Hidup terkadang membawa kita ke persimpangan yang penuh duka dan kesulitan yang tak terduga. Keluarga yang dulu harmonis dan penuh tawa bisa saja terhempas oleh badai kesialan dan kehancuran. Dalam novel ringan ini kisah ralfa,seorang pemuda yang mendapatkan kesempatan luar biasa untuk memperbaiki masa lalu dan menyelamatkan keluarganya dari jurang kehancuran.
Berenkarnasi ke masa lalu bukanlah perkara mudah. Dengan segudang ingatan dari kehidupan sebelumnya, Arka bertekad mengubah jalannya takdir, menghadapi berbagai tantangan, dan membuka jalan baru demi keluarga yang dicintainya. Kisah ini menyentuh hati, penuh dengan perjuangan, pengorbanan, keberanian, dan harapan yang tak pernah padam.
Mari kita mulai perjalanan yang penuh inspirasi ini – sebuah cerita tentang kesempatan kedua, keajaiban keluarga, dan kekuatan untuk bangkit dari kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Michon 95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 : Bimbang
Oke, aku memang putri keluarga terpandang,presentasiku cukup bagus, aku punya kemampuan bela diri yang lumayan (setelah kejadian waktu itu aku memutuskan untuk mulai belajar bela diri),penampilanku Cupu (dulu lebih cupu dan sekarang sudah lumayan mendingan), aku sama sekali bukan murid populer.organisasi tidak akan mendapatkan apa-apa dengan merekrutku.jadi buat apa mereka mengirim undangan untukku?.
Aku melirik Bu Intan yang masih sibuk menyoroti buku. Apakah Bu Intan tahu soal The Judges? Dia pasti tahu, karena gosipnya, yang tahu identitas mereka hanya para guru dan kepala sekolah. Aku harus menanyakannya.
Aku memasukkan kembali undangan itu ke dalam amplop, lalu menyisipkannya di balik rok belakangku. Sekarang aku harus kembali bekerja.
Kami kembali bekerja seperti tadi, dan juga mulai berbasa-basi tentang sekolah. Di tengah-tengah pembicaraan, aku bertanya dengan lugu dan wajah polos, "Oh ya, Bu Intan, apa ibu pernah dengar soal The Judges?"
Bisa kurasakan udara di sekitar kami jadi tegang.
"The Judges?" Bu Intan tertawa kecil namun terdengar agak histeris. "Acara televisi apa itu?"
"Kayaknya bukan acara televisi deh, Bu," sahutku pura-pura bodoh. "Saya denger dari teman-teman di kantin bahwa itu semacam organisasi rahasia..."
"Sstt," desis Bu Intan seraya membekap mulutku. "Jangan ucapkan dua kata terakhir itu keras-keras!"
Setelah aku mengangguk, barulah Bu Intan melepaskanku. "Tapi Bu, di sini hanya ada kita berdua."
"Orang-orang ini punya mata-mata di mana-mana," kata Bu Intan was-was.
"Apa organisasi ini begitu hebat, Bu?"
"Begini," bisik Bu Intan. "Dulu sekali, pernah ada kepala sekolah yang tidak sudi diatur anak-anak. Setelah mengumpulkan dukungan para guru, dia mengeluarkan semua anggota inti organisasi dari sekolah dan mengancam sisa anggotanya untuk menurut padanya. Kamu tahu apa yang terjadi?"
"Apa yang terjadi, Bu?"
"Kepala sekolah dan guru-guru, semuanya diganti dengan orang-orang baru!" sahut Bu Intan dengan ngeri. "Sementara anak-anak yang dikeluarkan itu, kembali sekolah seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Setelah kejadian itu, tidak ada yang berani menentang organisasi itu."
"Jadi organisasi itu jahat?" tanyaku ingin tahu.
"Kalau dibilang jahat, ya tidak juga, karena mereka mengusahakan kenaikan gaji guru. Mereka ujung tombak sekolah ini, karena kebanyakan dari mereka berprestasi, dan berkat merekalah sekolah ini menjadi elit sekarang."
"Hanya saja cara mereka nggak bener," kataku menyimpulkan.
Bu Intan mengangguk. "Benar sekali."
