NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:272
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 - Cangkang Membeku Waktu

Suara berat itu perlahan disertai langkah seorang tua yang muncul dari kerumunan.

Sanu’ra menyipitkan mata, mencoba mengenali wajah di balik kilau tembaga sore hari.

Begitu jarak tinggal beberapa langkah, napasnya tertahan.

“Beji…?” gumamnya lirih.

Lelaki tua itu berdiri tegak, meski tubuhnya telah renta.

Rambutnya memutih perak, diikat rapi di belakang kepala, dan wajahnya berkeriput dalam seperti ukiran waktu.

Namun jubah yang ia kenakan masih memantulkan kemegahan masa lalu  tenunan serat murbei warna kelabu dan hitam, namun tetap berwibawa.

Sanu’ra segera melompat turun dari tandu.

Ia berlutut di hadapan Beji’ra, menautkan kedua telapak tangan di depan kepala tanda penghormatan tertinggi bagi sesepuh dan mantan atasan.

“Rana Beji,” ucapnya dengan suara bergetar, “aku tidak menyangka masih bisa bertemu denganmu di dalam tembok Lakantara.”

Beji’ra tersenyum tipis.

“Tidak perlu seremonial seperti itu, Sanu’ra,” katanya, suaranya berat namun lembut.

“Kita pernah berbagi medan yang sama, darah yang sama, dan kehormatan yang sama.

‘Ra’ adalah gelar kita berdua kau tak lagi bawahan, melainkan saudara seperjuangan.”

Ia menepuk bahu Sanu’ra pelan.

“Bangkitlah, mantan bawahan yang dulu kuandalkan di masa Rahu Beren Ama.”

Beji’ra menatap Sanu’ra dengan sorot mata lembut, tapi masih menyimpan wibawa seorang yang pernah memimpin medan perang.

“Aku telah lama meninggalkan panggung Rana,” katanya pelan, namun setiap suaranya membawa bobot pengalaman.

“Sekarang, aku hanya Beji mantan Rana yang menua di bawah cahaya tembaga Lakantara.”

Ia tersenyum kecil. “Dan sesuai adat, setelah seorang Rana menanggalkan jubah perangnya, ia menerima gelar kehormatan ‘ra’ di belakang namanya. Maka jadilah aku Beji’ra, sama seperti kau, Sanu’ra.”

Beji’ra mendapatkan banyak tongkat seukuran jari, di tengah ada bulatan perunggu setelah pensiun atas dedikasi untuk Lakantara.

“Para pensiunan Rana akan hidup di dalam tembok keempat,” lanjutnya.

“Kami berkumpul di antara para bangsawan, menikmati masa tenang dan hadiah yang diberikan oleh Ama kita yang agung, Yarun Rahu Ama.”

Beji’ra memandang Sanu’ra dengan mata yang teduh namun penuh kebanggaan.

“Engkau, Sanu’ra,” ujarnya perlahan, “telah mengarungi dunia lebih dari seratus siklus.

Langit dan tanah yang kau tapaki menjadi saksi perjalananmu demi kemajuan Lakantara.”

Ia menghela napas panjang, lalu melanjutkan,

“Sekarang sudah waktunya kau menetap di sini di balik tembok keempat, tempat para Ra beristirahat setelah menuntaskan tugasnya.

Lakantara tak lagi menuntut pedangmu, tapi membutuhkan kebijaksanaanmu.”

Beji’ra menatap jauh ke arah tembok tembaga benteng terakhir.

“Di sinilah akhir dari perjalanan panjang para pengabdi Lakantara… tempat di mana arus waktu mengajarkan arti kesetiaan dan kehormatan.”

Sanu’ra tersenyum tipis, matanya memantulkan cahaya tembaga di dinding istana.

“Aku pun sangat menantikannya,” ujarnya lirih. “Kini saatnya aku melapor kepada Yarun Rahu Ama… membawa seluruh pengetahuan yang kukumpulkan dari berbagai penjuru dunia.”

Dengan hati tenang, ia melangkah menuju kursi tandu yang telah disiapkan.

Empat pengangkat tandu berdiri tegak, menanti perintah.

Di sisi kiri, Rana Karu berjalan kaki, menjaga kehormatan dan keamanan perjalanan.

Di belakang mereka, rombongan para pengiring membawa peti-peti besar berisi sampel dari negeri-negeri jauh saksi bisu dari ratusan siklus pengembaraan.

Gerbang terakhir gerbang kelima berdiri menjulang dari perunggu murni,

sedangkan tembok di sekelilingnya dilapisi tembaga berlapis lapis,

memantulkan cahaya seperti matahari yang terperangkap di dalam logam.

