Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batas Kesabaran
Matahari sore di parkiran Fakultas Ekonomi terasa menyengat, namun panasnya tak sebanding dengan api yang membakar dada Argantara.
Sudah lima belas menit Arga berdiri di samping mobilnya, matanya terpaku pada pintu keluar gedung. Ia mengabaikan sapaan beberapa mahasiswa yang lewat. Fokusnya hanya satu: Intan.
Sejak kejadian di gang kost semalam, Arga tidak bisa tidur. Bayangan Intan yang tertawa renyah menerima buah dari Rangga menghantuinya. Rasa cemburu itu bermutasi menjadi ketakutan—takut posisinya benar-benar tergantikan.
Dan ketakutan itu mewujud nyata saat ia melihat sosok yang ditunggunya keluar dari gedung.
Intan berjalan pelan, wajahnya masih sedikit pucat namun terlihat lebih segar. Di sampingnya, berjalan Rangga Pangestu. Laki-laki itu membawakan tas ransel Intan di satu bahu, sementara tangannya yang lain memegang botol minum, siap menyodorkannya jika Intan haus.
Mereka terlihat seperti pasangan kekasih yang sempurna.
Darah Arga mendesir naik ke kepala. Logikanya putus. Ia tidak peduli lagi ini area kampus. Ia tidak peduli lagi statusnya sebagai dosen.
Arga melangkah lebar, memangkas jarak di antara mereka dengan gerakan agresif.
"Intan," panggil Arga. Suaranya rendah, namun tajam membelah udara.
Langkah Intan dan Rangga terhenti. Intan menoleh, dan tubuhnya menegang saat melihat siapa yang datang. Wajah Arga terlihat kusut, matanya merah kurang tidur, dan dasinya sudah hilang entah ke mana.
"Pak Arga?" Rangga yang pertama bersuara. Ia sedikit menggeser tubuhnya, secara naluriah berdiri di depan Intan seolah menjadi tameng. "Ada apa ya, Pak?"
Arga tidak menatap Rangga. Matanya terkunci pada Intan yang bersembunyi di balik punggung seniornya.
"Saya perlu bicara dengan kamu, Intan. Sekarang," ucap Arga menuntut. "Ikut saya ke ruangan."
Intan menunduk, meremas ujung kemejanya. "Maaf, Pak. Kuliah saya sudah selesai. Saya mau pulang."
"Ini bukan soal kuliah," Arga maju selangkah lagi, mengabaikan batas sopan santun. "Ini urusan... personal. Masuk ke mobil saya."
Rangga mengerutkan kening. Nada bicara Arga terdengar terlalu posesif untuk ukuran dosen ke mahasiswa.
"Maaf, Pak Arga," potong Rangga tegas, menahan dada Arga dengan satu tangan saat pria itu hendak meraih lengan Intan. "Bapak tidak bisa memaksa dia. Intan baru sembuh sakit, dia butuh istirahat. Saya yang akan mengantar dia pulang."
Arga menepis tangan Rangga kasar.
"Jangan ikut campur urusan saya, Rangga," desis Arga. Aura intimidasi yang biasa ia gunakan di kelas kini keluar sepenuhnya. "Kamu cuma mahasiswa. Tahu batasan kamu."
"Saya tahu batasan saya, Pak," Rangga tidak mundur sedikit pun. Ia justru menegakkan tubuh, menatap mata dosennya itu dengan berani. "Tapi Bapak yang sepertinya lupa batasan. Bapak Dosen, dia Mahasiswi. Kenapa Bapak terobsesi sekali mengatur hidup dia di luar jam kuliah? Apa hak Bapak?"
Pertanyaan itu menohok Arga. Apa haknya?
"Hak saya..." Arga tercekat. Ia ingin berteriak 'Saya suaminya!', tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokan.
"Hak saya sebagai dosen pembimbing akademiknya!" sergah Arga, alasan yang terdengar lemah bahkan di telinganya sendiri. "Minggir."
