NovelToon NovelToon
Satu Malam Dengan Kakaknya

Satu Malam Dengan Kakaknya

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Hamil di luar nikah / Tukar Pasangan / Menikah dengan Kerabat Mantan
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Meldy ta

Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.

Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.

Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.

Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.

Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Vierra, Pembunuh

"Gimana nih? Itu cewek belum bangun-bangun sejak kemarin. Kalau sampai keluarga gue tahu ... kecelakaan ini. Mampus! Bisa jadi gue di suruh pulang," batin Vierra dalam kecemburuannya.

Ia hanya terduduk diam di sudut ruangan sambil sesekali melirik. Mendengar ssuara detak jarum jam di kamar rumah sakit terasa menusuk telinga.

Bau obat-obatan menusuk hidung, dan suara alat monitor denyut jantung menjadi satu-satunya musik yang menemani.

Adelia membuka matanya perlahan. Kelopak yang berat itu terasa begitu sulit diangkat, seolah ada ribuan beban yang menahannya.

Pandangannya masih buram, tetapi ia bisa melihat samar-samar seorang gadis duduk di kursi dekat ranjang. Rambut panjangnya terurai, dan wajahnya terlihat kacau seperti orang yang tidak tidur selama berhari-hari.

"Ah … kamu udah sadar." Gadis itu bangkit, mendekat dengan wajah lega, namun ia mencoba berbicara formal demi menjaga diri.

"Aku Vierra. Kamu masih ingat apa yang terjadi?"

Adelia memandang kosong. Lidahnya terasa kelu. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tapi tubuhnya terasa sangat lemah.

Perlahan ia menurunkan pandangan ke arah perutnya. Tak ada rasa—tak ada gerakan sedikit pun. Sesuatu yang selama ini selalu membuatnya tersenyum tiap malam, kini sunyi.

"Jadi, kamu yang nabrak aku malam itu?" tanya Adelia pelan.

Vierra mengangguk kecil. "Ya. Maaf. Aku pun nggak mau itu terjadi."

Adelian tidak menjawab. Ia terdiam sambil menatap ke atas langit kamar.

"Kenapa … aku nggak merasakan dia lagi?" suaranya serak, hampir tak terdengar.

Wajah Vierra langsung berubah tegang. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya saling meremas gelisah.

"A-aku…" Vierra menunduk.

"Aku apa? Kamu yang mau bilang apa?" Adelia terheran.

"Maafkan aku … aku nggak sengaja menabrakmu malam itu. Dokter bilang … mereka harus segera mengangkat bayi itu supaya kamu bisa selamat."

Kata-kata itu menghantam dada Adelia seperti palu besar. Tangannya meremas selimut, air matanya meleleh begitu cepat hingga pandangannya kabur lagi.

"Apa? Jadi … kamu yang sudah membunuhnya?" bisiknya pelan, tapi matanya menatap tajam ke arah Vierra. "Kamu yang sudah ambil calon anakku?!"

Vierra tersentak. "Aku nggak sengaja! Aku habis mabuk. Aku nggak lihat ada orang menyeberang waktu itu. Maaf … tolong maafkan aku…" Suaranya bergetar, kedua matanya juga memerah. Seperti menahan air matanya.

Adelia memalingkan wajah. Dada sesaknya terlalu berat untuk ditanggung. Ia ingin berteriak, ingin marah, ingin memukul seseorang, tapi tubuhnya tak punya tenaga.

Hatinya gelisah. Banyak hal yang sedang ia pikirkan. Ditambah dalam kondisi rumit seperti sekarang. Semuanya terasa tidak menentu.

"Dia satu-satunya yang kuharapkan. Bahkan saat suamiku jauh dariku. Kamu tahu … betapa sulitnya aku bertahan sendirian?!” Suara Adelia meninggi, tangisnya pecah tanpa bisa ditahan lagi.

Vierra menggigit bibirnya makin keras. Dengan tangan gemetar, ia meraih tas kecil dari meja dan mengeluarkan beberapa lembar uang serta sebuah kartu identitas.

"Aku tahu. ni nggak akan bisa menebus kesalahanku. Tapi ambil ini. Jika suatu saat kau butuh aku bertanggung jawab. Datanglah. Aku akan menebus semuanya, berapa pun harganya."

Adelia menatap uang dan kartu itu dengan mata sembab. Ia mengambilnya pelan-pelan, lalu meletakkannya di meja samping tempat tidur tanpa berkata apa-apa lagi.

"Lalu sekarang boleh aku pergi?"

"Pergi? Setelah menjadi pembunuh kamu ingin pergi begitu saja, begitu?"

Dengan cepat Vierra menggeleng. "Nggak gitu maksudnya. Aku bukan pergi tanpa tanggung jawab. Cuma siapa tahu ... kamu lagi nggak mau lihat aku di sini, setelah aku menabrakmu."

"Tetap di sini sampai aku benar-benar pulih. Setelah itu temani aku ke bandara," perintah Adelia dengan tegas.

"Ya. Tentu. Aku akan temanin kamu." Vierra mengiyakan dengan terpaksa.

'Duh ... dia buat gue makin nggak nyaman. Tapi kalau gue ninggalin dia sendirian di sini, juga kasian. Ah sudahlah,' batin Vierra yang hanya bisa pasrah.

Lima hari kemudian. Adelia sudah pulang ke rumahnya dengan langkah lemah. Udara di ruang tamu terasa dingin dan hampa.