Kemegahan itu menjadi lambang sejahteranya Lakantara, negeri yang menundukkan bumi dan waktu.

Dua penjaga berjubah jirah perunggu menjaga sisi kiri dan kanan gerbang.

Tanpa sepatah kata, mereka menunduk hormat lalu mendorong daun gerbang besar itu dengan tenaga perlahan.

Bunyi dentum logam bergema lembut, mengalun seperti nyanyian purba yang menyambut kepulangan para Ra.

Sanu’ra melangkah masuk dengan hati berdebar.

Di sepanjang jalan, patung-patung perunggu berdiri gagah sosok Ama, Rana, dan Sura yang berjasa bagi negeri.

Mereka berderet rapi, memantulkan cahaya yang menari di dinding, seolah hidup menatap kedatangan Sanu’ra.

Mendekati istana, anak tangga yang lebar membentang di hadapannya.

Di setiap sisi dan sudut, ratusan tentara berjubah jirah penuh berdiri tegak, senjata di dada, mata lurus ke depan.

Di atas sana, istana berlantai lima menjulang megah, seluruh dindingnya berlapis tembaga,

tiang-tiangnya besar dan berkilau, menopang kubah yang memantulkan langit senja Lakantara.

Di dalam istana, suasana hening seperti menahan napas.

Di sisi kiri, para Sura berdiri berbaris,

sementara di sisi kanan, para Rana menundukkan kepala, menautkan kedua tapak tangan di depan dada

salam penghormatan tertinggi bagi sesama bangsawan dan pengabdi negeri.

Langkah Sanu’ra bergema lembut di lantai tembaga yang berkilau.

Aroma dupa ruangan melingkupi udara, menandai upacara penyambutan suci.

Di ujung ruangan, di atas singgasana bertingkat lima,

Yarun Rahu Ama berdiri perlahan.

Tangan kirinya menurun ke bawah,

sementara tangan kanan memegang ujung kain jubahnya

tanda penghormatan kepada 'Ra yang telah menuntaskan seratus siklus pengabdian.

Cahaya dari jendela tembaga memantul di wajah mereka berdua.

Hening sesaat, sebelum akhirnya Yarun Rahu Ama berkata pelan,

dengan suara yang menggema di seluruh ruang istana...

Sanu’ra melangkah maju dua tapak, lalu bertekuk lutut di hadapan singgasana.

Kedua tapak tangannya ia tautkan di depan kepala tanda hormat tertinggi bagi penguasa tertua Lakantara.

Dengan suara yang tenang namun dalam, ia berkata,

“Aku, Sanu’ra, datang membawa pengetahuan dari berbagai bangsa di dunia tentang tanah, langit, dan segala yang tumbuh di antara keduanya.”

Ruangan hening. Hanya suara lembut dupa yang terbakar menemani udara yang berat oleh wibawa.

Yarun Rahu Ama menunduk sedikit, menatap sosok di hadapannya dengan sorot penuh makna.

“Bangkitlah, Sanu’ra,” ucapnya.

“Engkau telah menempuh seratus siklus perjalanan,

tak layak lagi berlutut di hadapan siapa pun di bumi Lakantara.”

Ia mengangkat tangan kanan, memberi isyarat lembut.

“Para Sura dan Rana silakan duduk.

Hari ini, kita mendengarkan suara bumi dari sang pengembara agung.”

Sanu’ra melangkah mantap di hadapan Yarun Rahu Ama, para Sura, dan Rana. Suaranya tenang, namun tegas, memenuhi ruang aula yang luas:

“Seratus tahun lalu, ketika aku masih bergelar Rana Sanu, aku diberhentikan lebih awal oleh Rahu Beren Ama, dan menerima gelar Sanu’ra. Alasan pemberhentian itu jelas: aku diberi kesempatan untuk mempelajari pengetahuan dari Para Rasi ilmu yang jarang dimiliki siapapun.”

Ia menunduk sejenak, menatap wajah-wajah yang mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Pengetahuan ini bukan hanya tentang kebijaksanaan, tapi juga tentang bertahan hidup.

Aku terpilih karena memiliki kemampuan melindungi diri di hutan liar, di mana bahaya bisa menyerang kapan saja, sedangkan para Rasi tidak memiliki bakat itu.”

Sanu’ra membuka peti yang dibawanya dengan hati-hati.

“Mari saksikan. Di dalam peti ini, aku membawa: bambu dan cangkang lumpur. Bahan-bahan ini mampu membekukan waktu, menjaga buah dan biji tetap terawetkan selama bertahun-tahun.

