NovelToon NovelToon
The Thousand Faces Of The Demon Sage

The Thousand Faces Of The Demon Sage

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Action / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:498
Nilai: 5
Nama Author: Demon Heart Sage

Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 — Bayangan yang Menyusup

Langit siang itu cerah tanpa noda, tapi udara di halaman latihan Sekte Langit Tenang terasa ganjil—dingin seperti dini hari, meski matahari menggantung tinggi di atas kepala. Shen Wuyan berdiri di antara deretan murid, tubuhnya tegak, napasnya stabil, tapi ada sesuatu di balik matanya yang tidak tenang. Bayangan di bawah kakinya tampak sedikit lebih panjang dari milik siapa pun di sekitarnya.

Ia sadar akan hal itu, tapi tidak menunduk. Ia tahu, sekali ia menatap, pikirannya bisa runtuh oleh hal yang seharusnya tidak bisa bergerak.

Instruktur memberi aba-aba. Semua murid mulai berlatih teknik pernapasan Hun–Po Refinement. Udara spiritual mengalir perlahan dari dantian ke meridian, naik ke kepala, lalu turun kembali seperti gelombang laut. Wuyan mengikutinya, menenangkan napas, mengatur ritme. Tapi semakin ia menenangkan diri, semakin jelas ia merasakan sesuatu lain yang meniru setiap gerakannya — dengan sedikit keterlambatan, seolah ada bayangan yang berusaha mengingat tubuhnya.

Ia menutup mata, mencoba fokus. Dalam kegelapan batin, ia melihat Laut Jiwa—permukaannya tenang, tapi berdenyut samar seperti kulit makhluk hidup. Retakan kecil yang dulu ia lihat kini tampak membesar, memantulkan cahaya redup. Dan dari balik cahaya itu, ada kilasan hitam yang bergerak perlahan.

“Aku masih belum cukup stabil,” gumamnya pelan. “Ini hanya efek samping.”

Tapi di saat yang sama, ia merasakan hembusan dingin di punggungnya, sesuatu yang seharusnya tidak ada di bawah sinar matahari terik. Ia membuka mata. Bayangan di bawahnya tampak menegang, lalu bergeser setengah langkah ke kanan, seolah ingin melepaskan diri dari tubuhnya. Seketika bulu kuduknya berdiri.

“Wuyan!” seru seorang murid di sampingnya, membuatnya tersentak. “Giliranmu sparring!”

Wuyan mengangguk tanpa banyak bicara, melangkah maju ke tengah arena latihan. Lawannya, Fei Yun, seorang murid tingkat menengah dengan reputasi keras kepala, sudah menunggu. Ia menunduk hormat, tapi matanya memperhatikan gerak-gerik Wuyan yang tampak aneh hari ini.

“Kalau kau tak siap, kita bisa tunda,” kata Fei Yun datar.

Wuyan menggeleng. “Tidak perlu. Aku hanya ingin memastikan pikiranku masih milikku sendiri.”

Fei Yun mengangkat alis, tapi tak bertanya. Mereka berdiri berhadapan, lalu menunduk sedikit. Begitu instruktur memberi isyarat, dua arus energi spiritual saling bertemu di udara.

Benturan pertama tajam—udara bergetar, pasir di tanah terangkat. Gerakan Wuyan cepat, nyaris mekanis, tapi di setiap langkahnya ada ketidakseimbangan. Tubuhnya bergerak satu ketukan lebih cepat dari kesadarannya, seperti seseorang yang mengikuti musik yang hanya ia sendiri dengar.

Fei Yun menangkis, berputar, lalu membalas dengan serangan telapak terbuka ke arah dada. Wuyan menangkisnya tepat waktu, tapi matanya kosong sesaat. Ia bisa merasakan sesuatu menarik lengannya—bukan tubuhnya sendiri, tapi bayangan di bawah kakinya yang bergerak lebih dulu, seolah mengatur arah serangan.

“Fokus!” teriak instruktur.

Wuyan menggertakkan gigi, mengembalikan kesadarannya. Tapi detik berikutnya, suara asing menggema di kepalanya—berlapis, dalam, dan menyerupai dirinya sendiri.

“Kau menahan dirimu lagi.”

