Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Malam Penuh Intrik
Jam weker di nakas berdering nyaring, membuat Nateya terlonjak bangun. Ia mengerjap sebentar, lalu menyadari waktunya tidak banyak untuk bersiap menghadiri makan malam.
Dengan cepat ia duduk di tepi ranjang, tangannya mengusap wajah.
“Gaun seperti apa yang sebaiknya kupakai malam ini?” gumamnya lirih.
Nateya memejamkan mata, membayangkan sesuatu yang berbeda.
Sebuah gaun malam modern bergaya Eropa perlahan terbentuk dalam benaknya: terbuat dari satin hitam berkilau, potongan pinggang yang ramping dengan aksen korset halus, dan lengan panjang tipis berenda transparan.
Begitu bayangan itu muncul, Nateya tersenyum puas.
“Mereka akan terkejut, terutama Amara dan Cornelia. Biarlah malam ini mereka melihat, ‘Seruni yang rakus dan jorok’ bisa menjelma anggun dan ramping.”
Lalu pikiran Nateya beralih pada hadiah. Di acara itu, Seruni yang asli lupa membawa hadiah sehingga menjadi bahan sindirian ibu tirinya. Kali ini, ia tidak akan membiarkan itu terjadi.
Maka, untuk Jenderal Adrian, Nateya memilih sesuatu yang bermakna dan menyentuh: sebuah tongkat kayu jati berukir lambang keluarga, yang akan mengingatkannya pada kejayaan masa lalu sekaligus simbol kekuatan.
Sedangkan untuk ibu tirinya, Nyonya Cornelia, Nateya sengaja membayangkan sebuah hadiah yang halus tapi menusuk. Sebuah cermin kecil berbingkai perak antik.
Nateya tahu, Cornelia paling takut menua dan membenci keriput yang mulai muncul di wajahnya. Cermin itu akan menjadi pengingat menyakitkan bahwa waktu tak bisa dikalahkan, meski dengan segala bedak dan wewangian.
Setelah kedua benda itu muncul, Nateya bangkit. Ia keluar dari kamar, ingin memastikan Anelis sudah pulang sekolah.
Begitu pintu kamar si kembar terbuka, Nateya melihat Anelis dan Julian baru saja selesai mandi dengan bantuan Bi Warti. Tubuh mungil keduanya masih harum sabun, rambut basah menjuntai.
“Anelis, Julian,” ucap Nateya lembut. “Malam ini ada makan malam di rumah kakek kalian, Jenderal Adrian. Apa kalian mau ikut Mama?”
Anelis langsung mengangguk cepat. Julian menyusul, matanya berbinar.
“Tentu, Mama. Apa kami harus pakai baju bagus?"
Nateya tersenyum hangat. “Betul sekali. Kalau begitu, bersiaplah. Mama juga akan bersiap.”
Tanpa membuang waktu, Nateya kemudian melangkah ke kamar mandi. Ia mulai terbiasa dengan ritual sederhana. Menuangkan air dengan gayung, merasakan segarnya mengalir ke kulit.
Selesai mandi, Nateya pun mengenakan gaun malamnya. Pantulan dirinya di cermin membuatnya tersenyum puas.
Rambut hitam panjangnya ia tata bergelombang lembut, bibirnya ia pulas merah tua. Untuk mempercantik penampilan, Nateya melingkarkan seuntai kalung mutiara putih di lehernya.
Setelah merasa cukup, ia kembali ke kamar si kembar.
Anelis sedang mengenakan gaun putih selutut dengan pita biru di pinggang. Sementara Julian memakai kemeja putih dan celana panjang hitam.
Ketika Nateya masuk, keduanya terpaku melihat penampilan sang ibu. Anelis ternganga, lalu buru-buru menggerakkan tangan dengan bahasa isyarat.
Nateya menoleh ke Julian. “Apa yang Anelis katakan?”
"Dia bilang… Mama sangat cantik.”
Nateya tersenyum lembut, hatinya menghangat. Ia mendekat, lalu meraih sebuah bando pita biru muda dan memakaikannya di kepala Anelis.
“Terima kasih, Sayang. Tidak lama lagi Mama akan semakin cantik, supaya Anelis bangga."
Anelis merangkul ibunya erat, sementara Julian menyaksikan sambil mengulum senyum.
“Kalau begitu, kita tinggal menunggu kedatangan Papa kalian," ucap Nateya sambil menggandeng tangan mereka berdua.
Mereka pun berjalan ke ruang tamu dengan penuh antisipasi.
Tak lama berselang, deru mesin mobil terdengar dari halaman depan.
Elias turun dengan setelan jas formal berwarna abu gelap, lengkap dengan kemeja putih bersih dan dasi hitam sederhana—tampilan khas seorang perwira yang tetap menjaga wibawa.
Nateya segera menggandeng tangan si kembar. “Ayo, kita sambut Papa."
Julian berjalan dengan hati-hati sambil membawa kado tongkat kayu jati yang dibungkus kain beludru hijau tua. Sedangkan Anelis membawa kotak kecil yang berisi cermin perak untuk Nyonya Cornelia.
Begitu melihat anak-anaknya, Elias tersenyum lebar, matanya berbinar penuh bangga. Namun, saat pandangannya beralih kepada Seruni wajahnya seketika membeku. Gaun malam hitam ramping itu begitu kontras dengan citra Seruni yang dulu ia kenal.