Semua sudut rumah seolah menatapnya dengan dingin, mengingatkannya pada semua kenangan—dan semua kesepian yang ia lalui.

Reyhan tak ada. Bahkan pesan atau telepon pun tak ia terima selama ini.

"Jangan berharap lagi. Dia sudah berubah," bisik Adelia pada dirinya sendiri, suara itu nyaris seperti doa putus asa.

Namun meskipun begitu, Adelia mencoba menatap ke arah album kenangan kebersamaan dengan Reyhan. Saat di mana hari pernikahan sederhana mereka terjadi.

Wajahnya tersenyum kecil. "Ternyata aku secantik itu. Rey ... bahkan melihatmu sekedar di foto ini saja udah buat aku tersenyum. Walau ... pernikahan kita mulai runtuh."

Adelia sadar bahwa hatinya tidak lagi mengingat tentang masa lalu, melainkan tentang Reyhan. Ya, ia sudah benar-benar jatuh cinta sejak Reyhan tinggal bersamanya.

Ia berjalan ke kamar dan duduk di ranjang. Pandangannya kosong, tangannya mengelus perut yang dulu membuncit, sekarang rata. Air mata kembali menetes.

Tak ada lagi yang harus ia tunggu. Ia harus kuat. Harus hidup, meski tanpa Reyhan. Meski tanpa calon bayi mereka.

Di sisi lain, Singapura.

Reyhan duduk di meja panjang jamuan makan malam keluarga Emma. Senyum Emma merekah seperti bunga mekar. Ny. Jonathan pun ikut hadir, duduk anggun dengan gaun hitam berkelas.

"Pernikahan ini akan jadi awal yang baik untuk keluarga kita," ujar Ny. Jonathan dengan nada puas.

Reyhan hanya diam. Ia memegang gelas anggur tanpa menyesapnya sedikit pun. Sesekali wajah Adelia terbayang di benaknya, tapi cepat-cepat ia usir dengan cengkeraman erat pada gelas itu.

'Dia sudah berubah atau mungkin memang tak pernah setia sejak awal aku mengenalnya,' batinnya dingin, teringat foto yang pernah ia lihat.

"Rey, kamu dengar?" suara Emma membuyarkan lamunannya.

"Ya ada apa?" Reyhan menarik napas panjang, lalu berkata pelan. "Aku setuju."

Emma tersenyum puas. Ia menggenggam tangan Reyhan dengan erat.

'Adelia … maafkan aku.' Hati Reyhan berkata begitu, tapi bibirnya tak pernah mengucapkannya.

Di lain tempat, kediaman Adelia.

Melihat Adelia sudah kembali ke rumah. Juan sang pria tampan seperti artis Pakistan tersenyum lebar.

"Mantap betul akhirnya si Nona cantik balik lagi. Tapi ngomong-ngomong, dia abis ngapain ya ke Singapura?"

Dari jarak jauh Juan berdiri. Lalu ponselnya berdering.

"Sekarang apa? Lo dapet info apa?" tanya Vincent dengan serius.

"Aman, Bos Vin. Nona Delia udah balek lagi ke rumahnya. Apa perlu gue tanya sekalian dia pergi ngapain aja?"

"Ya udah nanya sekalian. Cuma nanya ya ... bukan ambil kesempatan!"

"Ambil kesempatan dikit kenapa sih? Pelit banget heran. Iya, Bos Vin. Gue tahu..."

Telepon mereka pun terhenti. Juan menatap kesal ke arah ponselnya sendiri.

"Untung aja gue banyak hutang budi ke elo, Bos. Kalau nggak ogah banget gue bagini di suruh-suruh. Mana gue ngelamar kerja bagian sekretaris tiba-tiba jadi bodyguard bayangan. Haduh ... hidup-hidup. Susah banget buat serius." Juan terus mengomel.

Juan melangkah mendekat, bersamaan dengan Adelia berjalan ke luar rumahnya. Namun anehnya, fokus Juan justru ke arah lain.

"Loh kok perut Nona Delia kempes?"

1
Adinda
lanjut thor
Adinda
sudah del lebih baik cerai saja
NurAzizah504
seromantis ini dibilang datar?! /Sob/
NurAzizah504
mantapppp
NurAzizah504
dan kamu termasuk salah satunya
NurAzizah504
kali aja reyhan memiliki firasat kalo adel hamil
NurAzizah504
hai, Thor. aku mampir nih. jgn lupa mampir di lapakku juga, ya. 'Istri Kontrak Sang Duda Kaya'. terima kasih ^^
NurAzizah504
hayo, Del. tanggungjawab tuh /Facepalm/
NurAzizah504
ya ampun /Sob/
NurAzizah504
wah, ada juga ya kasus begini. hubungan hambar lah istilahnya
NurAzizah504
ini bukan lagi ditusuk. tp ditikam berkali2
Adinda
cerai Saja del suami kamu gak perduli sama kamu,kamu keguguran saja dia tidak tau karena asyik dengan jalangnya
Adinda
cerai saja adelia untuk apa sama suamimu tukang selingkuh
Cindy
lanjut kak
Adinda
cerai aja del tinggalin reyhan buat apa bertahan kalau dia bersama dengan jalangnya terus
Adinda
pergi adelia tinggalin reyhan buat apa bertahan sama pria yang tidak bisa lepas dari masalalu
Cindy
lanjut kak
Adinda
lebih baik adel tinggalin reyhan dan cerai tak usah punya urusan sama keluarga itu lagi
Cindy
next
Cindy
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!