Kumpulan Cerita Pendek Horor
Tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Mereka selalu memperhatikan kita, setiap waktunya. Tidak peduli itu pagi, siang, sore, atau malam. Selama 24 jam kita hidup bersama mereka.
Jangan merasa tenang ketika matahari masih muncul di hadapan kita. Mereka tetap akan memberitahu jika mereka ada, walaupun ketika matahari masih bertugas di langit atas. Bukan hanya malam, mereka ada setiap waktunya. 24 jam hidup berdampingan bersama kita.
Mereka ada, melakukan kegiatan layaknya manusia. Mereka bisa melihat kita, tetapi kita belum tentu bisa melihat mereka. Hanya ada beberapa yang bisa merasakan kehadiran mereka, tanpa bisa melihatnya.
Apa yang akan kamu lakukan, jika kamu bersama mereka tanpa sadar. Apa yang akan kamu lakukan, jika mereka menampakkan dirinya di depan kamu. Mereka hanya ingin memberitahu jika mereka ada, bukan hanya kita yang ada di dunia ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ashputri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Bertemu di Kebun
Sari menghela napas pelan saat melihat waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Ia beranjak dari ranjang kayunya yang berukuran kecil. Bunyi decitan ranjang saat Sari beranjak terdengar memecahkan kesunyian malam.
Ia keluar dari dalam kamar dengan langkah gontai. Sebelum subuh ia harus pergi kebun untuk mengambil mangga yang akan dijualnya pagi hari nanti. Ia membasuh wajahnya dengan air agar tidak mengantuk saat di kebun.
Ia melangkah menuju meja makan yang letaknya tidak jauh dari kamar mandi. Ia menghela napas pelan saat meja makan hanya terisi satu singkong rebus yang dibuat ibunya.
Ia mengambil satu singkong tersebut untuk dimakannya sebelum berangkat ke kebun. Setidaknya perutnya sudah terisi walaupun dengan satu singkong yang sudah terasa dingin itu.
Suasana sunyi pagi hari membuat Sari menatap sekitar rumahnya. Mulutnya masih terus mengunyah satu singkong yang baru habis setengah. Dari arah luar rumah ia hanya mendengar suara jangkrik yang saling bersahutan. Tidak ada suara apapun di sekitarnya, bahkan ia bisa mendengar napasnya sendiri yang terus berhembus.
"Sari?"
Sari menoleh saat suara ibunya terdengar. Ia menatap Kasih yang baru saja keluar dari dalam kamar.
"Udah bangun," ucap Kasih seraya menuangkan air putih dari dalam teko kecil.
Sari menganggukkan kepalanya dengan pelan, "iya Bu."
"Ahmad udah bangun?" tanya Kasih lagi.
Sari menggelengkan kepalanya dengan cepat, "belum aku bangunin Bu."
"Ya udah, kamu ke kebun bertiga kan sama Fitri?" tanya Kasih seraya duduk di kursi samping anaknya.
Sari kembali menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan ibunya, "gak."
"Loh? Kenapa?" tanya Kasih ingin tau.
Pasalnya mereka bertiga sering sekali untuk pergi ke kebun bersama. Namun pagi hari ini sepertinya hanya kedua anaknya yang pergi ke kebun.
"Fitri sakit Bu," jawab Sari memberitahu.
"Oh iya? Sakit apa dia?"
Sari mengedikkan bahunya tak acuh, "gak tau, tapi katanya sih demam gitu. Jadi gak mungkin buat ke kebun pagi ini."
Kasih menganggukkan kepalanya mengerti mendengar jawaban anaknya, "semoga cepet sembuh deh, oh iya hari ini dua wadah ya mangganya. Semoga aja kalian gak lama, niatnya ibu mau ke pasar jam enam pagi nanti."
Sari menganggukkan kepalanya mengerti, "hm."
"Ya udah cepet makan, Ibu mau ke kamar mandi dulu. Kembali ke rumah sebelum matahari terbit ya Sari," ujar Kasih seraya beranjak dari tempatnya.
"Iya Bu."
Sari beranjak masuk ke dalam kamar adiknya. Ia harus membangunkan Ahmad dengan cepat sebelum matahari mulai terbit. Mereka tidak boleh berangkat terlalu siang, takut jika Kasih akan telat untuk berangkat ke pasar.
"Ahmad," panggil Sari seraya mengguncang bahu Ahmad agar adiknya itu bangun. "Ahmad ayo ke kebun, udah mau subuh."
Ahmad mengerjapkan matanya saat tidurnya terganggu, "apa?" tanyanya dengan suara serak.
"Ayo ke kebun ambil mangga buat dijual ke pasar, hari ini dua wadah loh," ujar Sari memberitahu.
