Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.
Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.
Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.
Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.
Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.
Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Pagi itu hujan tidak turun. Langit abu-abu pucat, seperti kertas yang sudah lama dibiarkan di bawah matahari. Udara terasa bersih, tapi dingin yang menempel di kulit masih sama dingin yang mengingatkan Yun Qi pada hari-hari awalnya di apartemen ini. Hari-hari ketika ia belum tahu apakah tempat ini sungguh rumah, atau hanya persinggahan sementara sebelum ia dipindahkan lagi.
Yun Qi duduk di meja makan dengan punggung tegak, kedua kaki kecilnya menggantung tak menyentuh lantai. Tangannya memegang sendok, tapi ia belum menyentuh bubur di mangkuknya. Matanya terus melirik ke arah lorong, seolah menunggu bayangan tinggi muncul dari sana.
Biasanya, Hao Yu sudah pergi. Biasanya, pagi selalu sunyi. Namun hari ini ada suara langkah. Langkah yang berat, teratur, dan terlalu familiar untuk diabaikan. Yun Qi menoleh. Hao Yu keluar dari kamar dengan setelan hitam rapi. Jasnya disampirkan di lengan, kemeja putihnya licin tanpa satu pun kerut. Rambutnya disisir rapi ke belakang, wajahnya datar seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang berbeda ia tidak langsung berjalan menuju pintu. Ia berhenti.
Tatapannya jatuh ke arah meja makan. Ke arah Yun Qi. Yun Qi refleks meluruskan punggungnya. Tangannya mencengkeram sendok lebih erat, seperti murid yang ketahuan tidak mengerjakan PR. “Selamat pagi,” katanya pelan. Suaranya masih serak khas anak kecil, tapi nadanya sopan. Terlalu sopan untuk anak seusianya. Hao Yu mengangguk singkat. “Pagi.”
Ia mendekat, menarik kursi di seberang Yun Qi, lalu duduk. Tidak ada senyum, tidak ada basa-basi. Tapi kehadirannya mengubah seluruh suasana ruangan. Seperti udara yang tiba-tiba menjadi lebih padat. Yun Qi menunduk, lalu menyuap buburnya. Rasanya hangat, sedikit asin. Biasanya ia makan tanpa banyak berpikir, tapi sekarang setiap gerakan terasa disadari. “Apa kamu tidur nyenyak?” tanya Hao Yu.
Yun Qi terkejut. Sendoknya berhenti di udara. “Iya,” jawabnya cepat. “Aku… tidur nyenyak.” Ia tidak mengatakan tentang malam-malam ketika ia terbangun karena mimpi buruk, lalu merasa tenang kembali tanpa tahu kenapa. Tidak mengatakan tentang lampu kecil yang selalu menyala. Tentang rasa aman yang datang dari arah yang tidak terlihat. Hao Yu mengangguk lagi. “Batukmu sudah berkurang?”
“Sudah,” jawab Yun Qi. “Aku nggak batuk lagi.” Ia menatap Hao Yu sekilas. Wajah pria itu tetap tenang, tapi Yun Qi melihat rahangnya mengendur sedikit seperti seseorang yang melepaskan napas tanpa sadar. Hao Yu berdiri. “Habiskan sarapanmu,” katanya. “Aku akan pergi.”
Kata-kata itu sederhana. Tapi entah kenapa, dada Yun Qi terasa mengempis sedikit. “Iya,” jawabnya. Hao Yu mengambil jasnya, berjalan menuju pintu. Tangannya sudah menyentuh gagang ketika
“E—”
Suara Yun Qi pecah, ragu. Hao Yu berhenti. Menoleh setengah badan. “Ada apa?” Yun Qi membuka mulutnya. Menutupnya lagi. Ia tidak tahu kenapa ia memanggil. Tidak tahu apa yang ingin ia katakan. Hanya… ada dorongan kecil di dadanya, seperti sesuatu yang ingin keluar sebelum terlambat. “Terima kasih,” katanya akhirnya. “Karena… kemarin.”
Hao Yu menatapnya beberapa detik lebih lama dari biasanya. “Kemarin apa?” tanyanya. Yun Qi mengusap pinggir mangkuk dengan ujung jarinya. “Karena… memastikan aku baik-baik aja.” Itu bukan pengakuan. Bukan tuduhan. Hanya pernyataan polos dari seorang anak yang merasakan sesuatu, tapi belum punya kata untuk menjelaskannya.
Hao Yu menatapnya. Lalu untuk pertama kalinya ia berkata sesuatu yang tidak ada di rencana. “Kamu aman di sini.” Nada suaranya rendah, tegas. Bukan janji yang diucapkan untuk menenangkan. Lebih seperti pernyataan fakta. Yun Qi mengangguk. “Iya.”
Hao Yu berbalik lagi. Pintu terbuka. Dan sebelum ia benar-benar melangkah keluar
“Ge.”
Kata itu keluar begitu saja. Tanpa dipikirkan. Tanpa direncanakan. Tanpa disaring. Hao Yu berhenti. Seluruh tubuhnya berhenti. Udara di apartemen seolah membeku.