"Jadi, kalau begitu, apa saya harus memenuhi undangan mereka?" tanyaku sambil mengeluarkan kembali undangan dari saku rok di belakangku.
"Tentu saja harus," sahut Bu Intan dengan tatapan takjub mengarah ke undangan di tanganku, seolah-olah benda itu makhluk langka yang cuma memberikan penampakan seribu tahun sekali. "Merupakan sebuah kehormatan besar terpilih sebagai calon anggota The Judges, Adelia. Itu berarti kamu murid populer dan bisa diandalkan."
"Saya sama sekali nggak populer, Bu," ucapku.
"Siapa bilang?" kilah Bu Intan. "Bukannya kamu punya kemampuan bela diri yang bagus?"
"Nggak ada salahnya datang, Adelia," saran Bu Intan. "Setelah datang, baru kamu putuskan kamu cocok atau enggak dengan organisasi itu. Toh cuma acara seleksi."
Aku mengangguk setuju. "Baiklah, akan saya coba. Terima kasih atas sarannya, Bu Intan."
Setelah itu, kami lanjut bekerja kembali.
Saat Istirahat di Kantin
Saat ini kami sedang istirahat dan aku sedang duduk di salah satu meja di kantin bersama sahabat baikku, Cindy Amelia. Cewek ini bertubuh tinggi kurus dan berotot, dengan rambut pendek. Dia juga sama sepertiku, berasal dari keluarga kaya dan setiap harinya dia berangkat sekolah menggunakan motor ninjanya. Dia juga punya ingatan yang sangat kuat sehingga dia selalu meraih rangking teratas dan tidak tergoyahkan.
Kami sekarang sedang mengobrol sambil menikmati waktu makan siang.
"Jadi, kamu tadi pagi beneran bantuin Bu Intan menyortir buku di perpustakaan?" tanyanya.
"Ya," jawabku. "Dan ada yang ingin aku kasih tahu kamu soal sesuatu yang aku temukan di perpustakaan."
"Apa itu?" tanya Cindy bingung.
"Soal undangan dengan simbol aneh dan di undangan itu tertera namaku," ucapku dengan suara pelan.
Cindy terperanjat, matanya melebar menandakan dia terkejut. Dan satu-satunya alasan dia kaget adalah karena dia juga mendapat undangan itu.
"Habis ini kita ke toilet buat bahas itu," ucapnya dengan suara pelan.
Aku hanya mengangguk.
Setelah selesai makan siang, kami berdua pergi menuju toilet cewek dengan gaya normal anak-anak yang sedang kebelet.
Kami masuk ke toilet cewek di belakang sekolah yang seperti biasa, kosong melompong karena letaknya yang jauh dari segala tempat. Aku menutup pintu tanpa menguncinya, tentu saja, karena itu akan membangkitkan kecurigaan orang yang berniat masuk sementara Cindy memeriksa bilik-bilik dan ternyata aman.
"Jadi kamu dapet undangan dari The Judges juga?" tanya Cindy.
"Iya," jawabku. "Aneh ya?"
"Apa anehnya?" kata Cindy. "Organisasi segede itu pasti punya akses ke kepala sekolah buat ngasih tahu soal prestasimu yang bagus dan ngasih tahu soal kamu yang cukup jago bela diri."
"Mungkin saja," sahutku tidak yakin. "Kamu mau datang ntar malam?"
"Kayaknya lumayan seru," jawab Cindy sambil mengangkat bahu.
"Buat topeng yang bakal kita pakai untuk acara nanti malam gimana?" tanyaku.
"Abis pulang sekolah nanti kita cari di pasar. Tenang, nanti kamu bakal aku bonceng naik motor."
"Oke."
Sepulang sekolah, kami mencari topeng untuk acara nanti malam. Setelah menemukan topeng yang cocok, kami berencana pergi ke rumah Cindy dan berangkat bersama dari sana untuk seleksi nanti malam. Tiba-tiba dia bilang, "Adelia, sebelum kita pulang, aku akan mengajakmu ke suatu tempat."
"Kemana?"
"Ke kamarnya Ralfa di asrama sekolah."
"Ke-kenapa tiba-tiba mengajak ke sana?"
"Karena Danny barusan WA untuk menyuruh kita ke sana karena ada yang mau dibahas."