NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:282
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kembali ke Rumah Mereka

Mobil melaju perlahan memasuki kompleks yang terasa terlalu sunyi untuk ukuran siang hari. Tidak ada suara anak-anak bermain, tidak terdengar radio dari rumah tetangga, bahkan angin pun terasa malas bergerak. Seolah kawasan itu ikut menahan napas sejak hari penembakan.

Feni duduk diam di kursi penumpang, memeluk tas kecil di pangkuannya. Jari-jarinya saling bertaut tanpa sadar. Setiap meter yang mereka lalui mendekatkan dirinya pada rumah yang dulu ia sebut tempat pulang—dan kini terasa seperti ruang penuh bayangan.

“Kita cuma sebentar,” kata Erlang pelan sambil tetap fokus menyetir. “Ambil baju kamu. Habis itu kita balik.”

“Iya,” jawab Feni lirih.

Rumah itu akhirnya terlihat.

Tidak ada yang berubah dari luar. Cat pagar masih sama, pot tanaman masih berdiri di tempatnya. Tapi bagi Feni, rumah itu seperti memiliki wajah lain—wajah yang menyimpan kejadian yang belum selesai.

Erlang memarkir mobil tepat di depan pagar. Ia turun lebih dulu, menatap sekeliling dengan waspada, memastikan tidak ada hal mencurigakan sebelum membuka pintu untuk Feni.

“Pegang tangan aku,” katanya.

Feni menurut. Begitu jemari mereka bertaut, dadanya terasa sedikit lebih ringan. Kehangatan itu nyata, menahan gemetar yang mulai naik.

Pintu rumah dibuka.

Udara di dalam terasa lebih dingin dari yang ia ingat. Ruang tamu di lantai satu terlihat rapi, nyaris steril. Sofa kembali ke tempatnya, meja tegak, vas bunga diganti. Tidak ada bekas kekacauan.

Terlalu rapi.

Feni berhenti melangkah sejenak.

“Kalau kamu mau nunggu di luar—” Erlang mulai berkata.

“Nggak,” potong Feni pelan. “Aku mau naik.”

Erlang mengangguk. Ia tidak melepas tangan Feni saat mereka menuju tangga.

Tangga menuju lantai dua berderit kecil di setiap pijakan. Suara itu membuat Feni menahan napas. Kenangan tentang hari itu melintas cepat—bagaimana ia meninggalkan rumah dengan tergesa, bagaimana Rima tertinggal sendirian.

“Kamu masih kuat?” tanya Erlang.

Feni mengangguk kecil.

Lorong lantai dua terasa sunyi. Cahaya matahari masuk dari jendela samping, memantul lembut di dinding putih. Tidak ada perubahan. Tidak ada tanda bahwa sesuatu buruk pernah mendekat.

Erlang berhenti di depan sebuah pintu.

“Kamar kamu,” katanya pelan.

Feni membuka pintu perlahan.

Kamar itu masih sama.

Tempat tidur rapi, sprei terpasang bersih. Meja belajar kosong. Lemari tertutup rapat. Tidak ada jejak kekerasan. Tidak ada darah. Tidak ada suara.

Tapi kenangan itu tetap ada.

Feni melangkah masuk. Dadanya terasa sesak, seperti udara di ruangan itu menekan dari dalam. Ia membuka lemari, mulai mengambil beberapa baju. Tangannya gemetar saat melipat, gerakannya kaku.

Erlang berdiri di dekat pintu. Tidak terlalu jauh, tidak terlalu dekat. Memberi ruang, tapi tetap berjaga.

“Lang…” suara Feni nyaris berbisik.

Erlang langsung mendekat. “Iya?”

“Aku takut,” ucap Feni jujur. “Bukan sama rumah ini. Tapi sama perasaan kalau suatu hari aku harus ninggalin semuanya lagi.”

Erlang menatapnya lama. Ia mengangkat wajah Feni pelan agar menatapnya.

“Kamu nggak ninggalin apa pun sendirian,” katanya tegas tapi lembut. “Kalau kamu pergi, aku ikut. Kalau kamu balik, aku temani.”

Feni menelan ludah. Matanya berkaca-kaca.

“Kamu nggak capek?” tanyanya lirih.

Erlang tersenyum kecil. “Capek. Tapi lebih capek kalau kehilangan kamu.”

Kalimat itu sederhana, tapi cukup membuat Feni kehilangan kendali atas air matanya. Ia menaruh baju ke dalam tas, lalu memeluk Erlang lebih dulu.

Pelukan itu erat, lama, dan sunyi.

Di kamar lantai dua itu—tempat Feni pernah tumbuh, pernah merasa aman—pelukan Erlang terasa seperti jangkar. Stabil. Menenangkan.

“Terima kasih,” bisik Feni.

Erlang mengusap punggung Feni perlahan. “Maaf,” katanya tiba-tiba.

“Untuk apa?”

“Karena kamu harus ngalamin semua ini,” jawabnya lirih. “Padahal kamu cuma pengin hidup tenang.”

Feni mengangkat kepala. “Aku juga milih kamu. Itu berarti aku juga milih risikonya.”

Erlang menatapnya lama. Ada rasa takut di matanya—takut kehilangan, takut terlambat.

Ia menunduk, mengecup kening Feni dengan lembut. Bukan ciuman penuh gairah. Tapi janji yang tidak diucapkan.

Saat mereka keluar kamar, Erlang berhenti sejenak, menoleh ke lorong dan tangga.

“Kita nggak lama-lama,” katanya. “Aku nggak suka tempat ini terlalu sepi.”

Feni mengangguk.

Sebelum turun, Feni menoleh sekali lagi ke kamarnya. Ke tempat tidur. Ke jendela. Ke sudut-sudut yang menyimpan masa lalunya.

“Aku harap suatu hari,” katanya pelan, “rumah ini bisa jadi rumah lagi. Bukan cuma tempat kejadian.”

Erlang menggenggam tangannya lebih erat. “Kalau hari itu datang, kita datang bareng.”

Mereka menuruni tangga, melewati ruang tamu, lalu keluar. Pintu rumah ditutup perlahan, tanpa suara keras.

Mobil kembali melaju menjauh, meninggalkan rumah yang menyimpan terlalu banyak luka.

Namun di dalam mobil itu, ada dua orang yang memilih bertahan.

Di antara ketakutan dan ancaman yang belum selesai,

mereka masih punya satu sama lain.

Dan untuk saat ini,

itu cukup untuk pulang.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!