Yun Qi sendiri terkejut. Tangannya mencengkeram tepi meja. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut lebih karena ia sadar ia baru saja mengatakan sesuatu yang mungkin tidak seharusnya. Ia menelan ludah.
“Maaf,” katanya cepat. “Aku aku kebiasaan manggil orang yang lebih tua begitu…” Itu bohong setengah. Ia tahu itu. Hao Yu perlahan menoleh.
Tatapannya jatuh ke wajah Yun Qi wajah kecil dengan mata yang jujur, bibir yang sedikit gemetar karena gugup. Tidak ada perhitungan. Tidak ada maksud tersembunyi. Hanya kebutuhan sederhana. Membutuhkan seseorang. “Kamu…,” Yun Qi melanjutkan, suaranya mengecil, “nggak keberatan kan?” Beberapa detik berlalu.
Bu Lin yang berdiri di dapur ikut menahan napas. Hao Yu menatap Yun Qi lama. Terlalu lama. Ada sesuatu yang bergerak di balik matanya sesuatu yang tidak seharusnya muncul dari satu kata sederhana. Sesuatu yang berat, menekan, dan dalam. Akhirnya, ia berkata, “Kalau itu membuatmu nyaman.”
Nada suaranya tetap datar. Tapi rahangnya menegang. “Kamu boleh memanggilku begitu.” Yun Qi tersenyum kecil. Bukan senyum lebar. Bukan senyum bahagia berlebihan. Hanya lengkungan tipis di bibirnya seperti seseorang yang akhirnya menemukan pijakan di tanah yang licin. “Iya, Ge.”
Kata itu terasa pas di lidahnya. Seperti sudah lama menunggu. Hao Yu mengangguk singkat, lalu keluar. Pintu tertutup.
Dan Yun Qi duduk diam di kursinya, merasakan sesuatu yang hangat mengembang perlahan di dadanya. Di dalam mobil, Hao Yu menatap jalan di depan tanpa benar-benar melihatnya. Satu kata. Hanya satu kata. Tapi kepalanya penuh 'Ge'. Itu seharusnya biasa. Panggilan umum. Aman. Tidak berbahaya.
Namun dadanya terasa berat bukan karena tanggung jawab, tapi karena sesuatu yang lebih personal dari yang ia duga. “Pak Wang?” supir memanggil pelan. “Jalan,” jawab Hao Yu singkat. Mobil melaju. Tangannya mengepal pelan di pangkuan. Ia tidak seharusnya membiarkan itu berarti apa-apa. Tidak sekarang. Tidak nanti.
Sore hari, Yun Qi duduk di lantai kamarnya, menyusun balok kayu. Satu balok jatuh, ia menghela napas kecil, lalu menyusunnya kembali dengan sabar. Bu Lin mengintip dari pintu. “Kamu kelihatan senang hari ini,” katanya. Yun Qi mengangguk. “Iya.”
“Kenapa?” Yun Qi berhenti sebentar, lalu menjawab jujur, “Aku punya kakak sekarang.” Bu Lin terdiam. Ia menatap anak itu anak yang beberapa bulan lalu datang dengan mata kosong dan tubuh kurus, sekarang duduk dengan punggung tegak dan suara lebih hidup.
“Ge baik sama aku,” lanjut Yun Qi. “Dia nggak banyak bicara, tapi… aku tahu dia ada.” Bu Lin menelan ludah. “Iya,” katanya pelan. “Dia ada.”
Malam itu, Hao Yu pulang lebih awal. Ia berdiri di depan pintu kamar Yun Qi lagi. Lampu masih menyala. Ada suara kecil dari dalam. “Bu Lin,” suara Yun Qi terdengar, “besok Ge pulang jam berapa?” Bu Lin tertawa kecil. “Kamu nanya langsung saja besok.”
“Oh.” Ada jeda..“Kalau Ge sibuk, nggak apa-apa kok.” Kalimat itu terdengar dewasa. Terlalu dewasa. Hao Yu membuka pintu. Yun Qi menoleh, matanya membesar. “Ge!” Hao Yu mengangguk. “Belum tidur.”
“Belum,” jawab Yun Qi. “Aku lagi beresin mainan.” Ia berdiri, mengangkat kotak kayu dengan dua tangan kecilnya. Hao Yu melangkah masuk, mengambil kotak itu dari tangannya. “Biar aku,” katanya. Yun Qi menatapnya, lalu tersenyum kecil lagi.
Saat lampu dimatikan dan Yun Qi sudah berbaring, Hao Yu berdiri di samping tempat tidur. “Kamu sudah aman,” katanya pelan. Yun Qi mengangguk, matanya setengah terpejam. “Iya… Ge.” Kata itu kembali terdengar.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Hao Yu tidak langsung pergi. Ia berdiri lebih lama. Mengawasi napas kecil yang teratur. Dan di dalam dadanya, sebuah batasan mulai bergeser perlahan, hampir tak terasa.