Dengan malas Ahmad mengubah posisinya menjadi duduk. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali seraya menguap lebar. Hari ini udara terasa sangat dingin, cocok untuk ia bermalas-malasan sampai matahari muncul.
"Aku ngantuk banget," ucap Ahmad dengan mata terpejam.
Sari menghela napas seraya menatap Ahmad yang sedang memejamkan matanya, "kamu udah janji tadi malem sama Mba, mau temenin ambil mangga di kebun. Lagian Fitri lagi sakit, gak mungkin Mba sendirian ke sana."
Ahmad menghela napas pelan mendengar perkataan kakaknya, "iya Mba iya, aku cuci muka dulu."
"Mba tunggu di depan ya," ucap Sari seraya melangkah keluar dari dalam kamar.
"Hm."
Sari mengambil dua wadah rotan yang berada di dekat pintu rumahnya. Nantinya mangga yang mereka ambil akan ditaruh di dua wadah rotan tersebut. Ia berharap hari ini mangga yang mereka dapatkan bisa melebihi hari sebelumnya.
Ia bergidik geli saat hawa dingin pagi harus menusuk kulitnya. Dengan memegang dua wadah rotan tersebut, Sari duduk di depan rumahnya untuk menunggu adiknya bersiap.
Ia menatap rumah-rumah di sekitarnya yang tampak sepi. Tetangganya tentunya belum ada yang terbangun. Biasanya beberapa dari mereka akan ikut bersamanya untuk pergi ke kebun. Namun hari ini ia hanya berdua saja dengan Ahmad karena Fitri yang tiba-tiba demam.
"Mba."
Sari menoleh saat mendengar suara Ahmad dari belakangnya, "yuk jalan."
"Sini tempatnya aku yang bawa." Ahmad mengambil alih wadah rotan dari tangan Sari.
"Hati-hati loh ya kalian," ucap Kasih seraya melangkah mendekati kedua anaknya. "Jangan lupa pulang sebelum matahari terbit, biar nanti Ibu ke pasar gak terlalu siang."
Sari dan Ahmad sama-sama menganggukkan kepalanya mengerti mendengar perkataan Kasih.
"Iya Bu," balas Ahmad singkat.
"Berangkat dulu Bu," pamit Sari seraya menyalami tangan Kasih.
Mereka langsung pergi menuju kebun yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah mereka. Walaupun dekat, tapi akses menuju kebun tidaklah mudah. Jalanan desa mereka masih belum terlalu mulus, membuat mereka berdua harus ekstra hati-hati ketika melangkah.
Tidak memperhatikan jalan sedikit bisa membuat mereka terpeleset dan jatuh. Apalagi di sekitar mereka sungai yang arusnya deras, membuat mereka harus lebih memperhatikan setiap langkah agar tidak terjatuh ke sungai.
"Mba Fitri beneran sakit?" tanya Ahmad memecahkan kesunyian.
"Hm." Sari menganggukkan kepalanya pelan dengan tatapan mata mengarah ke arah kebun di depannya.
Mereka masuk ke area kebun yang tampak gelap. Tidak ada penerangan apapun di area kebun mangga saat ini. Melihat kondisi yang terlalu gelap, Ahmad langsung menyalakan senter yang dibawanya untuk membantu mereka melihat sekitar.
Mereka berdua langsung melangkah menuju tengah kebun untuk mengambil beberapa buah mangga yang sudah terlihat matang.
Semoga saja mangga yang mereka ambil sudah dalam kondisi siap untuk dimakan. Mereka bisa mendapatkan kerugian jika buah yang diambil ternyata masih belum matang.
Brukk
Ahmad dan Sari saling tatap saat mendengar suara seperti sesuatu terjatuh dengan kencang. Mereka tampak kebingungan, apakah ada warga lain yang juga sedang mengambil mangga. Tapi kenapa mereka tidak melihatnya saat masuk ke area kebun tadi.
Ahmad dan Sari menoleh saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Tak lama seorang perempuan muncul dengan membawa wadah rotan yang sama persis seperti milik mereka berdua.
"Fitri?" Sari menatap temannya dengan bingung, "bukannya kamu lagi sakit?" tanyanya ingin tau.
Fitri tidak menjawab pertanyaan Sari. Ia hanya terdiam dengan tatapan mata tertuju ke arah wadah rotan di tangannya.
"Kamu dari tadi di sini Fit?" tanya Sari seraya melirik wadah rotan milik temannya yang sudah tampak penuh dengan mangga.
Sari melirik ke arah Ahmad yang terdiam di sampingnya. Ia merasa aneh dengan Fitri malam ini, tidak biasanya temannya itu hanya diam dengan tatapan kosong seperti saat ini.
"Kamu mau pulang?" tanya Sari lagi.
Fitri menoleh ke arah Sari dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia menganggukkan kepalanya dengan pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Sari.
