Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Rasa Tak Rela
Wajah Kevia merah padam. Tangannya bergetar memegang ponsel. Di layar, jelas terlihat foto dirinya tidur dengan kepala bertumpu di dada bidang seorang pria, tangannya masih melingkar di situ, dengan kiss mark dan bekas gigitan nyata di dada dan bahu pria itu. Foto itu terlalu intim. Tanpa perlu dijelaskan pun, siapa saja yang melihat akan langsung berpikir mereka baru saja…
Jantung Kevia serasa meloncat keluar. Pipinya memanas sampai telinganya ikut berwarna merah.
“Via? Ada apa?” tanya Kevin, penuh rasa ingin tahu, mencondongkan tubuh ke arahnya.
Sementara itu, Popy melirik sinis, tapi di balik matanya tampak jelas, ada rasa penasaran bercampur curiga.
Sinting 💬
Cepat keluar dari sana, Sayang.
Kevia mengepalkan tangan, wajahnya setengah gemetar karena malu, setengah terbakar oleh emosi. Ia berdiri dengan cepat, kursinya bergeser keras menimbulkan suara berderit yang menarik lebih banyak perhatian pengunjung.
“Aku cabut dulu,” ucapnya pendek, suaranya bergetar menahan campuran malu dan kesal. Ia merogoh dompet, mengeluarkan uang, dan menaruhnya di atas meja dengan gerakan tegas.
“Via…” Kevin ikut berdiri, hendak menyusul, matanya penuh tanda tanya.
Namun tangan Popy lebih cepat menahan lengannya. “Kevin!” serunya setengah panik, seolah nyawanya akan lepas kalau Kevin benar-benar pergi.
Kevin menatap tangan itu. Diam sesaat. Pandangannya menusuk, tajam, lalu dengan gerakan pelan tapi tegas, ia melepaskan cengkeraman Popy.
“Lepas!” Suaranya datar, tapi dingin, penuh penekanan.
Popy kaget, matanya membesar. “Untuk apa kau mengejar dia? Kau suka sama dia?” Ia merentangkan kedua tangannya, menghadang seperti pagar hidup. Rahangnya mengeras.
Kevin tidak menghindar, malah balik menatap.
“Kalau iya, kenapa?” Jawabannya tenang, tapi justru terdengar seperti pengakuan telak yang membuat Popy terdiam.
Jantung Popy serasa jatuh. Namun ia buru-buru bersuara, “Orang tua kita sudah menjodohkan ki—”
“Bullshit!” potong Kevin dingin, hampir mendesis. “Aku tidak akan menikah dengan orang yang bahkan tidak aku suka.”
Popy tercekat. Kevin sudah berbalik, melangkah tanpa menoleh lagi.
“Vin!” pekiknya, berusaha mengejar, tapi Kevin tak peduli.
Sementara itu, Kevia sudah lebih dulu keluar dari kafe. Wajahnya merah merona, entah karena malu, marah, atau campuran keduanya. Dadanya bergemuruh, ponselnya terus bergetar dengan notifikasi pesan dari si “Sinting”, pria misterius yang entah kenapa selalu berhasil membuat hidupnya jungkir balik.
Begitu ia melangkah ke luar, pandangannya tertumbuk pada mobil hitam mengilap yang terparkir manis. Seorang pria berpakaian serba hitam membukakan pintu. Tanpa sempat berpikir panjang, Kevia masuk begitu saja. Pintu menutup pelan, menyisakan detak jantungnya yang makin kencang.
Di dalam, duduk seorang pria dengan masker dan kacamata hitam. Posturnya santai, tangan terlipat di dada, seolah sudah menunggu lama.
Kevia mendelik. “Kau… dasar sinting! Aku sudah bilang, kita nggak punya hubungan apa pun!”
Pria itu hanya menghidupkan mesin, suaranya tenang, dalam, tapi membuat merinding.
“Kalau begitu… kita pulang menemui orang tuamu. Kamu mau mas kawin apa? Rumah? Vila? Saham? Atau perhiasan berlian?”
Kevia spontan panik. Tubuhnya menegak, wajahnya pucat tapi juga berapi-api.
“Tunggu! Aku masih muda, baru delapan belas tahun! Aku bahkan belum memenuhi syarat menikah.”
Dengan santainya, pria itu menjawab, “Semua bisa diatur.”
“Dasar gila!” Kevia mencibir, nadanya naik satu oktaf. “Kau… jangan seenaknya melanggar hukum.”
Pria itu menoleh sekilas, suaranya tetap tenang tapi penuh tantangan.
“Aku nggak melanggar hukum. Aku cuma mengajukan kompensasi.”
“Ha? Kompensasi apaan?!” Kevia mengernyit tajam.
Pria itu bersandar lebih rileks, lalu dengan nada enteng yang membuat darah naik ke kepala, ia berkata,
“Karena calon pengantinku… terlalu bergairah di atas ranjang.”
“DIAM!!!” Kevia hampir menjerit. Wajahnya langsung merah padam, campuran malu dan marah jadi satu. Tangannya mengepal, hampir ingin melempar ponsel ke kepalanya. “Dasar mesum! Itu kamu yang bikin aku kayak gitu!”
Pria itu hanya terkekeh. “Oh, ya? Jadi kau mengaku menikmati?”
