, dia berbalik ke Alex dan tertawa.
"Sekarang kita punya mahkota bunga yang serasi!" Seru Elizabeth.
Rasa menggelitik di perut Alex semakin kuat, membakarnya. Rasanya tidak nyaman, tetapi dia tidak bergeming. Dia membiarkan mahkota bunga di kepalanya, melihat betapa bahagianya Elizabeth karenanya.
Senyuman Elizabeth seakan menghentikan seluruh tenaganya untuk bangkit dan meninggalkannya. Dia mengerutkan kening pada dirinya sendiri. Ada yang salah dengan dirinya.
"Hai Alex, kamu baik-baik saja?"
Suara Elizabeth terdengar begitu lembut dan tenang di telinga Alex saat dia memanggilnya. Wajah Elizabeth begitu dekat dengan wajahnya, membuatnya terkejut, tetapi itu tak terlihat di wajahnya.
Alex mundur. Alisnya berkerut seiring kekhawatirannya terhadap Elizabeth semakin besar.
"Kamu kelihatan lelah, bagaimana kalau kau tidur siang sebentar?" Usul Elizabeth, tapi Alex menggelengkan kepalanya.
"Saya masih bertugas, Nona." Ucap Alex.
Elizabeth memutar matanya.
"Pergi dan istirahatlah sekarang. Itu perintah." Ucap Elizabeth.
Alex melirik Elizabeth. Karena itu perintah, Alex pun berbaring telentang dan memejamkan mata. Angin sepoi-sepoi membuatnya semakin mengantuk, tetapi dia berusaha tetap terjaga. Namun, dia mendengar Elizabeth bersenandung dengan nada-nada yang tak dikenal olehnya.
Nyanyian Elizabeth menyejukkan telinga hingga membuat Alex tak sadar langsung tidur. Elizabeth lalu melepas mahkota bunga dari kepala Alex, lalu meletakkannya di atas dadanya. Dia diam-diam berdiri dan pergi berjalan-jalan di padang rumput.
Elizabeth melangkahkan kaki di atas rumput dengan bertelanjang kaki yang membuat kakinya terasa geli sekaligus menyenangkan. Dengan langkah kecil, Elizabeth menjauh dari pohon itu. Dia berjongkok, mengamati bunga-bunga itu sebelum berdiri tegak dan berjalan-jalan lagi.
Dia menghentikan langkahnya, menghirup udara segar yang bersih, senyum puas tersungging di wajahnya saat tubuh dan pikirannya terasa rileks. Dia hampir tidak pernah rileks atau punya waktu untuk dirinya sendiri sebelum dia datang ke dunia novel ini. Pekerjaannya menyita seluruh waktunya.
Elizabeth tidak ingat kapan terakhir kali dia benar-benar menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
'Setidaknya aku punya Alex sekarang, meskipun kurasa dia tidak menganggapku teman.' Elizabeth terkekeh dalam hati.
Dia duduk, dikelilingi bunga-bunga di mana-mana. Memetik setangkai dandelion, dia memejamkan mata, membuat permohonan sebelum membuka mata, meniup benih bunga dandelion ke angin. Sebuah permohonan yang ia simpan dalam hatinya.
Saat itu, Alex terbangun kaget, menyadari dia seharusnya tidak tidur. Dia menyadari Nonanya tidak ada di sampingnya, dia melirik sekeliling sebelum melihat sosok ramping Elizabeth duduk jauh dari pohon.
Dengan rambutnya yang bergerak tertiup angin bersama gaunnya, sosok Elizabeth tampak mungil dari tempat Alex berdiri, terutama saat Elizabeth duduk di tengah-tengah bunga. Alex berpikir dia tengah melihat peri. Peri berambut merah tua.
Alex ingin memanggilnya, tetapi suaranya tak keluar dan dia pun tak bisa bangun. Seolah dia membeku dalam waktu dan tempat, mengawasi Nonanya menikmati suasana di bawah sinar matahari. Bibirnya membentuk garis tipis.
Elizabeth berbalik dan melihat pria itu sudah bangun. Dia bangkit dan membersihkan debu di gaunnya, menyingkirkan rumput yang menempel sebelum kembali ke tikar piknik.
"Santai?" Tanya Elizabeth lembut.
Tangan Elizabeth berada di atas lututnya yang sedikit ditekuk, menatap dirinya. Rambutnya tergerai dari bahu, bergerak bebas. Alex berkedip sebelum mengalihkan pandangannya.
Bersambung...