Dengan ilmu ini, kita bisa memastikan benih dari berbagai negeri tetap utuh, siap ditanam, dan menjaga kemakmuran Lakantara.”

Yarun Rahu Ama menatap Sanu’ra dengan mata penuh wibawa tapi sedikit terpana. Ia biasanya tenang dan tak banyak menunjukkan emosi, tapi sekarang terlihat ada kilau penasaran di matanya. Ia mencondongkan kepala sedikit, mencoba memahami “keajaiban” yang dibawa Sanu’ra, sambil berpikir, “Benarkah ini akan berhasil di Lakantara?”

Para Sura berdiri rapi di sisi kiri, beberapa menunduk hormat, beberapa menatap tajam dengan rasa ingin tahu. Bibir mereka bergerak lirih, saling bertukar bisik, mencoba menebak apa isi kapsul itu, bagaimana bentuk buah dan biji-biji yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Beberapa terlihat tersenyum kecil saat melihat anggur hijau dan ungu yang dibuka Sanu’ra.

Para Rana di sisi kanan, yang biasanya tegas dan keras, terlihat terhenti langkahnya, memandang dengan mata membesar. Ada rasa kagum dan sedikit iri mereka terbiasa melihat medan perang, bukan “buah dan biji dari dunia lain.” Seorang Rana tua bahkan mengernyitkan alisnya, mencoba mencerna penjelasan tentang metode kapsul waktu: lumpur, getah damar, lilin lebah, dan bambu kering.

Secara keseluruhan, ruangan hening sesaat. Semua menahan napas, menatap Sanu’ra dan benda-benda yang dibawanya. Ketegangan itu perlahan berubah menjadi rasa penasaran yang tak terbendung mereka tahu sedang menyaksikan momen sejarah, sesuatu yang mungkin belum pernah terjadi sejak berdirinya Lakantara.

Ia menatap ke arah Ama dan semua Sura-Rana.

“Ini bukan sekadar benda. Ini adalah jembatan pengetahuan dan peradaban, yang kuperoleh dari perjalanan panjang melewati dunia-dunia jauh.

Semuanya aku bawa ke sini untuk Lakantara.”

Sanu’ra memberi isyarat tangan kepada rombongan, dan perlahan cangkang lumpur yang menyerupai tempurung kura-kura diangkat ke hadapan semua orang. Ia menatap Yarun Rahu Ama, para Sura, dan Rana dengan tenang.

“Perhatikan cangkang ini,” ucapnya lantang namun jelas, suaranya mengisi aula.

“Ini bukan sembarang wadah. Ia adalah campuran lumpur dari dasar sungai, garam dari laut, dan abu halus sisa pembakaran. Semua bahan ini telah dipilih agar mampu menahan waktu dan pembusukan.”

Ia memutar cangkang sedikit, memperlihatkan lapisan getah damar yang mengilap dan lapisan lilin lebah yang mengkilap lembut di permukaan.

“Di dalamnya,” lanjut Sanu’ra sambil menunduk ke peti kayu, “kami menambahkan rumput kering sebagai bantalan. Peti ini melindungi isi dari benturan keras saat perjalanan jauh. Setiap lapisan dibuat untuk menjaga buah dan biji tetap utuh bertahun-tahun, bahkan di tengah hutan liar atau perjalanan ribuan kilometer.”

Ia menatap sekeliling, suara lebih tenang namun penuh keyakinan:

“Inilah hasil pengetahuan Para Rasi yang aku pelajari, sebuah kapsul waktu alami, yang akan memastikan warisan alam dan peradaban sampai ke tangan kita di Lakantara.”

Sanu’ra mengambil palu tembaga, memegangnya dengan mantap, lalu mengetuk tepi cangkang lumpur seperti mengetuk tabuh sakral. Dengan satu ketukan yang mantap, cangkang itu retak perlahan.

Dari dalamnya, terlihat dua buah anggur utuh, satu berwarna hijau segar, satu lagi ungu gelap, seolah menantikan mata yang memandang.

“Ini angkur,” ucap Sanu’ra sambil mengangkatnya ke arah Ama, Sura, dan Rana.

“Dari lembah kering yang diselimuti kabut hangat di negeri Zaruk, arah barat laut Lakantara, aku membawa benih buah Ankur.

Sejenis beri berkulit tipis yang tumbuh merambat di antara batu-batu kapur layaknya daun sirih. Tanah kering dan kabut hangat memberi rasa manis alami dan kekuatan bertahan hidup yang luar biasa.”