Wuyan tersentak. Gerakannya goyah. Dalam sepersekian detik, Fei Yun melancarkan serangan baru. Tapi kali ini, sesuatu mengambil alih. Tubuh Wuyan berbalik dengan kecepatan tak wajar, tangannya mencengkeram pergelangan lawannya, dan dengan dorongan keras, ia hampir menekuk lengan Fei Yun ke arah berlawanan.

“Wuyan!” seru Fei Yun, panik. “Kau—!”

Suara di kepala Wuyan semakin keras.

“Lihat betapa mudahnya. Tak perlu berpikir. Hanya bertindak.”

Nafas Wuyan memburu. Ia mencoba menahan gerakannya, tapi tubuhnya tak lagi merespons. Ia melihat dua hal sekaligus — satu dari matanya sendiri, satu dari titik pandang yang lebih rendah, dari bawah tubuhnya. Dua sudut pandang tumpang tindih. Dua kesadaran beradu di tubuh yang sama.

Setiap langkah yang ia ambil, bayangan di bawahnya mengikuti bukan sebagai refleksi, tapi sebagai pengendali yang sedang bereksperimen.

Gerakannya kini berubah. Tidak lagi halus dan teratur seperti latihan, melainkan liar dan mematikan. Ia menyerang dengan kekuatan penuh, tanpa rasa ragu. Fei Yun terdesak, menahan serangan bertubi-tubi yang datang seperti badai. Aura spiritual Wuyan bergetar hebat, menciptakan tekanan yang menyesakkan dada siapa pun di dekatnya.

Instruktur bergerak cepat. Ia menyalurkan energi dan menghantam tanah, menciptakan gelombang spiritual yang memisahkan keduanya dengan paksa. Tanah bergetar. Wuyan terdorong mundur, kehilangan keseimbangan, dan terjatuh. Tubuhnya bergetar tak terkendali.

Fei Yun berlutut di sisi lain, menatap dengan wajah pucat. Ada goresan tipis di lehernya, darah menetes. Satu inci lagi dan ia mungkin sudah mati.

Semua murid terdiam. Hanya suara napas Wuyan yang terdengar berat dan tidak teratur. Ia menatap tangannya yang berlumuran darah, tidak tahu mana yang miliknya dan mana yang bukan. Dalam kepalanya, suara itu kembali muncul—lebih lembut, tapi lebih dalam dari sebelumnya.

“Rasakan. Ini bukan dosa, hanya kebenaran yang tidak ingin kau lihat.”

Wuyan menunduk. Bayangannya di tanah tidak diam. Ia melihatnya menggerakkan kepala perlahan, menatap ke arah yang berbeda dari dirinya.

Ia memejamkan mata. “Cukup…”

Tidak ada jawaban. Hanya desisan pelan dari arah tanah.

“Kau ingin menolak? Maka aku akan menuntunmu lewat perlawananmu sendiri.”

Guru pengawas mendekat, menatap tajam. “Kau kehilangan kendali. Istirahat dan bersihkan pikiranmu.”

Wuyan ingin menjawab, tapi suaranya tercekat. Ia hanya mengangguk. Saat ia berbalik, langkahnya goyah. Bayangan di bawahnya bergerak setengah detik lebih lambat, lalu tersenyum samar. Tidak banyak yang melihat, tapi Wuyan tahu ia tidak berhalusinasi. Ia tahu senyum itu nyata.

***

Malam tiba. Sekte Langit Tenang diliputi kabut lembut dari lembah bawah, namun kamar tempat Wuyan dikurung terasa seperti penjara. Hanya ada satu lilin di sudut ruangan, nyalanya goyah tertiup angin lembut. Ia duduk bersila, mencoba menenangkan diri.

Tapi setiap kali matanya terpejam, ia kembali melihat Laut Jiwa. Kali ini tidak lagi berwarna perak tenang, melainkan hitam dengan garis-garis bercahaya yang berdenyut. Retakan di tengahnya membesar, dan dari balik celah itu keluar bayangan yang berdiri tegak. Sosok itu memiliki bentuk tubuhnya, tapi wajahnya lebih kabur, lebih gelap, dan matanya… menatap balik dengan ketenangan yang menyeramkan.

“Apa kau puas?” tanya Wuyan lirih dalam pikirannya.

Sosok itu menjawab tanpa suara. Tapi kata-kata itu bergema di seluruh Laut Jiwa.

