Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 – Dua Tangis
Ruang keluarga rumah sakit Singapura terasa hangat, berbeda dengan aroma antiseptik yang menusuk dari ruang bersalin. Karina duduk di kursi, tangan meremas kain gamisnya sendiri, sementara Rendra berdiri di dekat jendela, menatap keluar, seakan mencari jawaban dari hujan yang turun pelan di luar.
Suara tangisan bayi perempuan terdengar samar dari balik pintu. Aruna, bayi mungil yang baru lahir, dibawa masuk oleh perawat dengan hati-hati. Matanya yang lebar menatap dunia yang baru. Suara tangisnya, meski kecil, sudah membawa getaran kebahagiaan bagi Karina dan Rendra.
“Dia… cantik, bukan?” Karina menahan napas, senyum tipis menghiasi wajahnya. Ia menatap Rendra, mencari konfirmasi.
Rendra, yang biasanya penuh tenaga dan percaya diri, kini tampak cemas sekaligus terpesona. Ia menatap Aruna, tapi pandangannya sesaat melirik ke arah pintu ruang pemulihan, seakan merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Ada sesuatu yang ganjil, sebuah rasa tak lengkap yang membuat hatinya tidak sepenuhnya lega.
“Ya… sangat cantik,” jawabnya akhirnya, suaranya pelan. Namun di dalam, ada desahan hati yang tidak ingin ia ungkapkan. Ia tahu ada rahasia yang tersembunyi di balik senyum Nayara yang pucat itu.
Karina berdiri perlahan, mengusap wajahnya, menahan air mata sendiri. “Kita harus bersyukur, Rendra. Semua berjalan lancar. Nayara… dia hebat.”
Rendra mengangguk, tapi matanya tetap menyelidik. Nayara yang duduk di ranjang pemulihan tampak lelah, wajahnya pucat, tapi matanya tetap menatap Aruna dengan campuran rasa lega dan hampa. Ada garis-garis kelelahan yang dalam, tapi juga ada sesuatu yang disembunyikan di balik senyum samar itu.
Perawat menyerahkan Aruna kepada Karina, yang langsung memeluk bayi itu dengan lembut. Tangannya gemetar saat menyentuh kulit halus Aruna, dan matanya mengembun.
“Aruna… nama yang indah,” bisik Karina. Suara itu penuh kebahagiaan dan kepastian, namun di hati Nayara, setiap kata yang diucapkan seolah menusuk.
Nayara menutup mata sejenak, menahan napas. Ia tahu—bahagia yang dirasakan Karina dan Rendra bukan untuknya. Tangannya masih meremas selimut, tubuhnya masih gemetar, bukan karena kelahiran bayi perempuan, tapi karena kehilangan yang harus ia tanggung sendiri.
Setelah beberapa menit, perawat Icha membawa Nayara ke ruang pemulihan yang lebih tenang. Di sana, ia memeluk tubuh kecil Aru yang dibungkus kain hangat, tubuhnya rapuh, lemah, tapi hidup. Hanya ia yang melihatnya. Hanya ia yang tahu bahwa ada satu nyawa lagi yang membutuhkan perlindungan tanpa suara.
Air mata Nayara mengalir deras. Tangannya gemetar saat menyentuh wajah mungil Aru. Ia tahu, kebahagiaan Karina dan Rendra adalah kehilangan baginya. Dua tangis, dua dunia, dua hati yang berbeda.
Ia mengusap wajah Aru dengan lembut. “Aru… ibu janji… ibu akan jaga kamu. Jangan takut… jangan pergi…”
Waktu seakan berhenti di ruang itu. Hanya ada Nayara, Aru, dan suara jantung bayi yang hampir tak terdengar, namun memberi rasa hidup yang rapuh namun kuat.
Sementara itu, di luar, Karina dan Rendra masih duduk bersama Aruna. Mereka berbicara dengan lembut, menatap mata bayi itu, berbagi senyum, tawa kecil yang menenangkan. Rendra sesekali menoleh ke arah pintu ruang pemulihan, ada perasaan aneh yang mengganjal. Ia tidak bisa menempatkan perasaan itu—ada sesuatu yang tertinggal di sana, namun ia memilih menundukkan diri demi menghormati ruang privasi Nayara.
Karina menatap Rendra dengan mata lembut. “Dia kuat, Rendra. Semua ini karena Nayara. Dia luar biasa.”
Rendra mengangguk, tetapi hatinya tetap berat. Ada perasaan bahwa sesuatu yang penting sedang tersembunyi, namun ia tak ingin menanyakan. Ia hanya bisa berharap, apa pun yang terjadi, semua akan baik-baik saja.
Di ruang pemulihan, Nayara memeluk Aru lebih erat. Tubuhnya lemah, napasnya tersengal, tapi hatinya tetap tegar. Bayi itu adalah bagian dirinya yang harus diselamatkan, apapun risikonya. Hanya dia yang tahu kebenaran itu, dan hanya dia yang bisa menjaga Aru tanpa ada yang tahu.
Ia menatap langit-langit, bisikan doa terus keluar. “Tolong, Aru… tetaplah kuat. Ibu akan selalu ada. Tidak ada yang boleh mengambil kamu dari ibu.”
Air mata terus mengalir, namun bukan tangisan lemah. Ini adalah tangisan seorang ibu yang berani menghadapi dunia sendiri demi melindungi anaknya.
Di luar, Karina memeluk Aruna, senyum bahagia menempel di wajahnya. Rendra menatap bayi itu dengan hati campur aduk—antara lega, bahagia, dan penasaran yang tidak bisa ia jelaskan. Kedua tangis itu, yang satu terdengar oleh semua orang, yang lain hanya terdengar oleh Nayara, menciptakan jarak yang tak terlihat tapi nyata.
Hari itu, di rumah sakit Singapura, dua tangis hadir. Satu membawa kebahagiaan dan masa depan, satu lagi menyimpan rahasia, kehilangan, dan tekad seorang ibu untuk menjaga anaknya sendiri.
Dan di tengah semua itu, Nayara menutup mata, merasakan Aru di pelukannya. Ia tahu, meskipun dunia mungkin tidak pernah tahu kebenaran ini, hatinya akan selalu mengingat—dua anak, dua takdir, dan satu cinta ibu yang tak pernah luntur.
Hening menyelimuti ruang pemulihan. Satu dunia merayakan Aruna. Satu dunia menangis bersama Aru. Dua tangis, dua realita, satu hati yang terbagi.
***