Mati Rasa

"Menurutmu bagaimana?"

"Bagaimana apanya?" Rena menjawab acuh meski dirinya tahu kemana arah pembicaraan sang kakak.

Kedua saudara kembar itu sedang dalam perjalanan ke kota A. Setelah bertemu dengan Raka keduanya memutuskan untuk segera ke kota A dan menemui Denisa. Meski belum pasti dengan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.

"Soal abang dengan kak Nisa. Aku sebenarnya kasihan dan tak tega melihat nya begitu. Tapi aku juga masih ragu untuk melepaskan kak Nisa. Maksudku, aku masih meragukan perasaan abang saat ini. Aku takut kejadian lalu terulang lagi."

"Serahkan saja pada mereka berdua mau gimana. Kita hanya mampu mendukung dan mendoakan tanpa bisa ikut campur terlalu jauh. Begini juga sudah baik, abang terlihat lebih dewasa dalam berpikir. Apa kamu tak melihat perubahan itu, kak?"

Rico mengangguk, sangat terlihat jelas bagaimana sikap Raka saat ini dan dulu. Raka yang dulu mengutamakan emosi tanpa mau berpikir ulang selalu saja marah dan marah setiap menyelesaikan masalah besar maupun kecil. Namun hari ini, Raka terlihat sangat dewasa dan penuh pemikiran dalam bersikap.

Tak dapat dipungkiri kedua adik kembarnya merasa senang dengan perubahan tersebut. Tak ada lagi bentaran ataupun umpatan kasar yang terdengar dari bibirnya sepanjang waktu bertemu tadi.

"Kita bisa bantu apa?"

"Entahlah kak, untuk saat ini aku pun belum menemukan ide. Yang jelas aku akan mendukung apapun yang baik untuk mereka berdua."

"Hem, kamu benar dek. Kita tak bisa ikut campur terlalu jauh. Ini masalah hati dan hanya mereka berdua yang bisa menyelesaikan semuanya. Tapi aku masih berharap semuanya yang terbaik."

.

.

.

Plaaak

Tamparan keras mendarat di pipi mulus seorang wanita cantik yang tak lain adalah Trica. Gadis itu terkesiap dengan air mata yang meleleh di kedua pipinya. Tak menyangkah jika sang ayah akan tega memukulnya kali ini.

"Otak kamu dimana, Trica? sudah ayah katakan kamu harus bermain halus dan mendekati Raka dengan cara yang elegan untuk mencari perhatiannya. Bukannya malah merusak rencana ayah seperti ini."

Lelaki paruh baya itu nampak murka. Dirinya yang baru saja kembali dari urusannya diluar negeri malah dibuat berang dengan kelakuan anaknya.

Dia memang meminta sang anak untuk menjerat Raka demi memuluskan usahanya. Raka adalah pengusaha sukses yang mempunyai masa depan cerah. Status yang masih singel dengan banyaknya kekayaan membuat banyak pengusaha berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatiannya dengan berbagai cara termasuk mendekatkan anak gadis mereka untuk menjerat Raka.

Status pernikahan Raka yang tak pernah di publish ke permukaan membuat tak banyak orang tahu. Bagi mereka Raka adalah tambang emas yang patut di kejar.

"Dasar bodoh!!" umpatnya kasar sembari mengusap wajahnya.

"Dia mengusirku ayah, bahkan dia membentakku kala itu. Aku tidak mau lagi berurusan dengannya. Cari lain aja ayah, masih banyak laki-laki yang tak kalah tampan dan juga kaya selain dirinya."

"Selain bodoh kau juga buta ternyata!! Bersamanya hidupmu akan terjamin hingga 7 turunan. Dia anak pertama yang jelas jelas akan mewarisi lebih banyak kekayaan yang dimiliki oleh keluarganya. Selain itu, jika bisa menggaetnya maka perusahaan kita akan semakin kokoh."

Trica mencebikan bibirnya, bagaimana mau menggaet Raka. Bahkan mendekatinya saja sudah cukup sulit baginya. Beberapa kali bahkan dirinya menggunakan alasan pekerjaan hingga bisa bertemu dengan Raka meski berakhir dengan pengusiran.

"Cari cara lain, kamu harus bisa mendapatkannya. Tak penting hatinya yang penting kau bisa menjeratnya dan membuatnya tak punya pilihan lain selain mengikuti mau mu!!"

Trica memilih menundukkan wajahnya dalam. Terkadang dia lelah dengan segala obsesi yang ayahnya miliki. Tak hanya sekali ini Trica harus menuruti kemauan sang ayah. Tak bisa menolak karena jika dia melakukan hal itu maka bisa dipastikan semua aksesnya bisa di bekukan. Statusnya yang hanya anak angkat menambah ketidakberdayaan nya.

.

.

Raka tersenyum menatap foto Denisa. Ada sedikit rasa lega dalam hatinya ketika mengetahui dimana istrinya itu tinggal selama ini.

"Kita akan segera bertemu, sayang. Aku sangat menantikan waktu itu tiba. Tapi jujur saja aku takut, takut kehadiranku akan membuatmu semakin menjauh nantinya."

Tak dapat dia pungkiri kata kata kedua adiknya sedikit memperngaruhi pikirannya. Benar yang dikatakan oleh Rico. Bagaimana jika Denisa menolak kehadirannya? Bagaimana jika seandainya memang benar Denisa lebih memilih kehidupannya yang sekarang dan tak ingin kembali mengulang hidup bersamanya?.

Raka menghembuskan nafas berat. Banyak kemungkinan yang hadir dalam benaknya. Akan tetapi kemungkinan buruk cenderung menyerangnya. Ada rasa takut untuk melangkah namun dia juga tak ingin semua berlarut-larut semakin lama.

"Apa aku melakukan seperti yang Rico sarankan saja? tapi bukankah resikonya sama saja?. Tidak tidak, sebaiknya aku melakukan rencanaku sendiri. Aku tak ingin Denisa semakin marah padaku."

Tak jauh berbeda dengan Raka. Malam ini pun Denisa tak bisa tertidur dengan nyenyak. Apa yang didengarnya tadi siang sangat memperngaruhi hatinya. Bahkan tanpa sadar gadis itu tersenyum dan menitikan air matanya secara bersamaan.

Tak bisa dipungkiri bahwa hatinya sangat merindukan Raka. Namun rasa takut akan kembali terluka sering menyeruak dan membuatnya kembali harus menekan rindu itu untuk kembali menghilang.

.

.

"Aku harus bagaimana mas, Aku merindukanmu namun Aku juga takut akan cintaku sendiri. Takut Aku akan kembali hancur dengan cinta yang sama. Bolehkah aku egois untuk kali ini? "

.