Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 JEFRI MENDEKATI PANGALENGAN
#
Jefri Kurniawan bukan tipe detektif yang gampang nyerah. Dua puluh lima tahun jadi polisi ngajarin dia satu hal: kesabaran dan konsistensi itu senjata paling ampuh. Kasus yang keliatan mustahil pun bisa dipecahin kalau lo tau cara lacak jejak dengan teliti.
Hari ketiga di Bandung, ia duduk di warung kopi kecil deket terminal Leuwipanjang sambil nyatat semua informasi yang udah ia kumpulin. Foto Elang Alghifari terbuka di tablet—wajah yang udah ia hafal di luar kepala sekarang. Cowok tiga puluh lima tahun, tinggi seratus tujuh puluh lima sentimeter, postur atletis tapi pasti udah lebih kurus setelah keluar penjara, ciri khas bekas luka kecil di alis kiri.
"Ada yang lihat pria ini?" tanyanya ke sopir angkot yang lagi nongkrong di pinggir terminal—udah yang kesekian kali ia nanya pertanyaan yang sama. "Kurus, mungkin berjanggut, dari Jakarta sekitar delapan bulan lalu?"
Sopir angkot itu—cowok tua dengan kulit gosong dan gigi kuning—menatap foto dengan alis berkerut. Lama. Lebih lama dari orang-orang sebelumnya yang langsung geleng kepala.
"Ieu mah..." Sopir itu nunjuk foto dengan jari yang kasar, "ieu kayak pernah naik angkot aku. Tapi rambutna panjang, berjenggot tebal. Ngomongna dikit, bayar cash."
Jantung Jefri langsung berdetak lebih cepat—adrenalin investigator yang nemuin petunjuk setelah berhari-hari cuma dapet jalan buntu. "Turun dimana?"
"Ke arah selatan. Pangalengan kayaknya. Dia nanya jalan ke terminal Pangalengan soalnya."
"Pangalengan," Jefri mengulang sambil ngetik di tablet. Kota kecil di selatan Bandung, daerah pegunungan dengan kebun teh dan udara dingin. Tempat yang sempurna buat orang yang mau ngilang dari radar. "Oke, makasih banyak ya, Pak."
Ia kasih sopir itu lima puluh ribu—lebih dari cukup buat informasi yang mungkin jadi breakthrough. Sopir itu senyum lebar, masukin duit ke kantong dengan cepat.
Jefri langsung ke terminal cari bus ke Pangalengan. Ada bus setiap dua jam. Ia naik yang paling cepet—gak mau buang waktu. Selama perjalanan, ia terus mikir strategi. Pangalengan itu kecil—populasi mungkin cuma puluhan ribu. Orang baru dari Jakarta pasti mencolok. Tinggal cari dengan cara yang tepat tanpa bikin curiga.
Sampai Pangalengan jam dua siang. Udaranya dingin banget—lebih dingin dari Bandung, bikin napas keluar kayak asap tipis. Jefri pakai jaket tebal yang ia bawa, mulai jalan keliling dengan mata yang selalu mengamati. Ia gak langsung nanya-nanya—terlalu obvious. Ia cuma jalan, lihat-lihat, dapetin feel tempat ini dulu.
Desa kecil dengan jalan utama yang gak terlalu rame. Warung-warung sederhana, kebun teh di mana-mana, orang-orang yang kebanyakan pake jaket tebal dan kerudung buat ngelawan dingin. Suasana tenang—terlalu tenang buat orang Jakarta kayak Jefri yang biasa dengan hiruk pikuk kota besar.
Ia mampir ke warung kecil, pesan kopi dan gorengan. Sambil makan, ia ngobrol santai sama ibu pemilik warung—strategi klasik tapi efektif: orang lebih gampang ngomong kalau lo keliatan friendly dan gak mengancam.
"Bu, saya cari temen saya nih," katanya sambil nunjukin foto Elang—tapi foto lama yang udah dia edit dikit biar keliatan lebih blur, lebih gak jelas, biar gak terlalu obvious. "Dia pindah ke sini beberapa bulan lalu dari Jakarta. Tinggi, agak kurus. Tau nggak Bu?"
Ibu warung itu melirik foto sebentar, lalu geleng. "Waduh, bapak mah kurang terang euy. Di dieu mah jarang aya urang Jakarta. Paling datengna cuma turis akhir minggu."
"Oh gitu ya," Jefri angguk, gak maksa. "Makasih Bu."
Ia coba di warung lain—dapat jawaban yang sama. Geleng kepala. Gak tau. Gak kenal. Tapi Jefri gak patah semangat. Ia terus jalan, terus nanya dengan hati-hati, terus observasi.
Di warung kelima—warung yang lebih besar dikit dengan meja-meja plastik di depan—ada bapak-bapak tua yang lagi ngopi sambil ngobrol. Jefri duduk di meja sebelah, dengerin obrolan mereka sambil pura-pura fokus ke hapenya.
"...tah eta anak ngekos di tempat Mbok Ijah mah alus teuing. Rajin sholat, tulung-tulung, teu rewel..."
"Oh anu, si Mas Galang teh nya? Muhun, bageur memang mah. Mamang oge katingali teh..."
Galang. Mas. Ngekos di tempat Mbok Ijah. Rajin sholat.
Jefri dapet sesuatu.
Ia tungguin sampe bapak-bapak itu selesai ngobrol dan mau pergi, lalu dekatin salah satu dengan senyum ramah. "Pak, maaf ganggu. Tadi saya dengar Bapak nyebut Mbok Ijah. Kebetulan saya lagi cari tempat kos. Bisa tau dimana warung Mbok Ijah?"
Bapak itu—baik hati kayak kebanyakan orang desa—langsung kasih petunjuk detail. "Oh gampang, Pak. Jalan lurus dari sini, belok kiri di perempatan deket masjid, terus jalan dikit ada warung kecil di sebelah kanan. Itu warung Mbok Ijah. Anaknya namanya Anya, alus pisan orangna."
"Makasih banyak Pak," Jefri ngucapin terima kasih dengan tulus, tapi di dalemnya adrenalin udah mulai naik.
Ia jalan mengikuti petunjuk—perlahan, gak terburu-buru, mata terus mengamati sekitar. Belok kiri di perempatan deket masjid kecil dengan kubah hijau pudar. Jalan dikit, lihat ke kanan—ada warung sederhana dengan papan nama yang udah agak lusuh tapi masih terbaca: Warung Mbok Ijah.
Jefri berhenti di seberang jalan, berdiri di balik pohon besar biar gak terlalu keliatan. Dari situ ia bisa lihat warung dengan jelas. Beberapa meja di depan, dapur terbuka di belakang, tangga kecil di samping yang kayaknya ke lantai dua—mungkin kamar kos.
Dan di depan warung, ada galon air yang besar—lima galon, keliatan berat. Seorang gadis muda berkerudung cokelat lagi berusaha angkat galon itu tapi keliatan kesusahan.
Lalu dari dalam warung keluar seorang cowok.
Jefri refleks mengambil kamera kecil dari kantong jaket, zoom in.
Cowok itu tinggi—sekitar seratus tujuh puluh lima sentimeter. Kurus—jauh lebih kurus dari foto yang Jefri pegang. Rambut agak panjang sampai leher, berjenggot tipis tapi rapi, pakai kaos lengan panjang sederhana dan celana jeans lusuh. Wajahnya... wajahnya familiar. Tulang pipi yang menonjol, bentuk rahang, cara dia bergerak dengan sedikit hati-hati kayak orang yang pernah hidup dalam bahaya.
Cowok itu ambil alih galon dari gadis berkerudung, angkat dengan gampang meskipun tubuhnya kurus, masuk ke dalam warung sambil ngomong sesuatu yang bikin gadis itu ketawa.
Jefri ambil beberapa foto dengan cepat—click, click, click—lalu zoom lebih deket ke wajah. Dan di situ ia lihat—samar tapi ada—bekas luka kecil di alis kiri.
"Elang," gumamnya pelan, nyaris bisikan tapi ada kepastian di sana. "Ketemu lo."
Ia turunkan kamera, simpan di kantong dengan hati-hati. Jantungnya berdetak kenceng—bukan karena takut, tapi karena kepuasan nemuin target setelah berminggu-minggu investigasi. Tapi ia gak langsung masuk. Terlalu cepat. Ia harus mastiin dulu. Harus lebih yakin sebelum lapor ke Brian.
Ia jalan menjauh dari warung, cari tempat duduk di warung lain yang agak jauhan tapi masih bisa lihat warung Mbok Ijah. Buka laptop, transfer foto-foto yang ia ambil tadi, zoom in, bandingkan dengan foto Elang yang lama.
Tinggi: cocok. Postur: cocok meskipun lebih kurus. Wajah: mirip tapi ada perbedaan karena rambut panjang, jenggot, dan mungkin sedikit perubahan dari tiga tahun di penjara. Bekas luka alis kiri: ada.
Kemungkinan orang ini adalah Elang Alghifari: sembilan puluh persen.
Tapi ada satu masalah: kalau ini beneran Elang, kenapa dia pakai identitas "Galang"? Kenapa dia hidup santai di desa kecil kayak orang biasa? Dan yang paling penting: apa hubungannya dengan semua masalah yang lagi dialami Brian?
Jefri harus konfirmasi lebih lanjut. Besok ia akan dateng ke warung itu, ngobrol, mungkin lihat lebih deket. Tapi hari ini cukup—ia udah dapet apa yang ia cari.
Ia ambil hape, ketik pesan ke Brian: "Pak, saya udah di Pangalengan. Ada pria bernama Galang yang tinggal di sini, sesuai ciri-ciri yang Bapak kasih. Tapi dia beda dari foto—rambut panjang, berjenggot. Besok saya akan konfirmasi lebih lanjut. Foto menyusul."
Kirim.
Jefri menatap warung Mbok Ijah dari kejauhan. Cowok yang ia yakini adalah Elang keluar lagi—kali ini bawa nampan dengan gelas-gelas teh, taro di meja pelanggan dengan senyum yang ramah dan gak ada kecurigaan sama sekali.
"Kamu pintar, Elang," gumam Jefri sambil senyum tipis—senyum pemburu yang udah dapat jejak buruannya. "Tapi gak cukup pintar buat ngecoh gue."
---
**[Bersambung