Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Desa Mulia, tahun 1995
"Buku apa ini?"
Wanita berambut panjang yang berprofesi sebagai guru olahraga itu mengambil buku yang penuh debu dan sarang laba-laba. Sampulnya kecokelatan, lembab di beberapa sisi, menandakan sudah lama terselip di balik lemari perpustakaan SD Negeri Mulia I. Bau kertas tua yang khas langsung menusuk hidungnya, seolah membawa nuansa mistis dari masa lalu.
Guru itu bernama Dyah Galuh Pitaloka, lebih akrab dipanggil Galuh. Tubuhnya masih dibalut kaos olahraga dengan celana training favorit yang sudah mulai longgar karetnya. Malam itu, dia tak menyangka akan menemukan sesuatu yang tampak seperti peninggalan zaman baheula.
Di ruang sempit yang diterangi lampu neon tua, Galuh sedang membereskan perpustakaan bersama dua sahabat dekatnya, Ryan dan Dewa. Suasana malam semakin hening, hanya suara jangkrik di luar jendela yang pecah oleh keluhan mereka bertiga.
"Heh, apaan tuh?" tanya Ryan dari sisi lain lemari. Lelaki berkacamata itu menahan nafas, tubuhnya miring karena menopang berat lemari kayu jati.
"Woy, Galuh! Berat ini! Kenapa kamu lepas pegangannya?" seru Dewa dengan nada kesal. Urat di lengannya menonjol saat menahan lemari besar itu sendirian.
Galuh hanya nyengir, memperlihatkan giginya. Kedua temannya sudah basah kuyup oleh keringat, sementara dia malah asyik menepuk-nepuk debu dari buku tua itu. Buku itu ia kepit di perut, tertahan oleh tali kolor training yang memang jadi ciri khasnya kalau datang ke sekolah.
Akhirnya mereka bertiga berhasil memindahkan lemari ke sisi lain. Tubuh Ryan ambruk ke kursi plastik, sementara Dewa terengah-engah, mengibas-ngibaskan baju batik PGRI yang lengket di tubuhnya.
"Ya Allah, capek sekali!" Ryan mengusap keningnya yang basah oleh keringat, nadanya jelas penuh penyesalan karena mau diseret kerja lembur malam-malam.
"Hanya gara-gara kita masih jomblo, kita disuruh lembur buat renovasi perpustakaan," gerutu Dewa, matanya mendelik ke arah Galuh yang masih tampak sibuk sendiri.
Langit di luar sudah pekat. Dari celah jendela, cahaya lampu jalan nyaris tak sanggup menembus, meninggalkan ruangan itu dalam bayangan suram. Mereka bertiga tahu pekerjaan ini harus selesai malam itu juga. Kepala sekolah akan menggunakan separuh ruangan sebagai ruang kerja darurat, karena ruang aslinya hancur ditimpa pohon kelapa kemarin sore.
Sekolah dasar di Desa Mulia memang hanya satu bangunan, tapi dipakai bergantian untuk dua sekolah: SD Negeri Mulia I dan SD Negeri Mulia II. Anak-anak sudah terbiasa masuk pagi atau siang secara bergilir. Namun bagi para guru, sistem itu sering bikin ribet.
"Udah, cepet beresin bukunya! Masukin lagi ke rak," titah Ryan dengan suara tegas, meski napasnya masih ngos-ngosan.
Galuh malah jongkok di lantai, membuka lembaran demi lembaran buku yang baru ditemukannya. Kertasnya rapuh, aksara Sunda kuno memenuhi setiap halaman. Judulnya jelas tertera: “Mantra Mujarab.” Matanya berbinar-binar, seperti anak kecil menemukan mainan baru.
"Galuh, kamu malah asyik baca! Cepetan beresin kerjaan kita! Udah malam, lho!" Ryan melotot.
Galuh tak bergeming. Senyum nakalnya malah makin melebar. "Hei, ini bukan buku sembarangan! Nih, coba lihat dulu."
Ryan dan Dewa saling pandang, rasa penasaran mengalahkan rasa lelah mereka. Akhirnya keduanya mendekat, ikut jongkok di samping Galuh.
"Mantra mujarab?" gumam mereka berdua hampir bersamaan, membaca tulisan di sampul yang sudah lusuh.
Galuh menepuk-nepuk halaman buku itu, lalu menunjuk salah satu bagian. "Ini ada mantra pemikat hati. Katanya bisa bikin orang yang kita cinta jadi mabuk kepayang, tergila-gila sama kita!" Nada suaranya terdengar penuh semangat, seperti baru saja menemukan harta karun.
Ryan dan Dewa sontak menyeringai. Tawa kecil mereka meletup, bukan karena mengejek, tapi karena pikiran mereka langsung melayang ke orang-orang yang diam-diam mereka kagumi. Sudah jelas, isi kepala ketiganya seirama, mereka semua punya dambaan hati masing-masing, tapi tak satupun yang bisa digapai dengan mudah.
Di tengah tumpukan buku berdebu dan lemari kayu tua, malam itu ruang perpustakaan berubah jadi tempat konspirasi tiga guru muda yang haus cinta dan mungkin haus keajaiban.