Arga mencoba menerobos lagi, tangannya berhasil mencengkeram pergelangan tangan Intan. "Intan, pulang sama saya. Kita perlu bicara soal—"
"LEPAS!"
Teriakan itu bukan dari Rangga. Tapi dari Intan.
Gadis itu menghentakkan tangannya sekuat tenaga hingga terlepas dari cengkeraman Arga. Napasnya memburu. Matanya yang biasanya takut-takut, kini menatap Arga dengan tatapan nyalang penuh luka.
Suasana parkiran yang tadinya riuh mendadak hening. Beberapa mahasiswa yang ada di sana berhenti, menonton drama itu dengan mulut ternganga.
"Cukup, Pak," ucap Intan, suaranya bergetar menahan tangis dan amarah. "Berhenti ganggu hidup saya."
Arga terpaku. "Intan... saya cuma mau—"
"Mau apa lagi?" potong Intan tajam. "Mau ngasih hukuman lagi? Mau nuduh saya cari perhatian lagi? Atau mau pamer betapa sempurnanya hidup Bapak dibanding hidup saya?"
Intan melangkah maju, keluar dari perlindungan Rangga, berdiri berhadapan langsung dengan suaminya.
"Dengar baik-baik, Pak Argantara," ucap Intan, menekan setiap suku kata. "Saya sudah muak. Saya nggak mau lagi berurusan sama Bapak di luar kelas. Bapak sendiri yang bilang kita orang asing, kan? Bapak sendiri yang bilang saya beban."
"Intan, jangan bicara di sini," bisik Arga panik, menyadari mereka jadi tontonan. "Masuk mobil."
"Nggak sudi!" tolak Intan keras. "Urus saja 'masa lalu' Bapak yang sempurna itu. Jangan seret saya ke dalam drama Bapak lagi. Saya capek jadi penonton bayaran di hidup Bapak."
Intan menoleh pada Rangga. "Kak, ayo pulang. Aku mual di sini."
Rangga mengangguk. Ia menatap Arga dengan pandangan dingin—pandangan seorang pria yang menyadari bahwa lawannya bukanlah sosok yang patut dihormati lagi.
"Permisi, Pak," ucap Rangga datar, penuh penekanan. "Saya rasa Bapak dengar sendiri. Dia tidak mau ikut Bapak."
Rangga merangkul bahu Intan, membimbingnya menuju motornya.
Arga berdiri mematung. Kakinya ingin mengejar, tapi harga dirinya yang hancur menahannya di tempat. Ia melihat Intan naik ke motor Rangga. Ia melihat Intan memeluk pinggang Rangga—pelukan yang seharusnya menjadi miliknya.
Sebelum motor itu melaju, Intan menoleh sekali lagi ke arah Arga.
Tidak ada lagi tatapan memuja. Tidak ada lagi tatapan takut.
Yang ada hanya tatapan kosong. Tatapan seseorang yang sudah menyerah dan menutup pintu hatinya rapat-rapat.
Deru motor Rangga menjauh, meninggalkan asap tipis yang mengabur di udara.
Argantara Ramadhan, dosen paling ditakuti dan disegani di kampus itu, kini berdiri sendirian di tengah parkiran yang luas. Ia merasa kerdil. Ia merasa telanjang.
Di tangannya, masih terasa sisa hangat kulit pergelangan tangan Intan yang tadi ia genggam paksa.
"Sialan," umpat Arga lirih, suaranya pecah.
Ia merogoh saku, mengeluarkan kunci mobilnya, dan melemparkannya sembarangan ke aspal saking frustrasinya.
Arga menyadari satu hal mengerikan sore itu: Intan tidak hanya sekadar marah. Gadis itu sudah sampai di tahap indifferent—tahap tidak peduli. Dan bagi seorang suami yang terlambat menyadari perasaannya, itu adalah hukuman mati yang paling menyakitkan.
Ia telah kehilangan Intan, tepat di saat ia baru sadar betapa ia membutuhkannya.
makan tuh gengsi Segede gaban😄