Ia menunduk sejenak, lalu menambahkan dengan suara penuh keyakinan:

“Dari dalam cangkang, tampak dua buah anggur utuh, satu hijau dan satu ungu, masih segar meski perjalanan ribuan kilometer.”

Sanu’ra menunduk sejenak, lalu mengambil baskom tembaga berisi air jernih. Dengan gerakan tenang, ia membersihkan kedua tangannya, memastikan tidak ada debu atau kotoran yang tersisa.

Setelah itu, ia menaruh dua buah anggur ke dalam baskom kedua, mengusap perlahan setiap buah hingga bersih, memantulkan cahaya tembaga yang hangat di permukaannya.

Ia menatap para Ama, Sura, dan Rana, lalu mulai membagikan buah anggur satu per satu, hati-hati agar semua bisa merasakan tanpa tergesa.

“Hati-hati saat menggigit,” ucapnya dengan suara lembut tapi tegas. “Rasanya agak asam, tapi ada manis yang tersembunyi. Gigit perlahan, karena di dalam setiap buah terdapat biji anggur benih yang bisa kalian tanam.”

Ia tersenyum, menatap mata mereka satu per satu.

“Benih ini adalah hadiah dari perjalanan jauh, dari negeri Zaruk ke Lakantara.

Simpanlah dengan baik, dan tanamlah.

Dari biji kecil ini, kehidupan baru akan tumbuh, membawa warisan dunia ke tanah kita.”

Sanu’ra menatap wajah para Sura dan Rana satu per satu, lalu berkata dengan suara tenang namun penuh wibawa:

“Di negeri sana, paling utara dari Lakantara, daratan terbentang melewati pegunungan tinggi dan lembah luas.

Di sana, terdapat empat musim musim dingin, musim semi, musim panas, dan musim gugur.

Aku tahu ini terdengar mustahil bagi kalian, tapi aku bersumpah, aku menyaksikannya sendiri.”

Para Sura dan Rana saling berpandangan, ragu, bahkan terdengar bisik-bisik kecil.

Mata mereka membesar, karena bagi mereka konsep musim seperti itu asing di dunia awan kanopi abadi.

Sanu’ra melanjutkan, menekankan:

“Musim dingin di sana tidak seperti kabut di lembah kita.

Salju putih turun dari langit bagai bintik buih, menutupi daratan.

Angin menusuk hingga ke tulang, lebih tajam daripada angin dingin di puncak gunung mana pun yang pernah aku daki.

Pohon-pohon tertutup es, sungai membeku, dan kehidupan harus beradaptasi atau mati.”

Para Sura dan Rana menunduk, membayangkan salju dan musim dingin yang sama sekali berbeda dari hutan tropis mereka.

Sanu’ra menambahkan:

“Namun di musim panas, matahari menyinari lembah dan pegunungan, bunga dan tanaman tumbuh kembali.

Hidup berputar dalam siklus yang jelas, berbeda dengan dunia kita yang selalu lembap dan tertutup awan kanopi abadi.”

Satu demi satu mereka mengangguk, kini tak lagi meragukan kata-kata Sanu’ra.

Sanu’ra menunduk sejenak, lalu menatap para Sura dan Rana dengan mata berbinar:

“Di sana, pertama kalinya aku melihat matahari tanpa selimut awan kanopi abadi.

Cahaya hangatnya menyentuh kulit, membuat pagi terasa hidup.

Namun, saat siang, panasnya begitu menyengat, hampir membakar, dan mata pun tak sanggup menatapnya langsung.

Langit… biru, benar-benar biru, bukan kelabu lembap seperti di dunia kita.”

Ia mengangkat tangan, memperagakan dengan gerakan pelan:

“Dan malam… pertama kali aku melihat bulan.

Bulat sempurna, seperti lingkaran yang aku buat dengan ujung telunjuk dan jempol. Kemudian, bulan berubah bentuk setengah lingkaran, melengkung, bahkan kadang berwarna merah.

Orang-orang di sana menyebutnya purnama.”

Para Sura dan Rana terpana, mencoba membayangkan fenomena yang asing itu.

Sanu’ra tersenyum, menatap langit:

“Malam hari di sana tidak begitu gelap. Sinar bulan dan bintang cukup untuk menuntun langkah, meski jauh berbeda dari cahaya lembap yang selalu menutupi kita di Lakantara.”

Suaranya tenang, tapi setiap kata membawa kekaguman yang nyata. “Segala hal di sana… matahari, bulan, bintang… semuanya mengajarkan kita bahwa dunia ini luas dan penuh keajaiban, yang tidak bisa dirasakan hanya dari awan kanopi abadi.”

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!