Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Elang Sembara
Tanah altar kini tak lagi berupa hamparan hening.
Ia telah menjelma medan perang.
Darah. Api. Jeritan. Aura siluman yang membakar dedaunan.
Tri dan Ningsih berdiri terengah.
Tubuh mereka penuh luka. Napas tersengal. Pakaian robek. Keringat dan darah bercampur jadi satu.
Di hadapan mereka, Manglayang Merah belum menunjukkan tanda melemah.
Tubuhnya bahkan kini bertumbuh, membesar seolah menyerap kekuatan dari segel yang hancur.
Tanduknya membara. Punggungnya menjulur duri-duri daging.
Matanya memancarkan kebencian abadi.
"Anjing," gumam Tri pelan, setetes darah menetes dari pelipisnya.
“Dia... bukan siluman biasa…” ucap Ningsih, tangannya bergetar setelah mantra pelindungnya gagal menahan serangan terakhir.
Tri bersiap menyerang lagi, tapi lututnya gemetar.
Kujang Kembar Larang di tangannya sudah retak, terlalu lama menahan aura pembunuh dari Manglayang.
Di belakang, Kenan mulai sadar penuh, tubuhnya telah cukup pulih setelah pengobatan dari Suster Ira.
Suster kini berpindah ke arah tubuh Sasmita yang masih terbaring. Tangannya yang kecil dan tua menggenggam rosario, membaca ayat-ayat dengan suara serak, tapi tiap kata melindungi tubuh Rengganis Larang dari kematian.
Cahaya samar mengalir ke luka-luka Sasmita.
Perlahan kulitnya menutup. Dada mulai naik turun pelan.
Suster menatap Maya yang menggenggam tangan Sasmita, dan berbisik,
"Dia akan bangun... sebentar lagi."
---
15 menit.
Waktu yang cukup untuk mengubah segalanya… atau kehilangan semuanya.
Tri dan Ningsih mulai terdorong mundur.
Manglayang Merah mulai tertawa.
"Lihatlah... anak-anak manusia yang sok kuat..."
Satu kibasan tangan.
Tanah meledak. Ningsih terpelanting. Tri tertancap pecahan batu runcing di pahanya.
“GUH!!”
Ningsih bangkit, tubuh bergetar.
“Tri… kita gak kuat…”
Tri memaksa berdiri. Kujang di tangannya jatuh.
Dia menangis. Tapi tak ada air mata. Hanya darah.
“GURU!!” teriaknya.
---
Dan saat itu—mata Sasmita terbuka.
Langit berubah kelabu.
Angin berputar seperti pusaran halus.
Burung-burung yang tadinya menghilang mulai beterbangan panik.
Sasmita menarik napas dalam-dalam.
Lalu duduk perlahan.
Tubuhnya belum pulih penuh, tapi matanya menyalak.
“Tri. Lempar kujangnya.”
Suara itu pelan…
tapi membuat tanah di sekitar altar bergetar.
Tri memandangnya.
Matanya melebar. “Guru…”
“Cepat.”
Tri menggenggam dua kujang, meski tangannya gemetar, dan melemparkan keduanya ke arah gurunya.
Ciiing—
Sasmita menangkap dua kujang itu dalam satu gerakan.
Ia berdiri. Kakinya gemetar. Tapi auranya... berubah.
“Sasmita…” desis Maya, memegangi mulut.
---
Sasmita menutup mata.
Dua kujang bersilang di dadanya.
Darah mengalir dari bibirnya. Tapi ia mulai membaca... mantra kuno keluarga.
Bahasa yang tak dikenali oleh manusia biasa.
Bahasa dari masa lampau.
Dari masa ketika langit dan bumi belum bersatu.
Dari masa ketika iblis turun bukan karena dosa, tapi karena kehendak Tuhan.
"Dengan darah waris, dengan langit sebagai saksi..."
Angin mendadak berpusar di sekeliling Sasmita.
