Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Malam Dan Rahasianya.
Dewa memacu motornya melintasi jalanan malam yang masih ramai oleh lampu-lampu kendaraan dan suara klakson yang sesekali terdengar tajam. Angin malam menerpa wajahnya, dingin, tapi tidak mampu menyejukkan kekacauan di dalam kepalanya.
Ia tidak tahu apa yang mendorongnya keluar dari kamar tadi. Suara tangis Nadira… atau rasa sesak yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Bukan karena empati, mungkin. Atau justru karena empati yang ia tak mengerti.
Ia hanya tahu satu hal—ia tidak bisa tetap berbaring di ranjang itu, di samping seseorang yang menangis diam-diam karena dirinya.
Lampu lalu lintas berganti merah, tapi Dewa terus melaju, memutar setang ke arah jalan kecil yang menuju ke restoran milik Kai. Roda motornya menepi di depan tempat itu, mengerem mendadak, seolah tubuhnya jauh lebih cepat mengambil keputusan daripada pikirannya.
Ia tidak mengatur napasnya. Tidak memikirkan apa yang akan dikatakannya. Yang ia tahu hanya satu hal—ia perlu keluar dari rumah itu malam ini. Dari kamar itu. Dari keheningan yang Nadira isi dengan air mata.
Restoran milik Kai tidak pernah terlalu ramai, tapi malam ini terasa cukup hidup. Di pojok sana Saka yang bernyanyi dengan merdu diiringi oleh petikan gitar mengisi ruangan dengan melodi yang tenang.
Kai yang sedang merapikan gelas di balik bar mengangkat kepalanya saat menyadari siapa yang baru saja masuk.
"Dewa?" Alisnya naik sedikit. "Di jam segini?"
Dewa hanya meletakan kunci motor di atas meja bar dan duduk tanpa berkata apa apa. Jaketnya masih menempel di tubuh, wajahnya datar seperti biasanya, tapi ada sesuatu yang berbeda di matanya. Kai menyadari itu.
Beberapa menit berlalu dalam diam. Suara Saka masih melantun merdu menemani para pelanggan yang sedang menikmati makan malam di restoran yang tidak terlalu besar ini.
Kai meletakkan gelas yang berisi minuman di hadapan Dewa."Kau ingin berbicara, atau hanya ingin duduk disini sampai pagi?"
Dewa tidak langsung menjawab, dia hanya menatap kosong ke arah panggung. Ke arah Saka yang tertawa kecil setelah menyelesaikan sebuah lagu.
Lalu, dengan suara rendah dia berkata."Dia menangis."
Kai mengernyit."Nadira?"
Dewa mengangguk pelan.
"Isakannya pelan, tapi terdengar jelas di kamar, Aku—" ia menahan napas sejenak. "—Aku tidak suka mendengar atau melihatnya menangis."
Kai menyandarkan tubuhnya ke kursi dan melipat kedua tangannya di dada. "Lalu, kau pergi?"
Dewa menatap meja. "Aku tidak tau,harus bagaimana"
Saka turun dari panggung, tertawa sembari membawa sebotol air mineral di tangannya. Dia menepuk pundak Dewa lalu duduk di sebelahnya.
"Tante Melisa bisa marah jika tau ke kesini, meninggalkan Nadira." Kata Saka sambil membuka tutup botol.
"Dia menangis...Dia menangis karena aku tidak melakukan apa apa, tidak berkata apapun." Dewa menoleh, wajahnya masih datar namun tampak sedikit bingung. "Apa yang dia tangisi? Aku membiarkannya tidur dengan tenang, makan dengan layak, aku bahkan memberikan kartu debitku agar dia bisa membeli apapun yang dia mau."
Hening sesaat. Kai menghembuskan napasnya.
"Kau memperlakukannya seperti....Orang yang tinggal bersama mu, bukan seperti istrimu." Ujar Kai.
Saka berhenti meneguk air mineral itu dan kembali menatap Dewa dengan serius. "Jika kau tidak ingin melihatnya menangis, Maka buatlah dia bahagia, mungkin dengan cara menjadi seorang suami yang baik?" Saka menambahkan.
Dewa menunduk. Jari jarinya mengetuk pelan permukaan meja. "Aku tidak tau caranya..."
"Kau tau caranya, tapi kau tidak ingin melakukannya, berhentilah bermain main Dewa, kami ini temanmu, kami tau betul siapa dirimu sebenarnya." Kai mulai terlihat kesal.
Dewa menarik napas panjang, lalu berkata lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun.
"Aku...tidak mencintainya."
Kai menoleh perlahan. Saka berhenti memainkan tutup botol di tangannya.
"Perasaan itu tidak pernah ada..."
...****************...
Udara malam menyusup lewat celah tirai. Kamar terasa sunyi. Terlalu sunyi. Seperti ruang kosong yang tidak ingin dihuni oleh siapapun.
Dewa belum kembali.
Aku menatap jam di dinding—menunjukkan pukul satu pagi. Ponselku tergeletak di sisi bantal.
Aku tidak tau apa yang lebih menyakitkan, keheningan ini, atau fakta bahwa aku selalu sendiri dan tidak memiliki tempat untuk bersandar, untuk berkeluh kesah. Merasa sendiri di rumah ini, di kamar ini dan di pernikahan ini.
Sambil menarik napas pelan, aku membuka layar ponsel. Aku membuka room chat, tidak ada pesan dari siapapun, Hanya ada satu nama di daftar online—Hans.
Aku menatapnya lama, ragu. Tapi kemudian,layar ponselku berkedip.
Hans (Psikolog konseling)
[hai, tidak bisa tidur ya?]
Aku tertegun. Jari jari ku sempat membeku di atas layar, lalu aku membalas.
[ya, Kamu juga masih bangun?]
Tak butuh waktu lama, telepon masuk. Dari Hans. Aku ragu, tetapi jemariku bergerak lebih cepat daripada pikiranku.
"Halo..." Suaraku lirih.
"Halo, Nadira." Jawab nya dengan nada lembut dan hangat. "Kamu belum tidur? Kenapa, Kamu baik baik saja?"
Aku diam sejenak.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu