NovelToon NovelToon
Sugar Daddy?

Sugar Daddy?

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / CEO / Mafia / Tamat
Popularitas:122
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Retakan di Balik Kendali"

Pagi datang ke Jakarta tanpa menunggu kesiapan siapa pun.

Cahaya matahari menembus tirai tipis penthouse Zavian Adhikara, memantul di lantai marmer yang dingin. Kota di bawah sana mulai bergerak—rapat, klakson, transaksi, ambisi. Dunia yang sama seperti semalam, hanya lebih terang. Tidak lebih jujur.

Zavian sudah bangun sejak subuh.

Ia berdiri di dapur minimalis, menyeduh kopi sendiri. Tidak ada asisten. Tidak ada suara selain mesin kopi dan detak jam dinding. Kebiasaan ini tidak pernah berubah. Dalam hidup yang penuh kendali, rutinitas adalah jangkar.

Ponselnya bergetar.

**Bima:**

*Pagi, Bos. Semua aman.*

Zavian membaca singkat, lalu membalas satu kata.

**Zavian:**

*Lanjut.*

Ia menyesap kopi, menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Jas belum ia kenakan, hanya kemeja putih dengan lengan tergulung. Otot-otot lengannya terlihat tegang, bukan karena olahraga semata—melainkan karena kebiasaan menahan.

Menahan reaksi.

Menahan amarah.

Menahan sesuatu yang tidak pernah ia beri nama.

---

Siang itu, Zavian tidak ke kantor pusat.

Mobilnya berbelok ke arah selatan, menembus jalan yang semakin sempit hingga gedung-gedung tinggi berganti dengan rumah tua dan bengkel kecil. Di sebuah kawasan yang tidak pernah muncul di brosur kota, berdiri bangunan dua lantai dengan pagar besi tinggi. Tidak ada papan nama.

Namun semua orang yang perlu tahu, tahu tempat itu.

Mobil berhenti. Dua pria berjaga membuka pintu pagar. Mereka menunduk singkat—tidak berlebihan, tidak takut. Hormat yang lahir dari pemahaman.

Di dalam, suasana berbeda dari kantor Adhikara Group. Tidak ada kaca mengilap. Tidak ada aroma kopi mahal. Dindingnya beton, meja kayu kasar, lampu neon putih menggantung rendah.

Inilah sisi lain kehidupan Zavian.

Bukan CEO.

Bukan filantropis.

Bukan wajah majalah bisnis.

Di ruangan tengah, beberapa orang duduk mengelilingi meja panjang. Ada yang berusia lanjut dengan mata tajam, ada yang muda dengan tangan penuh bekas luka. Mereka berhenti bicara begitu Zavian masuk.

“Pagi,” kata Zavian datar.

“Pagi, Bos,” jawab mereka hampir serempak.

Ia duduk di ujung meja. Tidak pernah di tengah. Ujung memberi jarak. Ujung memberi kendali.

“Laporan,” ujarnya singkat.

Seorang pria kurus bernama Raka membuka map. “Distribusi berjalan lancar. Tidak ada penahanan. Tapi…” ia ragu sejenak.

“Tapi?” Zavian mengangkat pandangannya.

“Ada pergerakan aneh di wilayah barat. Orang-orang lama mulai resah. Bukan karena barang. Karena nama.”

Zavian diam. Jemarinya mengetuk meja satu kali. Pelan. Terukur.

“Nama siapa?” tanyanya.

Raka menelan ludah. “Nama Bos.”

Ruangan mengeras. Beberapa orang saling pandang.

Zavian bersandar ke kursi. “Resah bukan ancaman,” katanya. “Ketakutan yang terorganisir baru masalah.”

Seorang pria lain, Danu, menyela, “Ada satu orang yang mulai menyatukan mereka.”

Zavian menatapnya. “Siapa?”

Danu menggeleng. “Belum muncul langsung. Tapi cara mainnya… lama. Rapi. Dia tidak menyerang. Dia menunggu.”

Untuk pertama kalinya pagi itu, rahang Zavian mengeras.

Menunggu.

Ia tahu tipe itu.

“Tetap awasi,” katanya akhirnya. “Jangan sentuh dulu.”

“Kalau dia bergerak duluan?” tanya Danu.

Zavian berdiri. Seluruh ruangan otomatis hening.

“Kalau dia bergerak,” ujar Zavian tenang, “pastikan aku tahu sebelum langkah keduanya.”

Tidak ada ancaman dalam suaranya. Justru itu yang membuatnya berbahaya.

---

Sore hari, Zavian kembali sendirian.

Ia duduk di mobil tanpa menyuruh sopir langsung jalan. Matanya menatap kosong ke depan. Bayangan wajah-wajah di ruangan tadi berkelebat, tapi pikirannya tidak di sana.

Pikirannya mundur.

Ke masa sebelum jas.

Sebelum kekuasaan.

Sebelum kendali menjadi tameng.

Ia teringat sebuah suara. Lembut. Menenangkan. Terpotong oleh waktu.

Zavian mengepalkan tangan tanpa sadar.

Kehilangan bukan luka yang sembuh. Ia hanya berubah bentuk—menjadi kebisuan, menjadi jarak, menjadi dingin.

Bima mengetuk kaca mobil pelan dari luar. “Bos?”

Zavian tersentak kecil. “Jalan,” katanya.

Mobil melaju.

---

Malam itu, hujan turun deras.

Zavian berdiri di balkon penthouse, tanpa payung, membiarkan beberapa tetes hujan mengenai tangannya. Lampu kota berpendar di balik tirai air. Indah. Jauh. Tidak tersentuh.

Pintu terbuka. Nadine masuk, membawa tablet.

“Kau jarang ke tempat itu siang-siang,” katanya.

“Ada hal yang perlu diingat,” jawab Zavian.

Nadine mendekat, berdiri di sampingnya. “Aku dengar ada pergerakan.”

“Ada,” jawab Zavian singkat.

“Dan kau tidak bereaksi.”

“Belum.”

Nadine menatapnya lama. “Kau tahu, orang sering salah paham soal dirimu.”

Zavian meliriknya. “Biarkan.”

“Mereka pikir kau dingin karena kau tidak peduli,” lanjut Nadine. “Padahal—”

“Padahal aku peduli terlalu dalam,” potong Zavian pelan.

Hening.

Hujan semakin deras.

“Kau tidak pernah bicara soal dia,” ujar Nadine akhirnya.

Zavian menegang. “Tidak ada ‘dia’.”

“Ada,” Nadine menatap lurus ke depan, tidak memaksanya menoleh. “Dan ada amarah yang belum selesai.”

Zavian menghela napas panjang. “Amarah membuat orang ceroboh.”

“Dan menekan amarah membuat orang kesepian,” balas Nadine.

Zavian tidak menjawab.

Ia menutup mata sesaat. Dalam gelap kelopak matanya, bayangan itu muncul lagi. Senyum yang pernah menjadi satu-satunya hal yang membuat dunia terasa tidak kejam.

“Kesepian adalah harga kendali,” katanya akhirnya.

Nadine tersenyum sedih. “Atau mungkin alasan kau masih bertahan.”

---

Di tempat lain, jauh dari penthouse itu, seorang pria duduk di kursi kayu tua.

Ruangannya gelap, hanya diterangi satu lampu meja. Wajahnya separuh tertutup bayangan. Di tangannya, sebuah foto lama—sudutnya sudah terlipat, warnanya memudar.

Ia tersenyum tipis.

“Zavian Adhikara,” gumamnya.

Nama itu diucapkan seperti doa yang salah. Tidak penuh kebencian yang meledak-ledak. Justru sebaliknya—dingin, sabar, penuh perhitungan.

Di dinding belakangnya, terpajang peta dengan beberapa titik merah. Salah satunya baru saja diberi tanda lingkaran.

Ia berdiri, merapikan jasnya yang sederhana.

“Belum sekarang,” katanya pada dirinya sendiri. “Tapi sebentar lagi.”

---

Kembali di penthouse, Zavian menuang minuman, tapi tidak meminumnya. Ia hanya menatap cairan bening itu, seolah mencari jawaban di dalamnya.

Ponselnya bergetar.

Sebuah pesan tanpa nama. Tanpa isi. Hanya satu simbol kecil—tanda yang hanya dikenali oleh sedikit orang.

Zavian membeku.

Bukan takut.

Bukan terkejut.

Marah.

Amarah lama yang ia kira telah terkubur, kini mengetuk dari dalam.

Ia mengunci ponsel, rahangnya mengeras.

“Jadi kau mulai bergerak,” gumamnya pelan.

Di luar, hujan perlahan reda. Kota kembali bernapas normal, tidak tahu bahwa dua dunia sedang bergerak saling mendekat.

Zavian Adhikara berdiri tegak.

Dingin.

Tenang.

Namun di balik itu, ada dendam yang belum mati, kesepian yang tidak pernah diakui, dan kehilangan yang membentuknya menjadi pria yang dunia kenal—dan pria yang dunia tak pernah benar-benar pahami.

Zavian menatap kota dari balik kaca, tangannya mengetuk meja tanpa sadar. Di balik jas dan ketenangan, ada kekosongan yang tak terisi—rasa kehilangan yang tidak bisa ia tukar dengan kekuasaan. Bayangan wajah yang pernah ia percayai muncul sekejap di ingatannya, lalu menghilang, meninggalkan kepedihan yang ia bungkus rapat. Musuhnya, pria yang duduk jauh di ruang gelap itu, tampak tenang dan tersenyum, seolah sudah menebak langkah Zavian. Tapi Zavian tahu satu hal: sabar adalah senjata yang paling berbahaya. Dan ketika waktunya tiba, dendam yang tersembunyi akan muncul, sekuat kekuasaannya, tanpa ampun.

Babak baru telah dimulai.

Dan kali ini, bukan hanya soal kendali.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!