NovelToon NovelToon
Kejamnya Mertuaku

Kejamnya Mertuaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.

Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".

Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 24

Anjani menggeleng pelan. "Tidak, sepertinya belum pernah. Keluarga saya sederhana, Ayah saya hanya seorang pekerja biasa, dan ibu saya ibu rumah tangga. Kami tidak punya hubungan dengan keluarga besar mana pun."

William, yang masih menggenggam tangan Anjani, menatapnya dalam-dalam, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. Tapi, jelas terlihat kebingungan di mata Anjani.

Rose, menyadari suasana semakin berat, mencoba mencairkan suasana. "Mungkin ini hanya kebetulan, Anjani. Ayo, makan malam sudah siap. Mari kita lanjutkan, nanti semuanya bisa dibicarakan dengan lebih santai."

Namun, saat mereka mulai beranjak ke meja makan, Elisabet menatap punggung Anjani dengan tatapan penuh harapan yang belum padam. Dalam hati kecilnya.

Makan malam berlangsung dalam suasana yang canggung. Setiap orang fokus pada makanannya, hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang sesekali memecah keheningan.

Anjani duduk di sebelah Wiliam, sementara Elisabet dan Marco duduk berhadapan dengan mereka. Rose dan Robet pun tampak menjaga sikap, mencoba mencairkan suasana dengan beberapa obrolan ringan, namun suasana tetap terasa tegang.

Sesekali, Elisabet melirik Anjani dengan pandangan penuh rasa ingin tahu, seolah ada sesuatu yang terus mengganjal di benaknya. Marco menyadari gelagat istrinya, tapi memilih diam, membiarkan Elisabet larut dalam pikirannya sendiri.

Setelah makan malam selesai, mereka semua pindah ke ruang santai. Anjani duduk di sofa paling ujung, berdekatan dengan William yang tanpa sadar meraih tangan Anjani untuk memberinya kenyamanan. Elisabet, yang sedari tadi menahan perasaan, akhirnya duduk tepat di depan Anjani, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Anjani," suara Elisabet terdengar pelan tapi penuh emosi, "bolehkah tante melihat sesuatu?"

Anjani mengangguk pelan, meski terlihat bingung. "Melihat apa, Tante?" tanyanya hati-hati.

"Telingamu, nak. Bolehkan Tante melihat telingamu sebentar saja?" suara Elisabet bergetar, seakan sedang menahan sesuatu yang dalam.

William menoleh dengan tatapan heran, tapi Anjani, meski ragu, mengangguk. Dengan perlahan, ia menyibakkan rambutnya, memperlihatkan telinganya yang mungil.

Begitu Elisabet melihatnya, nafasnya tercekat. Ada tanda kecil berbentuk bintik hitam di belakang telinga kiri Anjani. Tangannya bergetar, air mata mulai mengalir tanpa bisa ditahan.

"Ini... tanda yang sama," bisik Elisabet nyaris tak terdengar, "Ini tanda yang sama dengan yang dimiliki putri ku yang hilang dulu." Tangisan Elisabet tak terbendung lagi .Marco dan Kevin terkejut segera mendekati Anjani dan maminya.

Anjani menatap Elisabet dengan mata melebar, bingung dan terkejut. "Putri yang hilang? Maksud Tante apa?" tanyanya dengan suara bergetar.

Elisabet menggenggam tangan Anjani, suaranya bergetar penuh emosi. "Tante kehilangan putri tante bertahun-tahun yang lalu, dan tanda ini... sama persis. Mungkinkah... kamu adalah dia?"

William memandang Elisabet dengan campuran keterkejutan dan kebingungan. "Mami, ini serius? Mungkinkah Anjani benar-benar.

Marco yang duduk di sampingnya langsung mendekat, wajahnya penuh keterkejutan. Kevin, yang sejak tadi diam, segera menghampiri Anjani dengan mata berkaca-kaca.

"Kakak..." bisik Kevin lirih, suaranya tercekat.

Tanpa berpikir panjang, Kevin langsung memeluk Anjani erat, seolah takut kehilangan lagi.

Anjani membeku dalam pelukan Kevin. Hatinya terasa campur aduk, bingung dengan reaksi mereka. Ia hanya bisa membiarkan air matanya jatuh perlahan, tanpa kata-kata yang mampu diucapkan. Di ruangan itu, keheningan diisi isak tangis dan haru.

Pelukan Kevin terasa hangat, namun Anjani tetap membeku. Tangannya mengepal di sisi tubuh, hatinya bergemuruh antara percaya dan tidak.