"Ya udah, hati-hati ya. Kenapa kamu gak ngomong kalau berangkat lebih pagi?" ujar Sari mencoba memecahkan keheningan di antara mereka bertiga.
Tanpa menjawab perkataan Sari, Fitri langsung melangkah menjauh dari kedua orang tersebut. Melihat tingkah Fitri yang tidak biasanya membuat Ahmad dan juga Sari saling tatap dengan perasaan bingung.
"Mba Fitri kenapa ya?" tanya Ahmad dengan rasa penasaran tinggi.
Sari menggelengkan kepalanya dengan pelan, "gak tau, yuk cari buah mangga lagi."
Ahmad menganggukkan kepalanya mengerti dan kembali melanjutkan kegiatannya. Mereka harus memikirkan cara untuk mengumpulkan mangga dalam waktu yang cukup singkat. Telat sedikit, Kasih bisa kesiangan untuk menjual mangga ke pasar.
•••
Sari terus menyapu halaman rumahnya yang tampak kotor. Banyak sekali daun-daun kering yang berterbangan ke area halaman rumahnya. Sesekali ia tersenyum saat beberapa tetangganya menyapanya.
"Mba."
Sari menghentikan kegiatannya seraya menatap Ahmad yang keluar dari rumah, "apa?" tanyanya.
"Aku ke sawah dulu ya, bantu Ayah," pamit Ahmad pada Sari.
Sari menganggukkan kepalanya pelan, "hati-hati, makanan yang di atas meja udah dibawa?"
"Udah Mba." Ahmad menunjukkan rantang yang dibawanya untuk makan siang di sawah bersama ayahnya.
"Ya udah, hati-hati," ucap Sari pada Ahmad.
"Iya Kak, berangkat Mba," pamit Ahmad seraya melangkah meninggalkan Sari yang masih berada di halaman rumah mereka.
"Iya."
Sari kembali melanjutkan kegiatannya yang sebentar lagi akan selesai. Setelah ini ia akan membersihkan dirinya terlebih dahulu sebelum waktu makan siang tiba. Perutnya sedari tadi terus berbunyi meminta untuk diisi. Ia akan mendapatkan tenaganya kembali setelah makan siang nanti.
"Sari."
Sari menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya, "Fitri?"
"Hai," sapa Fitri pada Sari.
"Udah sehat?" tanya Sari ingin tau.
Fitri menganggukkan kepalanya dengan cepat, "udah, baru mendingan sih. Tapi bosen aku di rumah, makanya ke sini. Sekalian kena sinar matahari biar makin enak badannya," jawabnya memberitahu.
Sari menganggukkan kepalanya mengerti, "tadi subuh kamu kenapa gak bilang sama aku," ucapnya mengingat temannya saat di kebun tadi pagi.
"Bilang apa?" Fitri mengerutkan keningnya bingung mendengar perkataan Sari.
"Buat ke kebun loh, kamu subuh banget ke kebun buat ambil mangga. Aku dateng kamu udah dapet banyak," ujar Sari memberitahu.
"Ke kebun?" tanya Fitri memastikan.
"Iya." Sari menganggukkan kepalanya dengan cepat, "kenapa?" tanyanya saat melihat wajah Fitri yang tampak ketakutan.
"Aku tadi subuh gak ke kebun, soalnya masih dilarang sama Ibu," ujar Fitri memberitahu.
"Masa sih?" tanya Sari tidak percaya.
Fitri menganggukkan kepalanya dengan cepat, "serius, kamu tanya aja sama Ibu aku."
Sari terdiam seraya menatap Fitri dengan tatapan yang sulit diartikan, "pagi tadi kamu tuh banget. Diajak ngomong cuman diem aja, muka kamu juga pucet banget. Aku sama Ahmad gak kepikiran apa-apa karena kamu juga lagi sakit. Kalau gak percaya, coba tanya Ahmad. Dia juga liat kamu tadi pagi di kebun," ujarnya.
"Aku gak ke kebun tadi malam." Fitri menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Aku masih gak dibolehin Ibu ke kebun."
"Bener kamu?" tanya Sari dengan pelan.
Fitri menganggukkan kepalanya dengan cepat, "bener, kalau kamu gak percaya ayo coba tanya sama Ibu aku. Dia lagi di rumah, lagi masak. Kalau misalnya tadi pagi aku ke kebun, Ibu aku pasti lagi di pasar sekarang sama Ibu kamu."
Sari terdiam seraya menatap Fitri dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia mengalihkan tatapannya ke arah lain, berpikir siapa yang ditemuinya tadi pagi. Padahal ia melihat dengan jelas jika Fitri yang ada di kebun tadi pagi, walaupun temannya itu hanya diam dengan wajahnya yang terlihat pucat.
Jadi tadi pagi itu siapa?
•••