“Kau...kau licik! Lagi pula, siapa juga yang mau menikah denganmu?!” Kevia menoleh tajam, matanya berkilat penuh amarah.
Pria itu akhirnya menoleh perlahan. Meski wajahnya tertutup masker dan kacamata, auranya membuat bulu kuduk Kevia berdiri. Suara tawanya rendah, tapi senyumnya jelas terasa lewat nada bicaranya.
“Oh, ya? Kau yakin… tidak mau?”
Kevia mendengus keras, lalu melipat tangan di dada dengan dagu terangkat penuh gengsi.
“Tidak!” katanya mantap.
Pria itu bergeming, masih memandang lurus ke depan, suara beratnya terdengar tenang tapi menusuk.
“Tidak mau lagi bertemu denganku?”
“Tidak.” Jawaban Kevia terdengar tegas, tapi hatinya bergetar.
Hening. Sesaat, hanya suara mesin mobil yang berdengung rendah. Lalu pria itu bicara lagi, dengan nada yang lebih rendah, seperti palu yang jatuh menghantam dadanya.
“Baik. Kalau begitu, keluarlah. Mulai hari ini aku nggak akan menghubungimu atau menemuimu lagi.”
Kata-kata itu membuat Kevia seketika menoleh. Matanya melebar, mulutnya terbuka sedikit, ingin protes, tapi bibirnya terkunci rapat. Ada rasa tak rela yang menyesakkan, bercampur dengan marah dan benci yang tak bisa ia jelaskan.
Jauh di lubuk hatinya, ia tahu, bersama pria ini, ia bisa jadi dirinya sendiri. Bisa melampiaskan marah, bisa kesal tanpa takut ditinggalkan, bisa berdebat tanpa pura-pura sopan. Bahkan tanpa sadar, ia jadi lebih berani, lebih tegas. Semua karena terpengaruh sikapnya yang keras, dingin, tapi entah kenapa selalu membuatnya merasa aman.
Tak seperti dengan orang lain… bahkan dengan Kevin, pria yang paling dekat dengannya.
“Kenapa diam?” suara pria itu terdengar lagi, rendah dan tenang, masih tanpa menoleh.
Kevia menggigit bibir bawahnya. Matanya panas, nyaris berlinang, tapi ia menahannya mati-matian. Dadanya sesak, seakan ada beban yang menindih, tapi ia enggan terlihat lemah di depannya.
“Aku… aku benci kamu!” teriaknya lantang. Tapi saat kata itu meluncur, hatinya justru seperti dirobek dari dalam. Kalimat itu ibarat belati yang ia tancapkan ke jantungnya sendiri.
Dengan gerakan cepat ia membuka pintu, melompat turun, lalu berjalan tergesa di trotoar. Langkahnya kacau, terburu-buru, seolah ingin kabur dari bayangan pria itu. Dan dari perasaan campur aduk yang terus mencekiknya.
Pintu mobil menutup dengan dentuman pelan. Dari dalam, pria itu tetap duduk tenang, hanya jemarinya mengetuk setir sekali sebelum akhirnya ia melajukan mobil pergi.
Beberapa detik setelahnya, Kevin muncul dari arah berlawanan. Matanya menangkap mobil hitam yang baru saja melaju menjauh. Alisnya berkerut tajam.
“Mobil itu lagi…” gumamnya penuh kecurigaan.
Sementara di sisi lain, Kevia berlari kecil di trotoar, kepala menunduk dalam, wajahnya merah padam. Napasnya memburu, bercampur dengan suara jantungnya yang berdentum tak karuan. Hatinya berteriak kacau, antara ingin marah, ingin menangis, tapi juga… tidak rela kehilangan pria itu begitu saja.
Begitu sampai di sudut jalan yang sepi, ia berhenti. Tubuhnya bergetar. Tangannya mengepal di sisi tubuh, lalu tanpa sadar meninju dadanya sendiri berulang kali.
“Kenapa…?” suaranya pecah, parau. Air matanya jatuh deras, membasahi pipinya. “Kenapa hatiku sakit begini…?”
Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, tapi tangisnya tak bisa dibendung. Bahunya berguncang hebat.
Seketika ia mengingat, tatapan mata pria itu yang meski menakutkan, tak pernah benar-benar menyakitinya. Genggaman tangannya yang kokoh, protektif. Suara rendahnya yang kadang terdengar keras, tapi selalu menenangkan. Dan sentuhan itu… yang membuatnya lupa pada dunia, lupa pada rasa takut, lupa pada beban hidup yang menjeratnya.
“Kenapa…?” gumamnya lagi, suaranya lirih di sela isak. “Kenapa aku begitu nyaman… kenapa aku bahkan rela saat dia memujaku seperti itu…?”
Tangannya terkulai, sementara ia terduduk di bangku taman tua yang dingin. Ia menengadah, menatap langit senja dengan air mata yang masih berlinang.
“Aku benci dia… tapi kenapa aku nggak rela kehilangan dia?”
Kevia masih terisak, tangannya menutup wajah yang basah oleh air mata. Sesekali ia memukul dadanya sendiri, seolah ingin meredakan perih yang mencekik dari dalam.
"Kenapa aku begini… kenapa harus dia…" gumamnya lirih, suara tercekat.
Ia menunduk, menekuk tubuhnya, bahunya berguncang hebat. Namun tiba-tiba—
“Via…”
Sebuah suara pelan namun jelas terdengar dari arah belakang.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