Dahulu, Galuh pernah menaruh hati pada Max, pria keturunan Jerman dengan sorot mata biru jernih yang selalu menggetarkan dada. Kakek-nenek Max adalah imigran yang menetap di Indonesia untuk menyelamatkan diri dari perang dunia ke-II. Meski perbedaan budaya dan bahasa pernah jadi penghalang, Galuh merasa selalu bisa mengimbangi. Sayang, perbedaan agama menjadi tembok kokoh yang tak bisa mereka robohkan. Hubungan itu kandas begitu saja, menyisakan luka samar yang kadang masih terasa hingga kini.
Sementara Ryan, diam-diam menaruh hati pada Meilin, wanita keturunan Tionghoa yang cantiknya sering jadi bahan pembicaraan warga desa. Sayangnya, keluarga Meilin menentang keras hubungan itu. Mereka menganggap Ryan hanyalah seorang guru biasa, berbeda jauh dengan harapan orang tua Meilin yang ingin anaknya menikah dengan pengusaha Tionghoa sukses. Perbedaan budaya, adat, dan agama makin memperlebar jurang yang memisahkan mereka.
Dewa pun tak jauh berbeda. Hatinya yang terguncang tiap kali melihat Denok, gadis manis putri kepala desa. Namun, status sosial keluarga membuat cintanya hanya bisa dipendam. Ayahnya hanyalah seorang buruh serabutan, bahkan Dewa bisa mengenyam pendidikan karena dibantu biaya oleh ayah Galuh. Rasanya mustahil bisa merebut hati Denok tanpa restu keluarga.
Buku tua yang ditemukan malam itu terasa menjadi secercah harapan untuk cinta mereka bertiga.
"Kita harus menghafal mantra ini," ujar Galuh dengan mata berbinar.
Ryan dan Dewa mengangguk penuh semangat, seolah mantra itu bisa jadi tiket menuju masa depan yang mereka idamkan.
"Di sini tertulis saat membaca mantra harus menatap mata orang yang ingin kita jerat hatinya," lanjut Dewa, suaranya seperti penceramah yang sedang membaca ayat suci.
"Ehh, ada mantra tolak bala juga!" seru Ryan, wajahnya berubah antusias. "Kayaknya aku perlu hafal ini buat dibacakan ke orang tuanya si Meilin. Biar mereka nggak jadi bala penghalang cinta aku dengan Meilin."
Galuh ngakak sampai terbatuk. "Dasar nekat! Tapi, ya boleh juga idenya."
"Kita salin saja mantra-mantra ini biar gampang dihafal," usul Galuh.
Ketiganya dengan cekatan menyalin mantra dari buku tua itu ke kertas masing-masing. Mereka seperti anak sekolah yang sedang mengerjakan PR, hanya saja kali ini “PR”-nya adalah mencari jalan pintas untuk cinta.
Usia mereka memang sudah mencapai dua puluh lima tahun. Tekanan dari sekitar mulai terasa. Orang tua, tetangga, bahkan murid-murid di sekolah suka melontarkan pertanyaan polos tapi menusuk, “Bu Guru kapan nikah?” atau “Pak Guru kapan punya istri?”
Malam itu, sampai pukul sepuluh, mereka masih berjibaku membereskan perpustakaan. Debu, sarang laba-laba, dan lelah bercampur jadi satu. Begitu pekerjaan selesai, masing-masing pulang dengan kendaraan kesayangan mereka.
Galuh menggeber motor RX King hitam yang suaranya meraung-raung, membuat orang-orang menoleh tiap kali ia lewat. Sementara Ryan dan Dewa, dengan motor bebek tua hasil menabung bertahun-tahun, tampak ngos-ngosan mengejar di belakang.
Di perjalanan pulang, Galuh berpapasan dengan Bagja, tetangganya sekaligus orang yang diam-diam sering membuat darahnya mendidih. Bagja melaju santai dengan motor Vespanya yang klasik.
“Habis dari mana kamu malam-malam begini?” sapa Galuh, menyejajarkan motor di sampingnya.
Bagja menoleh sekilas, wajahnya tampak letih. “Ada pasien kena serangan jantung, harus ditangani segera.”
Galuh melirik dengan tatapan setengah heran, setengah sinis.
“Kamu sendiri kenapa keluyuran malam-malam?” tanya Bagja balik.
“Heh, aku tidak keluyuran! Aku habis membereskan perpustakaan sekolah. Gara-gara ruang kepala sekolah ketimpa pohon kelapa, jadi dipindahin ke ruang perpustakaan,” balas Galuh cepat, nada suaranya penuh pembelaan.
Bagja hanya terkekeh kecil, membuat Galuh makin jengkel. Ia tidak suka dianggap main-main, padahal ia merasa sudah berjasa lembur sampai larut.
Percakapan mereka terputus begitu sampai di depan rumah. Galuh memarkirkan RX King kebanggaannya, sementara Bagja memasukkan Vespanya ke garasi. Kedua rumah itu memang bersisian, bahkan jendela kamar mereka saling berhadapan, hanya dipisahkan oleh tanah sedepa dan pagar kayu tua yang mulai lapuk.
Galuh mendengus, menyalakan lampu kamarnya. Ia meletakkan buku tua itu di meja belajar. Sampulnya kembali berdebu, tetapi entah kenapa buku itu terasa seolah berdenyut, seakan-akan menyimpan sesuatu yang tak boleh disentuh sembarangan.
***
Assalamualaikum, aku buat karya baru lagi. Ceritanya kehidupan sehari-hari di kampung, semoga kalian suka.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan like dan komentar. Terima kasih untuk perhatiannya.
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....