Istri Rasa Selingkuhan

Ketukan keras menggema di seluruh villa.

Tok. Tok. Tok.

Trista dan Andra spontan menoleh. Ketukan itu bukan ketukan biasa. Ada ritme dingin di dalamnya, tekanan halus namun berbahaya, khas Regan.

Andra langsung menggenggam pergelangan tangan Trista. “Jangan buka.”

Tok. Tok. TOK.

Kali ini lebih keras, seperti peringatan.

Trista menelan ludah. “Dia pasti kembali karena curiga… atau karena anak buahnya melapor sesuatu.”

“Aku bilang jangan buka!” Nada Andra berubah rendah, jauh dari santai yang tadi.

Tapi Trista tahu, ini tidak bisa dihindari. Ia melangkah ke pintu, namun sebelum dia menyentuh gagang, pintunya bergetar, Regan menendangnya sekali, bukan untuk menjebol, hanya memberi tahu bahwa ia bisa kalau mau.

“Andra. Buka pintunya,” ucap Trista perlahan.

Andra menahan napas. “Tidak.”

“Dra.” Trista menatapnya, lembut tapi tegas. “Kalau kita sembunyi, dia bakal makin yakin.”

Mata Andra berkilat marah. “Dia tidak berhak—”

“Buka saja,” potong Trista. “Aku di sini. Aku nggak apa-apa.”

Andra memandangi wajahnya lama, seolah mencari kebohongan. Tapi akhirnya dia menarik napas, mengusap pipinya singkat, dan membuka pintu.

Regan berdiri di sana, wajahnya sangar. “Trista. Ikut aku.” suaranya datar, hampir seperti perintah seorang jenderal.

Trista hanya sempat menarik napas sebelum Andra maju setengah langkah, berdiri di depan pintu, menahan.

“Dia nggak akan pergi kemana-mana,” kata Andra dengan nada rendah. “Dia sedang liburan. Sama suaminya.”

Kata ‘suaminya’ membuat rahang Regan menegang. “Kontrak,” gumamnya dingin. “Itu kontrak. Kau bukan siapa-siapa sekarang.”

Andra tersenyum tipis. “Oh, kami sudah menyelesaikan bagian ‘kontrak’ kami. Dengan sangat baik.”

Trista hampir menyumpal mulut Andra dengan bantal.

Regan melangkah maju, wajah hanya beberapa sentimeter dari Andra. “Minggir.”

“Kalau aku nggak mau?”

Davin dan dua anak buah lain yang mengintai dari jauh langsung bersiap, tapi Regan mengangkat tangan sedikit tanpa menoleh, perintah diam untuk tetap di tempat. Ini urusan Regan pribadi.

Trista melihat bahu keduanya menegang, dan ia tahu jika dibiarkan, pertengkaran ini akan meledak.

“Andra.” Trista menarik tangan suaminya, menahan. “Tenang. Aku bisa urus ini.”

“Tidak, kau tidak bisa,” jawab Andra tanpa menoleh, suaranya masih menusuk. “Dia datang ke bulan madu kita untuk menyeretmu pulang. Aku nggak akan diam saja.”

Regan menatap Andra seperti menatap musuh yang sudah diputuskan untuk dieliminasi. “Aku tidak mau bicara sama dia. Aku bicara sama Trista. Jadi kau bisa—”

“Aku ikut,” potong Trista tiba-tiba.

Andra tersentak. “Apa?”

Trista menarik napas panjang. “Aku ikut. Bukan karena takut. Tapi karena kita perlu bicara. Kita bertiga terlibat hubungan yang... rumit. Kalau aku tetap di sini, dia nggak akan berhenti mencari.”

Andra memandangnya, jelas tidak setuju. “Kau mau ikut dia begitu saja? Tris, dia datang seolah-olah kau miliknya.”

“Memang,” Regan menyambar dingin. “Dia milikku.”

Andra langsung ingin maju, tapi Trista menahan dadanya. “Dra, jangan!”

Regan bersuara lagi, lebih tajam. “Dan aku tidak akan biarkan dia diseret oleh pria yang bahkan hanya dipilih lewat kontrak keluarga.”

“Andra!” Trista memeluk suaminya dari samping, mencegahnya meledak. Andra berhenti karena kontak fisik itu, karena Trista sendiri yang menahan.

“Dengar aku,” katanya lembut hanya untuk Andra. “Aku pergi bukan untuk dia. Tapi untuk mencegah masalah lebih besar. Kalau Regan kehilangan kendali, dia bisa nyakitin orang lain, bukan cuma kita.”

Andra mengepal, rahangnya keras. “Aku bisa lindungi kau.”

“Aku tahu.” Trista tersenyum kecil. “Tapi kadang… melindungi itu harus dengan kepala dingin, bukan otot atau ego.”

Andra tidak menjawab. Tangannya masih memegang pinggang Trista erat, seolah takut perempuan itu lenyap begitu saja.

Regan menunggu, tampak gelisah. Tapi tatapannya tetap keras, fokus pada Trista.

Trista akhirnya berdiri di antara keduanya. “Aku ikut Regan. Dia pacarku. Kau tahu itu, Dra!"

Itu sengaja ia katakan keras-keras, agar dua pria itu mendengarnya jelas.

Regan senang. Andra tidak senang.

Andra menatapnya lama, dalam, seolah mencoba membaca hatinya. Akhirnya, dengan suara serak, ia berkata, “Kau punya lima jam. Kalau lewat…”

Ia menatap Regan seperti mengancam,

“Aku yang datang menjemput.”

Regan menyeringai tipis. “Silakan coba.”

Trista menarik napas dan melangkah ke luar. Regan langsung menggenggam lengannya, bukan kasar, tapi penuh klaim.

Andra mengepal, namun tidak mencegah, karena Trista memandangnya sambil menggeleng pelan.

Regan memandu Trista menuju mobil, dan sebelum pintu ditutup, Trista kembali menatap Andra.

Tatapannya berkata, 'Tunggu aku. Percayai aku.'

Dan Andra hanya berdiri di pintu villa, wajahnya gelap, matanya penuh amarah, cinta, dan rasa takut kehilangan sekaligus.

Pintu mobil tertutup. Regan membawa Trista pergi.