Elisabet masih bersimpuh, sesekali terisak, menatap Anjani seolah tak ingin kehilangan lagi. Marco menepuk bahu istrinya dengan lembut, mencoba menenangkan tangis yang terus pecah.

"Anjani... kamu benar-benar anak kami," ucap Elisabet lirih, suaranya bergetar.

Anjani menoleh pelan, matanya berembun.

"Apa maksud kalian? Aku... aku tidak mengerti," gumamnya pelan.

Marco mendekat, duduk di hadapan Anjani. Wajahnya menahan emosi yang sejak tadi berusaha ia redam.

"Kami kehilangan anak perempuan kami sejak kecil... Dia memiliki tanda lahir yang sama seperti yang kamu miliki," jelas Marco dengan suara serak.

Anjani menggeleng perlahan, pikirannya semakin kacau.

"Tidak mungkin... Aku selama ini... aku hanya tahu ibu dan ayahku," bisiknya, menahan sesak di dadanya.

Elisabet kembali mendekat, meraih tangan Anjani dengan gemetar.

"Kami tidak pernah berhenti mencarimu, Nak... Tolong percayalah," isaknya.

Kevin melepaskan pelukannya, tapi takut jika Anjani tiba-tiba pergi.

Anjani menunduk, menatap tangan Elisabet yang menggenggamnya erat. Air mata mulai membasahi pipinya.

Hati kecilnya mulai goyah, tetapi terlalu banyak luka yang selama ini ia pendam, membuatnya sulit menerima kenyataan begitu saja.

Suasana di ruangan itu masih diliputi ketegangan dan isak tangis. Anjani duduk dengan kepala tertunduk, hatinya berkecamuk mendengar penjelasan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Pak Robet yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara dengan suara tenang namun tegas.

"Menurutku... sebaiknya kita lakukan tes DNA agar semuanya jelas dan pasti," ucapnya, memecah kebekuan.

Marco menoleh, menatap Pak Robet dengan mata yang masih basah.

"Aku setuju," jawabnya lirih. "Itu cara terbaik untuk memastikan semuanya."

Elisabet yang masih berlutut, mengangguk pelan sambil menyeka air matanya.

"Tapi... bagaimana dengan keluarga yang selama ini merawat Anjani?" tanya Elisabet dengan suara terbata.

Pak Robet menatap Anjani yang masih membisu, lalu menoleh ke arah Marco dan Elisabet.

"Kita bisa meminta ibu dan ayahnya Anjani untuk datang ke sini... Kita dengarkan penjelasan dari versi mereka," usul Pak Robet bijak.

Suasana kembali sunyi. Anjani merasa dadanya semakin sesak, pikirannya melayang pada sosok ibu dan ayah yang selama ini ia kenal.

"Apa mereka benar-benar bukan orang tuaku?" bisik Anjani, nyaris tak terdengar.

Pak Robet mendekat, menepuk bahu Anjani dengan lembut.

"Kita tidak tahu pasti sebelum semuanya terbukti, Nak... Yang terpenting, kebenaran harus terungkap."

Anjani menatap Pak Robet dengan mata berkaca-kaca. Ada ketulusan dalam setiap kata-kata pria tua itu, membuat hatinya sedikit lebih tenang di tengah badai yang melanda hidupnya.

Malam itu, Pak Robet meminta Anjani untuk bermalam di rumahnya. Suasana rumah yang hangat diharapkan bisa sedikit meredakan gejolak di hati gadis itu. Anjani hanya mengangguk pelan, masih terlarut dalam kebingungan.

Pak Robet, yang bijaksana, sudah mengambil langkah lebih jauh. Ia meminta sopir kepercayaannya untuk menjemput Bu Fatma dan Pak Iksan di kampung. Jarak kampung Anjani memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar dua jam perjalanan.

Di rumah sederhana mereka, Bu Fatma dan Pak Iksan terkejut saat melihat mobil yang berhenti di depan halaman. Sopir Pak Robet turun dengan ramah, menyampaikan maksud kedatangannya.

"Ada apa sebenarnya? Kenapa mendadak menjemput kami?" tanya Bu Fatma dengan cemas.

"Saya hanya disuruh menjemput Ibu dan Bapak. Semua penjelasan akan disampaikan di rumah Pak Robet," jawab sopir dengan sopan.

Pak Iksan yang sedari tadi diam hanya saling pandang dengan istrinya. Kekhawatiran mulai menyelimuti hati mereka, terutama saat mendengar nama Pak Robet disebut.