Untuk sesaat Elias tampak tercengang. Namun, ia buru-buru menutupi ekspresinya dengan menghela napas panjang.
Nateya menangkap perubahan itu. Bibirnya melengkung, puas karena berhasil membuat pria yang jarang menganggapnya menjadi terkejut. Satu langkah berhasil, dan setelah ini giliran keluarganya.
“Apakah kita berangkat sekarang, Jenderal? Takutnya Amara sudah menunggu dengan gelisah," sarkas Nateya.
Elias menegang, lalu menjawab singkat, “Baik. Kita berangkat sekarang.”
Tanpa perlu diperintah, Victor yang akan mengantar mereka, segera menyalakan mesin dan duduk di balik kemudi.
Nateya bersama si kembar naik ke kursi tengah, sementara Elias memilih duduk di depan, di samping Victor. Mobil melaju cepat menuju Rumah Loji Gedung Kuning, tempat perayaan digelar.
Ketika sampai, halaman rumah sudah penuh dengan mobil-mobil mewah: Ford hitam, Opel keluaran terbaru, serta beberapa dokar berhias milik kerabat. Jelas, hampir semua saudara dan tamu penting sudah hadir.
Elias turun lebih dulu, membantu Anelis dan Julian keluar. Namun Nateya bergegas membuka pintunya sendiri, melangkah turun tanpa menunggu bantuan Elias.
Tatapan Elias sempat melirik ke arahnya, tetapi Nateya tak menggubris. Ia justru meraih tangan Anelis dan Julian, menggandeng mereka berdua masuk ke dalam rumah dengan percaya diri.
“Seruni,” Elias menegur lirih sambil menyusul, “kita suami-istri. Seharusnya berjalan bersama.”
“Aku tidak suka bersandiwara, Jenderal," jawab Nateya sinis.
Mereka segera disambut oleh pelayan keluarga, Tuan Karel, seorang Belanda tua yang sudah lama mengabdi pada keluarga van der Meer.
“Selamat datang, Tuan Elias, Nyonya Seruni, dan anak-anak. Silakan masuk.”
Saat mereka melangkah, beberapa kerabat yang tengah berbincang di ruang depan sontak terdiam. Pandangan mereka terpaku pada sosok Seruni yang tampil begitu anggun dengan dua anak di sisinya.
Namun Nateya hanya membalas dengan senyum santai, dan terus melangkah menuju ruang tengah.
Di sana, Jenderal Adrian duduk di kursi besar dengan selimut di kakinya. Pria itu ditemani Nyonya Cornelia dengan gaun renda putih kebiruan, serta Amara yang mengenakan gaun merah menyala.
Mereka bertiga tampak terkejut melihat Seruni yang tiba-tiba begitu dekat dengan anak-anak. Pun dengan penampilannya yang berbeda jauh dari biasanya.
“Kak Elias, akhirnya kau datang.”
Amara segera bangkit. Tanpa segan, ia menggandeng lengan Elias sambil tersenyum manis.
Alih-alih cemburu, Nateya malah tidak menggubris kedekatan suami dan adik tirinya. Ia memilih untuk mendekati sang ayah.
“Papa, bagaimana kesehatan Papa sekarang?” tanyanya lembut.
Jenderal Adrian tersenyum tipis. “Lebih baik, meski dokter menyuruhku masih banyak beristirahat di rumah.”
“Syukurlah. Kalau begitu, biar Papa lebih cepat pulih."
Nateya menunduk sejenak, lalu menoleh ke si kembar. “Julian, Anelis, berikan hadiah kalian.”
Julian maju dengan penuh hormat, menyerahkan tongkat berbungkus beludru hijau itu.
“Untuk Kakek.”
Adrian tampak tersentuh, matanya berkilat bangga. “Ah, terima kasih, cucuku.”
Anelis menyusul, memberikan kotak kecil berhias renda pada Cornelia.
Cornelia membelalak kaget. “Aku juga diberi hadiah? Apa maksudmu, Seruni?”
“Ini ucapan terima kasih karena Tante Cornelia sudah mendampingi Papa selama sakit. Nanti dibuka, ya," jawab Nateya.
Melihat gelagat aneh di wajah Nateya, Nyonya Cornelia segera maju untuk memberikan pengumuman bahwa acara makan akan segera dimulai.
Mereka pun bergerak ke ruang makan. Seperti dugaan Nateya, hidangan yang tersaji di meja panjang itu adalah semua makanan kesukaan Seruni dulu: gudeg manis, sate kambing, kroket dan kue-kue Jawa manis yang berlemak.
Namun alih-alih kalap, Nateya menahan diri. Ia dengan tenang menarik kursi di samping ayahnya, lalu menyuruh Anelis dan Julian duduk di sisi lain.
Melihat itu, Elias bergegas mencari tempat duduk di sebelah putranya. Namun, Nateya malah menoleh ke arah Amara, lalu berkata dengan suara keras.
“Amara, ajaklah Jenderal Elias duduk di sampingmu. Sekalian ambilkan makanan untuknya. Biasanya kau suka menggantikan tugasku untuk merawat suamiku, bukan?"
Seluruh ruangan terdiam. Wajah Amara langsung menegang, senyum manisnya lenyap begitu saja.