Tanah retak di sekelilingnya.
Langit bergetar.
"Dengan senjata leluhur, dengan tubuh yang akan binasa…"
Tri dan Ningsih hanya bisa menatap, terdiam.
Kenan pun bangkit, meski masih lemas, dan melihat.
"Aku memanggilmu… Penjaga Langit…"
“SEMBARAAA!!”
KRAAAAAAAWWWWWWKKKK!!!
Suara rajawali hitam mengguncang langit.
Elang Sembara muncul dari balik awan kelam.
Tubuhnya sebesar truk kontainer.
Bulu-bulunya hitam pekat, berminyak, memantulkan cahaya neraka.
Tiga mata menyala di kepalanya.
Dua di kiri-kanan.
Satu di tengah dahi, terbuka perlahan, menyala merah.
Tatapan yang menembus dimensi.
Elang ini bukan sembarang burung.
Ia adalah penjaga langit, saksi para pemburu siluman sejak zaman dahulu.
Makhluk yang tidak tunduk pada manusia... kecuali kepada darah murni Wibisana.
Manglayang mundur satu langkah.
Untuk pertama kalinya... ragu.
“KHODAM…?” desisnya.
Sasmita berdiri. Rambutnya tertiup ke belakang.
Matanya merah darah. Ujung bibirnya tersenyum.
"Kenalin, bangsat. Ini Elang yang bakal ngorek isi kepala lo."
Elang Sembara menjerit.
Lalu menyelam turun.
BRAAAAKKKKK!!!
Cakar raksasanya menghantam kepala Manglayang.
Siluman itu terdorong ke tanah.
Batu-batu pecah. Api menyembur dari mulutnya.
Manglayang bangkit. Melempar bola darah.
Elang Sembara mengibas sayap — dan bola itu mental, hancur jadi kabut.
Suaranya menjerit lagi.
Dan dari jeritan itu—ribuan siluman kecil yang bersembunyi mulai muncul dan terbakar.
Tri berlutut.
“Gila…” bisiknya. “Ini… kekuatan guru kita yang sebenarnya…”
---
Pertarungan berubah.
Elang Sembara berputar di langit, lalu menyelam, mencakar punggung Manglayang, mencabik daging siluman itu dan melemparkannya ke udara.
Sasmita tak tinggal diam.
Kini dia sudah memegang Kujang Kembar, melompat ke pundak Elang.
Dia dan Khodam-nya menyatu.
Saat Elang menukik ke arah Manglayang, Sasmita melompat dari punggungnya, seperti peluru merah.
DUARRR!!!
Kujang Kembar menghantam dada Manglayang.
Retakan menyebar. Darah hitam muncrat.
Manglayang meronta, berteriak, mencoba menarik ingatan lama Sasmita lagi—
“INGAT KAU, SASMITA?! AYAHMU MEMOHON-MOHON SEBELUM KUMATI!!”
Sasmita menggertakkan gigi. Matanya berair. Tapi dia menahan.
"Gua inget."
"Dan sekarang, gua yang bakal bikin lo berlutut."
"ATAS NAMA LANGIT!"
KRAAAK!
Kujang Kembar menusuk dua sisi leher Manglayang.
Elang Sembara berputar, menukik ke arah ketiga matanya, dan mengeluarkan jeritan terakhir—jeritan yang menyapu dimensi astral.
Semua siluman… hancur.
Manglayang Merah terhuyung.
Tubuhnya mulai terbakar dari dalam.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRGGGGHHH!!!"
Manglayang belum hancur.
Tapi tubuhnya runtuh.
Terbakar.
Menguap.
Mata ketiganya pecah.
Sasmita terjatuh, ditangkap oleh Tri dan Kenan.
Tubuhnya gemetar. Tapi dia masih hidup.
Langit mendung.
Elang Sembara berputar di udara, lalu menghilang ke langit.
Bersambung