Tanpa banyak bertanya lagi, mereka berdua segera bersiap dan ikut dalam perjalanan menuju rumah Pak Robet. Sepanjang perjalanan, Bu Fatma terus menggenggam tangan suaminya, hatinya gelisah memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada putri kesayangannya.

Di sisi lain, Anjani masih duduk termenung di kamar tamu rumah Pak Robet. Hatinya berkecamuk, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ketukan pelan terdengar di pintu kamar, membuat Anjani tersentak dari lamunannya. Ia buru-buru menyeka air matanya, mencoba menyembunyikan kegelisahan di wajahnya.

"Pintu tidak dikunci... Silakan masuk," ucapnya pelan.

Pintu terbuka perlahan, menampakkan sosok Wiliam, pria yang selama ini diam-diam menaruh perhatian pada Anjani. Tatapan lembut dan senyumnya yang menenangkan membuat dada Anjani berdegup lebih kencang, meski pikirannya masih diliputi kebingungan.

"Anjani..." panggil Wiliam pelan, menutup pintu di belakangnya.

Anjani menunduk, tak berani menatap mata pria itu terlalu lama.

"Kamu pasti lelah... boleh aku temani sebentar?" tanya Wiliam hati-hati.

Anjani menggigit bibirnya, ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan.

Wiliam melangkah mendekat, duduk di tepi ranjang, menatap wajah gadis yang selama ini memenuhi pikirannya.

"Aku tahu ini semua membingungkan buatmu... Aku pun tidak menyangka semua akan serumit ini."

Anjani menghela napas panjang, berusaha menahan air matanya.

"Aku takut, Wiliam... Takut kalau semua ini hanya kebetulan, atau aku malah menyakiti orang tuaku yang selama ini membesarkanku."

Wiliam meraih tangan Anjani dengan lembut, menenangkannya.

"Kamu nggak sendiri, Anjani... Aku di sini buat kamu."

Tatapan Wiliam yang penuh kasih membuat pertahanan Anjani runtuh. Air matanya jatuh perlahan, namun kali ini bukan hanya karena takut, melainkan karena merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.

Wiliam menarik tubuh Anjani ke dalam pelukannya, menenangkan gadis yang mulai terisak.

"Aku nggak peduli siapa kamu sebenarnya... yang aku tahu, aku sayang sama kamu," bisiknya di telinga Anjani.

Hati Anjani semakin berkecamuk. Perasaan yang selama ini ia simpan mulai menyeruak di tengah badai yang melanda hidupnya.

Tok tok….pelayang masuk dan mengabarkan kalau bapak dan ibu Anjani sudah datang.

“ Maaf den…saya di suruh tuan untuk memanggil Aden dan nona untuk keluar karena bapak dan ibu non sudah Sampai”

Wiliam menganguk dan segera menyuruh pelayan keluar .dan mengatakan kalau mereka akan segera turun.

Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat mobil yang membawa Pak Iksan dan Bu Fatma berhenti di depan mansion megah milik Pak Robet. Cahaya lampu temaram menyinari halaman luas, menambah kesan anggun pada rumah itu.

Sang sopir segera turun, membukakan pintu dengan sopan. Pak Iksan turun lebih dulu, diikuti Bu Fatma yang tampak gelisah. Matanya menelusuri sekeliling, jantungnya berdegup kencang.

Pelayan rumah sudah menunggu di teras, membungkukkan badan dengan sopan.

"Selamat malam, Bapak dan Ibu. Silakan masuk, Tuan Robet sudah menunggu."

Tanpa banyak bicara, mereka mengikuti langkah pelayan menuju ruang keluarga. Suasana di dalam rumah begitu tenang, hanya terdengar suara detik jam yang berdetak pelan.

Saat mereka tiba di ruang keluarga, mata Bu Fatma langsung tertuju pada Anjani yang berdiri di sudut ruangan. Wajah gadis itu tampak pucat, matanya berkaca-kaca.

"Anjani..." panggil Bu Fatma pelan.

Anjani buru-buru melangkah mendekat, menyambut kedua orang tuanya dengan menyalami tangan mereka satu per satu.

"Ibu... Ayah..." suaranya bergetar, menahan air mata yang hampir jatuh.

Bu Fatma segera merengkuh Anjani ke dalam pelukannya, seolah ingin melindungi putrinya dari apa pun yang sedang terjadi.

"Ada apa ini, Nak? Kenapa Ibu dan Ayah dijemput seperti ini?" tanyanya lembut.