“Aku bukan musuhmu, tapi aku bukan dirimu juga.”

Wuyan menarik napas panjang, membuka mata. Di dunia nyata, lilin di hadapannya bergoyang. Di bawahnya, bayangan di lantai menatapnya kembali. Kali ini, tidak bergerak meniru — tapi menunggu.

Udara di kamar itu semakin berat. Lilin yang tadinya berkedip lembut kini nyaris padam, nyalanya menyusut seperti dicekik sesuatu yang tak terlihat. Wuyan tak bergerak, matanya tetap menatap bayangan di bawahnya. Ia bisa merasakan bahwa benda itu bukan lagi sekadar pantulan cahaya — ia hidup, bernapas bersamanya, tapi dengan irama yang berbeda.

Suara itu muncul lagi, lebih jernih, seolah berbicara dari dalam darahnya.

“Kau berpura-pura kuat, tapi di dalam dirimu, kau gemetar.”

“Aku tidak takut padamu.”

“Bukan padaku. Tapi pada apa yang kau lihat di dalam dirimu sendiri.”

Wuyan terdiam. Ia tidak bisa menyangkalnya. Sejak retakan pertama muncul di Laut Jiwanya, ia tahu ada sesuatu yang ikut terlahir bersamanya — bukan makhluk luar, tapi sesuatu yang terbentuk dari sisa-sisa dirinya yang pernah ia tolak.

Ia menutup mata.

Laut Jiwa kembali terbuka. Ia berdiri di atas permukaan air hitam, dan di depannya sosok itu menatap dengan tenang. Wajahnya mulai jelas; bibir yang sama, garis rahang yang sama, tapi matanya seperti tak memiliki batas.

“Jika kau bagian dari jiwaku,” kata Wuyan perlahan, “kenapa kau mencoba merebut kendali?”

Bayangan itu tersenyum samar. “Aku tidak merebut apa pun. Aku hanya mengambil ruang yang kau tinggalkan kosong. Setiap kali kau menahan amarahmu, setiap kali kau memaafkan padahal hatimu menolak — di sanalah aku tumbuh.”

“Jadi aku yang menciptakanmu.”

“Tidak. Kau melahirkanku, tapi bukan kau yang memahami apa artinya hidup denganku.”

Wuyan menunduk, merasakan riak air hitam menyentuh ujung kakinya. Riak itu terasa seperti jari-jari dingin yang menariknya perlahan. Ia tahu apa yang sedang terjadi — jika ia kehilangan kendali sekarang, kesadarannya bisa terpecah sepenuhnya. Tapi entah kenapa, bagian dari dirinya justru ingin tahu lebih dalam.

“Kau ingin apa?” tanyanya akhirnya.

Bayangan itu melangkah maju. Setiap langkahnya meninggalkan bekas hitam di permukaan air. “Aku ingin satu hal yang tak bisa kau miliki — kebebasan untuk menjadi apa pun tanpa penyesalan.”

“Aku tidak bisa membiarkanmu. Jika kau bebas, aku yang akan lenyap.”

“Itu masalahmu, bukan milikku.”

Seketika, Laut Jiwa bergetar hebat. Air hitam itu naik seperti dinding besar, menggulung ke arah Wuyan. Ia mengangkat tangan, membentuk segel roh untuk menahan serangan. Cahaya perak meledak dari dadanya, menciptakan perisai spiritual. Tapi bayangan itu menembusnya tanpa hambatan, seperti uap yang menembus udara.

Tiba-tiba, suara jeritan menggema dari kedalaman pikirannya — bukan jeritan orang lain, tapi miliknya sendiri.

Gambaran demi gambaran muncul: dirinya berlutut di depan jasad murid yang dulu ia selamatkan tapi mati di tangannya; tatapan kecewa gurunya; darah di tangannya sendiri saat pertama kali ia gagal menahan kekuatan Hun–Po yang terpecah. Semua itu berputar seperti pusaran racun, menembus pikirannya tanpa ampun.

“Itu semua aku,” bisik bayangan itu di telinganya. “Aku yang menyimpan rasa bersalahmu, kebencianmu, dan semua hal yang kau kubur dalam nama ketenangan.”

Wuyan berteriak, tapi tidak ada suara keluar. Tubuhnya bergetar hebat, dan Laut Jiwa mulai retak lebih lebar. Retakan itu menyala merah, mengeluarkan cahaya panas yang membuat udara sekitarnya bergetar.