Anjani tak mampu menjawab. Hanya isakan pelan yang terdengar, membuat hati Bu Fatma semakin tak tenang.

Pak Robet yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya angkat bicara.

"Silakan duduk, Bu Fatma, Pak Iksan... Kami hanya ingin meminta sedikit penjelasan tentang Anjani. Ada hal penting yang harus kita klarifikasi bersama."

Pak Iksan menatap istrinya dengan bingung, sementara Bu Fatma semakin mempererat pelukannya pada Anjani.

"Penjelasan? Penjelasan apa?" tanyanya dengan suara bergetar.

Marco yang duduk di sebelah Robet, menambahkan dengan nada hati-hati.

"Kami hanya ingin tahu…apakah ajani anak kandung kalian. dan apakah ada hal yang selama ini kalian rahasiakan tentang asal-usulnya."

Suasana menjadi hening seketika. Anjani menatap wajah kedua orang tuanya, berharap jawaban yang selama ini ia yakini tidak akan berubah.

Namun, dari sorot mata Bu Fatma yang tiba-tiba berkabut, ada sesuatu yang selama ini tersembunyi rapat... dan siap terbongkar malam itu.

Bu Fatma dan Pak Iksan tertegun mendengar ucapan seseorang yang tak mereka kenal. Mata mereka menelusuri sosok pria paruh baya dengan wajah tegas yang baru saja berbicara.

"Siapa Anda?" tanya Pak Iksan dengan nada hati-hati, masih berusaha memahami situasi.

Marco segera berdiri, memperkenalkan dirinya dengan sopan.

"Perkenalkan, saya Marco... suami dari Elisabet, dan ini istri saya."

Bu Fatma mengangguk pelan, meski rasa penasaran semakin membuncah di dalam dadanya. Sebelum ia sempat berbicara lagi, Elisabet yang sudah tak mampu menahan emosinya segera duduk bersimpuh di hadapan Bu Fatma.

Bu Fatma tersentak, kedua tangannya refleks menarik Anjani ke sisinya, seolah ingin melindungi putrinya.

"Ada apa ini, Bu? Kenapa Anda bersimpuh seperti ini?"

Air mata mulai membasahi pipi Elisabet. Dengan suara bergetar, ia menatap Bu Fatma penuh harap.

"Tolong... izinkan saya bertanya sesuatu... sejak kapan Anda mengasuh Anjani? Apakah... apakah dia benar-benar anak kandung Anda?"

Pertanyaan itu membuat Bu Fatma terdiam. Wajahnya langsung memucat, seolah ada rahasia besar yang selama ini terkunci rapat di dalam hatinya.

Pak Iksan menatap istrinya dengan bingung, sementara Anjani semakin menggenggam tangan ibunya, merasa ada sesuatu yang disembunyikan.

Bu Fatma menelan ludah, mencoba meredakan gemuruh di dadanya.

"Anjani... tentu saja dia anak kami..." ucapnya pelan, meski suara itu terdengar goyah.

Elisabet semakin terisak, tatapannya tak lepas dari Anjani.

"Tolong, Bu... jawab dengan jujur... apakah kalian pernah menemukan Anjani... atau ada sesuatu yang kalian rahasiakan?"

Pak Iksan mulai gelisah, sementara Anjani merasa dadanya semakin sesak.

"Ibu... Ayah... ada apa sebenarnya? Kenapa mereka bertanya seperti itu?" suara Anjani bergetar, matanya menatap penuh kebingungan.

Bu Fatma terdiam, menundukkan kepala. Air matanya mulai jatuh, menandakan bahwa ada kebenaran yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

Suasana ruangan semakin tegang, seolah waktu berhenti sejenak menunggu jawaban yang akan mengubah segalanya.

Kebenaran  apa yang akan di utarakan bu Fatma…..? Lajutkan di bab berikutnya..

1
Arsyi Aisyah
Ya Silahkan ambillah semua Krn masa lalu Anjani tdk ada hal yang membahagiakan kecuali penderitaan jdi ambil semua'x
Arsyi Aisyah
katanya akan pergi klu udh keguguran ini mlh apa BKIN jengkel tdk ada berubahnya
Linda Semisemi
greget ihhh.... kok diem aja ya diremehkan oleh suami dan keluarganya....
hrs berani lawan lahhh
Heni Setianingsih
Luar biasa
Petir Luhur
seru banget
Petir Luhur
lanjut.. seru
Petir Luhur
lanjut kan
Petir Luhur
lanjut thor
Petir Luhur
bagus bikin geregetan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!