Di tengah kekacauan itu, Wuyan memaksakan diri untuk berdiri. Ia tahu jika ia menyerah sekarang, bukan hanya dirinya yang hilang — tapi seluruh jalur kultivasinya akan hancur. Ia menarik napas dalam-dalam, memusatkan kesadaran.

“Kalau begitu,” katanya dengan suara berat, “kalau aku harus menanggung sisi diriku yang paling gelap... maka aku akan menanggungnya dengan sadar.”

Bayangan itu tertawa pelan, langkahnya berhenti tepat di hadapan Wuyan. “Kau bicara seperti bijak, tapi wajahmu menunjukkan ketakutan yang tak berubah.”

“Mungkin. Tapi aku tidak lagi akan lari.”

Dalam sekejap, Wuyan menekan kedua telapak tangannya ke dada, mengaktifkan segel inti Hun–Po Refinement. Cahaya keperakan meledak dari pusat tubuhnya, mengalir ke seluruh Laut Jiwa seperti kilat yang membelah malam. Air hitam mendidih. Sosok bayangan itu berteriak, tapi bukan karena kesakitan — melainkan seperti sedang melebur.

Cahaya dan kegelapan saling menelan, berputar cepat, membentuk pusaran di tengah Laut Jiwa.

Wuyan menatapnya tanpa gentar. “Kau bukan sesuatu yang harus kutakuti. Kau adalah aku.”

Bayangan itu tersenyum untuk terakhir kalinya sebelum tubuhnya menghilang ke dalam pusaran. Tapi tepat sebelum lenyap, ia berbisik:

“Kau akan menyesal berkata begitu.”

Segalanya meledak.

Dalam dunia nyata, Wuyan tersentak keras. Lilin di kamar padam total. Tubuhnya basah oleh keringat, dan dari hidungnya menetes darah segar. Tapi matanya terbuka lebar — tidak kosong, tidak juga tenang, melainkan seolah memandang dua dunia sekaligus.

Ia melihat dinding kamar dan, di saat yang sama, sesuatu lain di baliknya. Bayangan di lantai sudah tidak lagi meniru gerakannya, tapi kini bergerak bersamanya dalam satu ritme yang aneh: bukan meniru, bukan menentang, tapi mengikuti seperti rekan.

Ia menyadari sesuatu. Seluruh tubuhnya bergetar, tapi bukan karena takut. Untuk pertama kalinya, ia merasakan keseimbangan di dalam dirinya — bukan antara terang dan gelap, tapi antara kesadaran dan insting.

Namun ketenangan itu hanya bertahan sekejap. Di dalam kepalanya, suara samar yang baru muncul membuat darahnya kembali dingin.

“Kau menatapku seolah aku telah lenyap. Tapi Wuyan... aku tidak pernah pergi. Aku hanya menunggu saat di mana kau benar-benar memanggilku.”

Wuyan menatap ke lantai. Bayangannya tersenyum. Kali ini, ia tidak menolak. Ia hanya menarik napas panjang dan menutup mata.

“Kalau begitu,” katanya pelan, “mari kita berjalan bersama. Tapi ingat satu hal — aku yang memegang kendali.”

Bayangan itu tidak menjawab. Tapi di bawah cahaya rembulan yang menembus jendela, bayangan mereka berdua menyatu perlahan — dua bentuk menjadi satu, tak lagi dapat dibedakan.

Di luar kamar, angin membawa kabar dingin dari lembah bawah. Di balik ketenangan malam itu, ada sesuatu yang baru lahir: wajah lain dari Shen Wuyan, yang kini tidak hanya memikul jiwanya sendiri, tapi juga kegelapan yang mulai mengerti makna keberadaannya.

Dan di langit yang jauh di atas sekte, seekor burung hitam melintas — bulunya memantulkan kilau merah samar, pertanda bahwa sesuatu di dunia spiritual telah bergerak.

Namun di dalam hati Wuyan, suara samar terus berbisik dari balik kesadarannya:

“Senyumlah, Wuyan. Karena setiap kali kau melawan, aku akan semakin kuat.”

1
knovitriana
update Thor, jangan lupa mampir
knovitriana
keren Thor, jangan lupa mampir 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!